Udara malam berembus pelan, dinginnya menusuk kulit. Jalanan Ibu kota masih ramai, para pekerja kantoran baru saja pulang ke rumah. Warun-warung makan yang berjualan di malam hari juga mulai buka dan toko-toko sebagian sudah tutup.
Seorang wanita berjalan dengan kepala tertunduk, langkah wanita itu berat dan lunglai. Pakaian serba hitam, beberapa orang juga sempat melirik dirinya. Namun, perempuan itu tampak tak peduli—dia tetap melangkah dengan tenang seolah tak ada mata yang bisa melihat dirinya.
Embusan napas keluar dari mulutnya, dia berhenti, lalu duduk di kursi penjual sate. Bianca menghela napas, dia mengambil air mineral, lalu menegaknya sampai tersisa setengah. Mengambil ponselnya, Bianca melihat banyak notifikasi masuk dari aplikasi berwarna hijau, memilih mengabaikan—dia meletakkan ponselnya di atas meja.
"Pak, sate satu porsi pakai lontong, ya." Bianca sedikit berteriak seraya mengangkat tangan sebatas kening.
"Siap, Neng. Ditunggu, ya!"
Bianca mengangguk saja. Dia lantas termenung, pikirannya terasa penuh dan berisik. Akan tetapi, Bianca tak bisa mengurai isi pikirannya sendiri. Dia menarik napas panjang, lalu menahannya sejenak. Semakin hari pikirannya semakin berisik dan Bianca semakin lelah dengan segala hal yang ada.
Suara tawa dari meja samping berhasil mengalihkan perhatian Bianca, mata wanita itu mengerjap lambat. Napasnya tercekat melihat seorang anak yang tengah bercanda dengan ayahnya. Mata wanita itu memanas, dia segera mengalihkan pandangan—menundukkan kepala dalam, dengan sengaja Bianca mengerjap cepat. Dia berharap air matanya tidak akan tumpah di tempat umum.
Menarik napas panjang, Bianca meremas jemarinya yang gemetar. Dia menggigit bibir bawahnya, sekuat tenaga wanita itu menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata. Saat Bianca bergelut dengan perasaannya sendiri, pesanan wanita itu datang. Bianca langsung mendongak dan menampilkan senyuman yang dia buat semanis mungkin.
"Neng, ini pesanannya," kata sang penjual.
Bianca mengangguk pelan. "Makasih, ya, Pak," katanya.
Bapak itu mengangguk, lantas pergi meninggalkan Bianca sendirian. Saat sendiri, Bianca kembali menarik napas. Dia menatap nanar sepuluh tusuk sate dan lontong yang ada di hadapannya, dengan tak b*******h Bianca memakannya perlahan.
"Bun, Yah, aku kangen."
Sorot lampu mobil membuat Bianca memejamkan mata. Langkah kakinya terhenti bersamaan dengan dirinya bersendawa, Bianca memicingkan mata saat pintu mobil mewah itu terbuka. Dia mengerutkan kening heran, matanya masih silau karena lampu mobil.
Sementara itu, pemilik mobil turun dari mobil, dia melangkah mendekati Bianca dengan langkah pelan, tetapi pasti. Bianca masih belum melihatnya dengan jelas, tetapi postur itu—Bianca merasa tak asing dengan postur orang yang kini semakin dekat dengan dirinya.
"Bianca." Suara itu, itu suara Bastian dan Bianca tahu pasti suara yang dimiliki pria itu.
Dia berdeham pelan, berusaha untuk terlihat tenang meskipun dia gugup setengah mati. Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman palsu yang begitu manis. Matanya menyipit—memandang Bastian dengan ramah yang dia buat-buat.
"Kamu kenapa tidak masuk hari ini?" Pertanyaan itu Bastian lontarkan dengan nada penasaran.
Bianca menggeram tertahan, dia masih mempertahankan senyum palsunya. "Menurut Bapak kenapa? Setelah Bapak hajar badan saya selama seharian, saya masih bisa kerja? Lagian mau ditaruh di mana muka saya?! Terus gimana kalau temen satu divisi saya nanya? Masa saya jawab 'iya nih, habis bikin Dede bayi sama Pak bos' gitu?" oceh wanita itu dengan wajah malas.
Bastian menaikkan satu alisnya ke atas. "Ya, tidak papa kalau kamu jawab begitu. Saya bisa buat pengumuman kamu pasangan saya," sahut Bastian.
"Ogah!" teriak Bianca tanpa sadar, dia berdecih. "Pak, udah tua! Inget umur kenapa, sih? Saya masih muda, ya kali sama aki-aki!" sindir Bianca.
"Kamu—"
"Shut! Udah!" Bianca meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Saya mau pulang."
"Biar saya antar," tawar Bastian.
Bianca menggeleng cepat sembari menggerakan jari telunjuknya, dia menatap Bastian dari atas sampai bawah. Wanita itu memicingkan mata curiga.
"Kalau dianter Bapak, yang ada enak-enak lagi diajak! Ogah, badan saya masih sakit."
"Berarti besok kamu tidak menolak?"
"Wong stres ...!" umpat Bianca seraya berjalan menjauh dan memamerkan jari tengahnya.
Bastian tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya ada yang berani menolak dirinya sekaligus memaki dirinya, Bianca berhasil menarik perhatian pria itu.
