Bab 13. Gagal Lagi

1053 Kata
Waktu sudah menunjukkan jam pulang kantor. Seluruh karyawan dari berbagai perusahaan bersiap untuk meninggalkan tempat yang seharian ini membuat tubuh mereka pegal, termasuk perusahaan NexaTech Solutions—para karyawan tampak sibuk merapikan barang mereka dan mematikan komputer. Sisanya, masih duduk tenang di depan komputer, mereka adalah orang-orang yang harus lembur atau bekerja sampai malam. Di gedung khusus divisi keuangan, Bianca tengah berkemas. Komputernya telah mati sejak lima menit lalu, dia memasukkan seluruh barangnya ke dalam tas. Wanita itu juga berulang kali mengecek barangnya, takut ketinggalan. Sebuah tepukan di bahu mengejutkan Bianca, wanita itu langsung menoleh ke belakang—dia tersenyum canggung mendapati Ryan yang tengah berdiri di belakang dengan tas ransel yang dia gendong di pundak kiri. Bianca memundurkan langkahnya sedikit, dia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan sedikit lambat. Alis wanita itu menyatu, kebingungan dengan kehadiran Ryan. "Kenapa, Kak?" tanya Bianca setelah berhasil menetralkan perasaannya dan mimik wajah karena terkejut. "Kamu mau pulang bareng saya aja? Daripada naik angkot," tawar Ryan dengan sukarela. Bianca terdiam sejenak, dia lantas menggeleng cepat sebagai penolakan membuat raut wajah Ryan yang tadinya sumringah berubah menjadi keruh. "Maaf, Kak. Saya udah dijemput temen," jawab Ralin. "Ah." Ryan mengangguk pelan sebagai tanda mengerti. "Ya sudah, kamu hati-hati. Saya duluan," sambung pria berpamitan. Bianca mengangguk pelan, raut wajah herannya tak bisa Bianca sembunyikan. Ponsel Bianca berdering, wanita itu langsung meraihnya dan mengangkat panggilan telepon dari sang sahabat. "Oh oke, gue tunggu di depan gedung, ya. Lu hati-hati." Panggilan telepon itu terputus, Bianca segera meraih shoulder bag berwarna putih kecokelatan miliknya. Dia lantas berjalan keluar ruangan dan menuju lift. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Alin yang mengatakan akan menjemput dirinya bersama sang kekasih. Tentu Bianca tidak akan menolak, mengingat itu membuatnya lebih hemat akan bensin. Bianca kini tengah menunggu di depan gedung sembari memainkan ponselnya, menonton video-video lucu yang dia lihat ada sosial media. Selang 15 menit, sebuah mobil Suzuki berwarna hitam berhenti tepat di depan Bianca. Bianca segera menurunkan ponselnya, dia tersenyum tipis—mengenali mobil termasuk. Tanpa menunggu lama, dia segera masuk ke dalam. "Hai, Vin, Hai Lin! Habis nge-date ke mana kalian?" tanya Bianca basa-basi. "Kepo!" ketus Alin. Kavin terkekeh, dia menatap sahabat pacarnya melalui kaca spion tengah. "Ke perpustakaan nasional tadi, Bi. Gimana kerjaan lu?" "Aman, Kak. Aman sentosa!" seru Ralin. Alin menoleh ke belakang, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan menyelidik. "Lu nggak aneh-aneh lagi, 'kan?" tanya Alin dengan nada tajam. Bianca langsung mengibaskan tangan di depan d**a, refleks dan cepat. "Nggak! Nggak! Kali ini aman, gue berhasil jaga diri!" ungkapnya dengan cepat. "Awas aja lu begitu lagi! Gue gorok!" Alin menggerakkan tangannya di leher, seperti memotong membuat Bianca bergidik ngeri melihatnya. Alin memutar tubuh ke depan, sedangkan Bianca meringis. Untung tadi dirinya bisa melarikan diri dari Bastian. *** Pintu kaca didorong pelan, aroma hangat langsung menyambut. Wangi kopi yang baru saja digiling bercampur dengan manis lembutnya vanilla, sedangkan samar-samar tercium aroma cokelat yang meleleh dari dapur belakang. Udara dingin dari AC bertabrakan halus dengan aroma pastry yang baru matang—sedikit menggoda bagi mereka-mereka yang tengah diet. Alunan musik jazz mengalun pelan dan lembut, menyentuh isi hati beberapa pengunjung. Mesin espresso sesekali mendesis, terkadang disusul dengan suara dentingan sendok yang beradu dengan gelas. Lampu warm white membuat suasana semakin hidup. Sore itu, kafe dengan nuansa klasik elegan tak seramai biasanya. