Pagi menyapa dengan langkah pelan. Udara terasa lembut, menelusup di antara tirai tipis yang menari perlahan diterpa angin. Pagi yang tenang dengan cuaca yang cerah, awal baru bagi seluruh orang.
Jalanan Ibu kota mulai ramai, para pedagang mulai membuka toko mereka. Pedagang kaki lima juga mulai mengedarkan dagangannya, baik di taman maupun di depan sekolah. Suasana ramai Ibu kota setiap pagi adalah tanda bahwa hari baru dengan cerita baru—baru saja dimulai.
Para pekerja kantoran mulai keluar dari rumah, ada yang menggunakan kendaraan pribadi, maupun kendaraan umum. Sementara itu, para pelajar dengan pakaian merah putih berjalan beriringan di trotoar—saling melempar tawa dan canda.
Sinar matahari menerobos masuk, melalui cerah tirai tipis berwarna merah muda. Sinar hangatnya memantul di tembok. Seorang wanita mengerang, dia menarik selimut sampai menutup kepala. Alarm yang terus berbunyi dia abaikan, wanita itu kembali memejamkan mata.
"Ngantuk, bodoamat. Badan gue masih sakit, remuk! Udah kayak kayu yang dipotong-potong," ucapnya dengan nada kesal.
Bianca, wanita itu menghela napas di dalam selimut. Dia menurunkan selimut itu—wajah baru bangun Bianca, terlihat kusut dan juga layu bagai bunga yang tidak disiram berhari-hari.
Bianca mengubah posisi menjadi duduk, dia melamun. "Apa gue resign aja? Tapi Alin udah susah payah bantuin gue," batin wanita itu.
Mendesah pelan, Bianca memilih memejamkan mata. Ponselnya sengaja dia matikan sebelum tidur, wanita itu tertidur dengan posisi duduk. Tubuhnya masih terasa lelah, istirahatnya kali ini terasa jauh lebih sedikit daripada biasanya.
"Sialan banget itu tua bangka, bikin gue kecapean gini." Bianca mendengus sebal. "Tapi masalahnya ... gue kok suka?"
Bianca membuka matanya. "Ah, gila lu Bianca!" umpatnya pada diri sendiri.
Bianca berdecak sebal, dia memilih untuk kembali tidur dan tidak pergi bekerja. Dengan begini dia berharap bisa dipecat oleh Bastian dan dia bisa terbebas dari pria tua itu.
"Bodoamat, gue malu! Kenapa malunya baru sekarang, sih? Badan gue udah diicip cowok tua itu ..., tapi ganteng. Aish, sial! Mana gue kayaknya ketagihan?"
***
Perusahaan mewah itu tampak sibuk, para karyawan tengah mengerjakan seluruh tugas mereka. Di divisi keuangan, mereka tengah bekerja sekaligus membicarakan Bianca yang tak kembali kemarin. Sebagian orang merasa penasaran dan takut, sebagian lagi memilih tak peduli, dan beberapa merasa senang mendengarnya jika Bianca dipecat.
"Bianca baik-baik aja, 'kan?" tanya Rahma dengan raut wajah khawatir.
Ryan menggeleng pelan. "Gue juga nggak tau, tapi tadi kenapa sekretaris pak Bastian ke sini? Nyari Bianca lagi."
"Jangan-jangan Bianca buat masalah," kata Sari.
Alma mendengus, perempuan itu merasa terganggu dengan pembahasan mereka. "Kalian bisa fokus ke kerjaan kalian aja? Nggak usah mikirin orang lain. Dia dipecat atau bukan, itu bukan urusan kita," hardiknya.
Ryan menoleh, satu alis pria itu terangkat. "Kamu nggak ada empati, ya?"
Alma menggeleng dengan wajah angkuh, dia tersenyum sinis. "Dia cuman anak baru, terus tiba-tiba enggak keluar dari ruang Direktur. Godain pak Bastianlah pasti," ketus Alma dengan nada sinis.
"Mulutmu itu, lho. Kayak nggak disekolahin," sindir Rahma sembari menggelengkan kepala.
Di tempat lain, Bastian tengah berpikir kenapa Bianca tidak datang ke kantor hari ini. Jari telunjuk pria itu mengetuk-ngetuk meja, sedangkan di hadapannya Bima berdiri dengan kepala tertunduk.