***
Pagi itu, ruang 204 Fakultas Ekonomi terasa seperti arena kecil bagi calon pebisnis muda. Cahaya matahari menembus tirai krem, menyorot wajah-wajah yang masih setengah mengantuk tapi berusaha terlihat siap. Layar proyektor sudah menyala, menampilkan slide bertuliskan: “Business Strategy: When to Take Risks.”
Dosen mereka, Pak Adrian, menepuk tangan dua kali. “Oke, sebelum kita mulai bahas teori, kita warming up dulu. Saya kasih kuis ringan, sepuluh poin buat kelompok yang jawab paling cepat.”
Suara kursi bergeser serentak. Mahasiswa langsung saling pandang—antara panik, semangat, dan pura-pura tenang.
“Siap, Pak!” teriak seorang mahasiswa di baris depan, pura-pura percaya diri sambil meneguk kopi dingin yang sudah basi.
Pak Adrian tersenyum tipis, penuh jebakan. “Pertanyaan pertama,” katanya, berjalan pelan di depan kelas. “Kalau kamu punya dua opsi: ekspansi pasar ke luar negeri atau diversifikasi produk baru, tapi modalmu terbatas—mana yang kamu pilih dan kenapa?”
Suara-suara langsung bermunculan.
“Ekspansi, Pak! Karena peluang pasar luar negeri lebih luas!”
“Diversifikasi, Pak! Karena risiko lebih kecil kalau gagal di satu lini!”
Dosen mengangkat alis. “Oke… dua jawaban berbeda. Sekarang, siapa yang bisa kasih reasoning paling masuk akal?”
Seorang mahasiswi bernama Livia mengangkat tangan pelan, tapi matanya tajam. “Kalau modal terbatas, ekspansi keluar negeri itu bunuh diri, Pak. Kita nggak cuma butuh uang, tapi juga networking dan pemahaman kultur. Jadi diversifikasi produk lebih realistis buat mempertahankan cash flow.”
Ruangan hening sejenak. Pak Adrian tersenyum. “Bagus. Logika jalan, strategi jalan. Sepuluh poin buat kelompok Livia.”
Sorak kecil terdengar dari pojok kanan kelas, sementara kelompok lain langsung mengeluh pelan. “Ah, curang, Liv. Kamu pasti baca materinya semalam,” goda salah satu teman sekelas.
Dosen kemudian lanjut, “Oke, pertanyaan kedua—dan yang ini tricky. Kalau pesaingmu menurunkan harga, apa kamu harus ikut nurunin juga?”
Suasana mendadak riuh.
“Enggak, Pak!”
“Ikutin aja, Pak, biar nggak ditinggal pasar!”
“Gantung segmen, Pak!”
Pak Adrian tertawa kecil. “Lihat? Ini baru kelas manajemen bisnis. Penuh debat, penuh strategi, dan penuh kopi.”
Beberapa mahasiswa tertawa, suasana mencair. Kelas itu pun berubah dari ruang belajar biasa menjadi simulasi dunia bisnis sesungguhnya—penuh tekanan kecil, keputusan cepat, dan strategi yang bisa mengubah segalanya.
Di luar, matahari makin tinggi, tapi di dalam, ambisi, rasa ingin tahu, dan semangat bersaing justru semakin menyala. Namun, itu tidak berlaku bagi Bianca yang sedari tadi melamun dan mengabaikan riuhnya suasana kelas. Wanita itu tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Bianca, Bianca!"
Panggilan itu tak juga menyadarkan Bianca, sampai sebuah tepukan dari teman sebelahnya berhasil membuat Bianca tersentak. Dia menoleh linglung, wajahnya tampak seperti orang bodoh.
"Ha? Kenapa?" tanyanya panik.
"Lu dipanggil Pak Adrian dari tadi, lu kenapa? Ada masalah?" jawab Amel khawatir.
Bianca menggeleng, dia tersenyum tipis, lantas menghadap ke depan. "Maaf, Pak. Saya lagi kurang enak badan, saya janji tidak akan saya ulangi."
Pak Adrian menghela napas, dia meminta semua kembali fokus. Sementara Bianca, menghela napas lega.
***
"Pak, saya tidak mendapatkan data apa pun soal Bianca, kecuali—"
"Kecuali?" potong Bastian tak sabaran.
"Kecuali dia mahasiswi fakultas ekonomi, jurusan manajemen Bisnis." Bima menunduk, siap menerima amukan dari atasannya.
Bastian berdecak sebal. Pria itu mengebrak meja kerjanya membuat Bima tersentak dan memejamkan mata. Dia berdiri, pria itu menatap tajam Bima.
"Cari tau soal Bianca, dia cuman wanita miskin, datanya tidak mungkin sesusah itu didapat!"
"Mungkin aja, Pak. Bisa aja ada yang lindungin data dia," sahut Bima.
"Kamu cukup menuruti perintah saya jika tidak mau dipecat, Bima!" Bastian berdecak malas. Dia kembali duduk di tempatnya. "Lagi pula, Bianca bukan orang penting, pasti datanya ada. Kamu saja yang tidak becus."
Bima mengangkat kepala, dia menatap segan Bastian. "Maaf, Pak. Saya akan cari kembali, kalau begitu saya permisi."
Sesuai kepergian Bima, Bastian mengetuk-ngetuk mejanya. Pikirannya melayang pada Bianca, hari ini wanita itu ke kantor sesuai kuliah dan Bastian tak sabar menanti kehadiran wanita itu.
"Bianca, kamu cukup menarik saat berada di bawah kendali saya."