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang, sedangkan sisanya sudah datang sejak tadi dengan membawa laptop dan beberapa berkas. Di sudut kafe, sepasang manusia berbeda jenis kelamin duduk dengan mimik wajah serius. Di atas meja, sebuah espresso double shot tersisa setengah, sangat berbanding terbalik dengan matcha latte dan kue matcha yang dipesan oleh perempuan dengan pakaian sederhana, tetapi terkesan berkelas dan mahal. "Aurel cerita gitu ke kamu?" tanya Bastian untuk memastikan. Dania mengangguk tanpa ragu. Dia memotong kuenya dengan gerakan pelan, seakan penuh dengan perhitungan. Perempuan itu memasukkan kuenya ke dalam mulut dengan gerakan anggun. "Abang serius lagi deket sama cewek sampai jarang pulang?" Dania menatap abangnya dengan serius, menanti jawaban yang akan Bastian berikan. "Apa salah kalau Abang dekat dengan perempuan lagi?" Bastian tak menjawab, melainkan melempar pertanyaan balik. "Enggak salah." Dania menggeleng tenang. "Yang salah itu kalau Abang sampai lupa waktu. Inget Abang udah bukan bujang, Abang ada satu anak sekarang," lanjut Dania, tanpa menggebu-gebu dan menyudutkan. Bastian menghela napas kasar, pria itu meraih espresso miliknya, lalu menyeruput perlahan. "Kita terlalu memanjakan Aurel, sampai Aurel tidak bisa dikendalikan sekarang," kata Bastian, jauh melenceng dari topik. Satu alis Dania terangkat, dia menatap heran sang kakak. "Ini melenceng dari topik kita, Bang!" protes Dania. Bastian menarik kursi, lantas berdiri dengan cepat. Dia menatap sang adik dengan intens, sedangkan Dania mengerutkan kening tak suka menyadari sang kakak akan segera pergi. "Kamu akan tau jawabannya nanti, Dan." Bastian tersenyum tipis, tangannya terulur—mengacak rambut Dania yang tertata rapi. Di tempatnya, wajah Dania berubah cengo. Dia memandang kepergian sang kakak dengan heran. "Dia edan ya?" *** Aurel berdecak sebal mendengar suara ketukan pintu yang tak sabaran. Dia melangkah cepat menuju pintu, saat pintu itu terbuka—sebuah kepala jatuh ke bahunya dengan tubuh linglung. Aroma alkohol menyeruak membuat Bianca mengernyit. Dia mencoba menjauhkan tubuh orang itu, tetapi usahanya selalu sia-sia membuat Bianca menghela napas panjang. "Pak? Bapak ngapain ke rumah saya malam-malam?" tanya Bianca dengan nada penasaran. "Saya butuh ketenangan, saya mau di sini, di sini sama kamu." Bisikan bernada rendah itu membuat Bianca bergidik ngeri. Tangan Bastian yang mulanya ada di punggung Bianca, kini telah berpindah ke pinggang ramping wanita itu—meremasnya lembut dan mengusapnya membuat Bianca harus memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya. Tak ingin ada tetangga yang melihat, Bianca membawa tubuh Bastian masuk dan mengunci pintu. Dia meringis pelan saat tubuh Bastian berhasil dia baringkan di sofa. Wanita itu memegang pinggangnya, matanya menatap sebal Bastian yang kini tertidur. "Nyusahin banget!" ketus wanita itu. Baru saja Bianca ingin beranjak, Bastian telah lebih dulu menarik Bianca sehingga tubuh Bianca membentur tubuhnya. Tangan Bastian dengan cepat mengunci tubuh yang telah menjadi candu baginya. Membuka mata, Bastian tersenyum manis sampai mata pria itu menyipit. "Saya kangen kamu, Bi. Malam ini kita habisin waktu berdua, ya?" bisik Bastian. Napas pria itu menyapu leher Bianca membuatnya mendesis tertahan, belum lagi tangan Bastian yang kini membelai lembut tubuhnya—menggoda. "Sial! Masa gue kegoda lagi?!" batin Bianca dengan wajah nelangsa sekaligus menikmati apa yang kini Bastian lakukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN