Bab 14. Nasihat Dian

1061 Kata
Sinar matahari menelusup masuk di antara tirai ruang keluarga, sinar keemasannya mampu membuat hangat ruangan itu. Beberapa asisten rumah tangga tampak membersihan setiap sudut dengan hati-hati dan detail—mengelap meja, kaca, dan beberapa perintilan rumah lainnya yang menjadi pelengkap. Seorang gadis dengan piyama abu-abu bermotifkan mawar menuruni tangga perlahan, dia menguap pelan. Tangan kanan gadis itu mengucek mata, sedangkan tangan kirinya memegang pembatas tangga. Saat dia sudah di lantai satu, kepalanya bergerak ke sana dan ke mari—menatap sekitar dengan penuh selidik. "Mbak Mira!" teriak Aurel dengan suara serak, khas seseorang yang baru bangun tidur. Seorang wanita berusia 35 tahun berlari dari arah dapur, dia berhenti tepat di hadapan Aurel. Wanita itu menatap segan anak majikannya, nona mudanya. "Ada apa, Non?" tanya Mira dengan napas sedikit terengah, karena berlari. "Papa ada pulang semalam?" Aurel bertanya dengan nada dingin, tatapannya tajam, wajah gadis itu begitu datar. Mira menggeleng pelan. "Enggak, Non. Mobil tuan juga nggak ada di bagasi," jawabnya. Aurel yang mendengar itu sontak berdecak sebal. Dia segera lari menaikki tangga, sedangkan Mira memandang punggung majikannya dengan heran sebelum akhirnya kembali ke dapur. Aurel berdiri tepat di depan pintu kamar sang ayah, tangan kiri gadis itu memegang ponsel dengan logo apel digigit. Dia menarik napas panjang, tangan kanan gadis itu meraih gagang pintu dan memegangnya. Dengan gerakan cepat, Aurel menekan gagang pintu dan mendorongnya hingga pintu terbuka. Dia berjalan cepat memasuki kamar sang ayah, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, tetapi apa yang Aurel cari tak dia temukan. Dia berdecak cukup keras, wajahnya memerah menahan amarah. "Papa bener-bener ya! Aku aduin opa, lihat aja!" sungut Aurel dengan tangan terkepal. Aurel menyalakan ponselnya, dia membuka aplikasi hijau—mencari nomor sang kakek, lalu menelepon tanpa ragu. Gadis itu menunggu panggilan suaranya terangkat, dia berjalan ke sofa lantas duduk di sana. Hingga pada deringan ketiga akhirnya panggilannya terangkat, Aurel tersenyum miring. "Hallo cucu Opa," sapa Rio dengan lembut. "Hallo, Opa! Aku mau ngadu kelakuan papa." Tanpa menunggu lama, Aurel langsung menanyakan tujuannya menghubungi sang kakek. Di seberang sana, Rio menatap heran sang istri yang tengah menyiapkan sarapan untuk dirinya. "Papa kamu kenapa, Sayang?" tanya Rio setelah menyalakan pengeras suara. "Papa nggak pulang semalam, aku curiga papa lagi sama cewek yang deket sama dia," adu Aurel bersungut-sungut. Rio dan Dian saling pandang, Dia menghela napas. "Nanti biar Oma yang urus papamu, ya. Aurel udah sarapan, Nak?" jawab Dian dengan lembut. "Iya, Oma. Ini mau sarapan. Aku matiin teleponnya dulu," kata Aurel, lalu mematikan panggilan suara di antara mereka. Aurel mendengus kasar, dia lantas berdiri dan melangkah keluar. Sementara itu, di tempat lain—Rio dan Dian sedang membicarakan Bastian yang tidak pulang ke rumah. "Nanti biar aku yang ke kantor dia, Pa," ucap Dian. Rio mengangguk pelan. "Iya, kamu aja, Papa mau main golf," jawab Rio. *** Matahari berada tepat di atas kepala. Jalanan Ibukota jauh lebih lenggang jika siang hari, panasnya di luar rasanya menerobos masuk ke dalam ruangan Bastian saat dia mendapati sang ibu yang berkunjung ke perusahaan. Bastian menatap Dian dengan tatapan heran, sedangkan wanita paruh baya itu menatap sang anak dengan lembut. "Ma, tumben ke sini?" tanya Bastian dengan heran. Dian menghela napas panjang, wanita itu duduk di sofa