Bastian menghela napas. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi. Sementara itu, Bima melirik sang atasan berulang kali, cukup bingung dengan sikap Bastian yang terus saja mencari keberadaan Bianca.
"Bima," panggil Bastian seraya mendongak.
"Iya, Pak?" Bima mengangkat kepalanya, dia memandang Bastian dengan hormat.
"Cari tau soal Bianca dengan detail, saya kasih waktu 24 jam!" titah Bastian.
Bima mengangguk pelan. "Siap, Pak!"
Bastian mendesah pelan, pria itu menyandarkan kembali tubuhnya seraya menutup mata. Dia tak bisa fokus, pikiran pria itu dipenuhi oleh Bianca. Dia takut wanita itu dalam kondisi yang tak baik-baik saja.
***
Pemakaman, adalah tempat yang menyeramkan bagi sebagian orang dan tempat yang begitu memilukan. Energi di sekitar tak secerah toko bunga, tetapi suram dan tak ada kehidupan secara kasat mata.
Para peziarah datang dengan luka yang tak pernah sembuh, mereka hadir dengan kerinduan yang begitu mendalam. Sebagian lagi datang dengan putus asa—berharap cepat menyusul mereka yang lebih dulu pergi.
Seorang wanita turun dari taxi online yang dia pesan, dengan pakaian dan masker serba hitam dia melangkah masuk. Langkahnya berat, matanya sembab—ada sisa tangis di sana. Kacamata hitam wanita itu bertengger di atas kepala, dia terus melangkah meskipun langkahnya berat dan lunglai.
Langkah kaki wanita itu terhenti di dua makam yang berdampingan. Dia berjongkok, air matanya jatuh tanpa diminta—tangan wanita itu mengusap batu nisan itu bergantian.
"Ayah, Bunda, Caca kangen kalian," bisiknya pelan bertepatan dengan angin berembus.
Bianca menghapus air matanya, dia memaksakan senyuman terbaiknya. Wanita itu menunduk, menggigit bibir dengan bahu bergetar. Di umurnya yang terlalu muda, dia justru harus kehilangan penopang dalam hidupnya dan sekarang wanita itu harus banting tulang untuk menghidupi dirinya.
"Udah hampir lima tahun Caca sendirian di sini, Caca kangen banget sama kalian. Caca pengen dipeluk kalian setiap kali dunia Caca runtuh." Suara Bianca getir, nadanya lirih dan sedikit bergetar.
Napasnya tersengal, d**a wanita itu berat. Bianca, wanita itu mencoba tenang, tetapi rasa sakit yang menjalar di hatinya tak bisa dia bohongi. Bianca mengambil tanah pemakaman, dia menggenggam tanah itu kuat, mata wanita itu berkilat tajam—ada amarah yang tersimpan di matanya. Napas Bianca memberat, wanita itu melonggarkan kepalan tangannya, membiarkan tanah berjatuhan di atas makam sang ibu.
Memejamkan mata beberapa saat, Bianca kembali membuka mata. Sorot matanya berubah sendu dan kosong. Dia terkekeh miris, kepalanya terasa berat. Menundukkan kepala, Bianca mengusap gundukan tanah sang ayah dengan pandangan kosong. Aura wanita itu suram, keceriannya selama ini seakan topeng yang dia pakai untuk membohongi dunia.
"Dunia jahat, Yah. Anak Ayah capek, maaf. Maaf kemarin aku kecewain kalian, harusnya aku lebih bisa jaga diri. Pasti kalian kecewa di atas sana, ya?" Bibir Bianca bergetar, air matanya kembali jatuh.
Menghela napas, dia tersenyum manis. Bianca mencium batu nisan kedua orang tuanya bergantian, wanita itu lantas berdiri. Dia menurunkan kacamata hitamnya, bibirnya tersenyum sendu—lukanya seakan bicara tanpa bisa dihentikan lagi.
Menahan napas sejenak, Bianca menghapus jejak air matanya. "Yah, Bun. Aku pulang dulu, ya. Udah sore, bahagia di sana."
Memutar tubuh, Bianca berjalan dengan wajah datar. Langkah wanita itu tak lagi berat, melainkan tegas dan penuh perhitungan. Entah apa yang ada di pikiran Bianca, tetapi dia terus menunjukkan ekspresi berbeda setiap detik, seakan topeng yang dia gunakan tak hanya satu.