dengan anggun. Meletakkan tas di sofa, Dian lantas menaruh tangan di atas paha dengan elegan. Di tengah seluruh pergerakan Dian, ada Bastian yang bingung mengapa sang ibu datang ke perusahaan. "Ma?" panggil Bastian setelah sekian lama tak mendapat balasan. "Mama tanya, ke mana kamu semalam?" tanya Dian tanpa mah menjawab pertanyaan sang putra. "Aku?" Bastian menunjuk diri sendiri. "Aku nginep di kantor, Ma. Semalam lembur, karena udah ngantuk jadi aku putusin buat nginep. Bahaya nyetir pas ngantuk, 'kan?" kilah Bastian dengan gestur tenang. "Mama tau kamu bohong, Bastian!" Bastian membasahi bibirnya yang kering. Dia segera menghampiri sang ibu, Bastian berlutut di hadapan Dian—tangan pria itu berada di lutut sang ibu. Kepala Bastian mendongak, menatap Dian dengan tatapan meyakinkan. "Aku jujur, Ma," ucap Bastian. "Bima bilang kamu pulang lebih awal kemarin, pulang ke mana kamu?" Skakmat. Bastian mengatupkan bibir rapat-rapat. Pria itu menelan salivanya dengan kasar, dia lantas menyengir sembari menggaruk kepala yang tak sama sekali gatal. Bastian berdiri, lantas duduk di samping Dian—dia merangkul bahu sang ibu dengan cengiran yang masih belum pudar. "Mama nggak masalah kamu mau punya pasangan lagi, Bastian. Kamu bebas mau nikah lagi, tapi inget kamu ada anak, kamu bukan bujang lapuk. Aurel kasihan di rumah sendirian, Bastian," tutur Dian dengan sedikit amarah. "Ma, ada mbak dan satpam di sana," sela Bastian dengan malas. Dian menepis tangan sang anak dari bahunya, dia lantas memutar tubuh menghadap Bastian. Wanita itu menjewer telinga Bastian membuat Bastian mengaduh kesakitan dan meringis. Dian seakan tak peduli, pubertas kedua sang putra benar-benar merepotkan semua orang. "Kamu denger nasihat Mama enggak, sih?!" sentak Dian. Bastian mengangguk seraya memegang tangan sang ibu. "Iya, Ma, iya!" Dian melepaskan jewerannya, dia lantas mengambil tas miliknya—wanita paruh baya itu berdiri, dia menatap sang putra dengan tajam. "Mama pulang, habis ini awas kamu nggak pulang!" tegas Dian yang diangguki dengan malas oleh Bastian. Di tempat lain, Bianca Baru saja selesai memfotokopi beberapa data yang diperlukan. Saat wanita itu ingin kembali ke lantai tiga, dia tanpa sengaja melihat Dian yang baru keluar dari lift. Wanita itu mengernyit heran melihat sosok yang pernah dia tolong ada di perusahaan. Tak ingin penasaran, Bianca berjalan lebih cepat menghampiri wanita itu. Kedatangan Bianca tentu membuat Dian terkejut melihat Bianca yang tampak cantik dengan tanktop, blazer dan juga celana panjang berwarna putih yang dipadukan stiletto. "Lho kamu? Kerja di sini?" sapa Dian dengan raut wajah terkejut. Bianca mengangguk dengan senyuman manis terpatri di wajah cantiknya, dia memperbaiki posisi kacamatanya. "Ibu kenapa ada di sini?" "Oh itu, samperin anak saya yang bangor banget, padahal udah tua," jawab Dian dengan dengusan. Bianca tersenyum. "Buset, udah tua masih disamperin Mak di kantor," ucapnya dalam batin. "Ah, saya ke atas dulu, ya, Bu. Buru-buru," ucap Bianca. Dian mengangguk, dia mengusap bahu wanita asing itu. "Iya, saya juga mau jenguk cucu saya, kasihan dia habis dibuat kesal papanya." "Hati-hati, Bu." Bianca tersenyum tulus. Dian mengangguk, dia lantas melangkah menjauh menuju pintu keluar. Bianca masih melihat, dia menatap punggung yang kian mengecil itu. "Buset, gue mau dicomblangin sama anaknya yang duda apa mau dijadiin istri kedua anaknya?" gumam wanita itu, Bianca lantas menggeleng. "Au ah, Bi! Nggak penting," sambungnya lantas melangkah memasuki lift.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN