Prolog
Mezania: I'm arrived, kurcaci – kurcaci.
Karel: lo dimana, Mez?
Juan JJ: Pertama bacanya gue kira kuaci..
Setelah mengirimi pesan kepada keempat sahabatnya di grup, tanpa menjawab pertanyaan Karel, Meza kembali memasukkan ponselnya di saku kanan celana. Seulas senyum tersungging di wajahnya ketika melihat jawaban terakhir.
Perempuan memakai kaus hitam polos dengan kemeja kotak - kotak yang diikat di pinggang serta memakai celana jin hitam selutut dan sepatu kets hitam berjalan dengan gaya khasnya memasuki salah satu restoran terkenal di Roma. Jantungnya berdegup cepat dengan sekujur tubuh yang mendadak kaku.
Selangkah dari pintu yang terbuka, salah satu laki - laki yang sedang duduk santai di sudut kanan restoran melambaikan tangannya. Setelah menyadari, tiga orang laki – laki lain yang sebelumnya sedang saling bercengkrama hangat turut melempar pandangan yang sama dan ikut melambaikan tangan.
Tidak ada yang dapat Meza lakukan lagi selain tersenyum lebar dan berjalan cepat menghampiri mereka, lalu duduk di kursi tengah yang tersisa.
Sambutan dan pelukan hangat dari empat sahabat laki – laki? Bagi Meza itu adalah salah satu kebahagiaan yang akan terus menjadi kebahagiaan terbesarnya.
Semenjak lulus SMA, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sangat sulit berkumpul lengkap. Baik dikarenakan jarak yang harus terbentang begitu jauh, juga tugas – tugas yang menumpuk, maupun acara penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Tetapi di tengah kesulitan itu terjadi, suasana semakin memburuk dikarenakan permintaan Meza di ulang tahun ke -20.
Saat itu, di taman belakang rumah Meza, tepat di detik-detik pergantian hari pada tanggal 30 Juni, Meza menginginkan bahwa mereka harus berhenti bertemu selama lima tahun. Tetapi bukan karena masalah yang terjadi di antara mereka, tetapi sebatas harapan aneh Meza yang ia rasa akan sangat seru untuk dijalani.
Tadinya justru Azriel yang sangat menyukai tantangan itu menyarankan agar diperpanjang menjadi sepuluh tahun. Dan Juan yang tentu saja menjadi penolak pertama, menolak mentah - mentah tawaran Azriel karena ia tahu kemampuannya dalam menahan rindu tidak sehebat itu.
"Ini dia putri kita datang!” cengiran khas miliknya membuat Meza terpana. “Apa kabar, Mez? Gue tau lo pasti bakal jawab baik - baik aja," sambut seorang laki - laki memakai kaus legendarisnya dengan tulisan ‘Calon Supir Pesawat’ yang kemudian di bagian kata ‘Calon’ sudah ditutupi dengan garis hitam.
Di awali dengan menhembuskan nafas berat karena Juan masih dengan ketidakjelasannya, kemudian Meza tos kepada keempat laki - laki di hadapan nya itu. "Kalo sakit ya gue di rumah sakit lah, Ju.”
Terdengar suara kekehan kecil meledek, “Masih sama aja lo kayak dulu Mez juteknya.” Lalu disusul tangan yang mengacak - acak rambut Meza, " Jangan suka ngambek lagi ya, gemes tau gue liatnya."
"Nah ketauan kan lo masih sering inget - inget gue ya, Zriel? Gue tau kok gue emang gak bisa dilupain," ucap Meza menepuk bahu laki - laki yang memakai tuxedo hitam lengkap dengan dasi merah bermotif garis - garis.
Tiba - tiba tangan seseorang sudah merangkul Meza dengan santai, "Gue jadi inget masa SMA gue lagi ganteng – gantengnya.” Kemudian Meza membantah dan menggeleng tidak setuju.
Ia tertawa, “Sumpah ya Mez, gue tuh kangen ngobrolin musik sama lo!” Meza memukul d**a bidang laki - laki berjambul yang memakai piercing di bibir bawahnya itu, "Kalau soal itu, gue enggak punya alesan kalo emang selalu ngerasa nyaman sama lo, Rel.”
Sedari tadi hanya memperhatikan bagaimana Meza begitu berharganya bagi ketiga sahabatnya, seseorang yang juga ingin ikut serta itu berdehaman dengan keras sehingga membuat Meza jengkel dan melemparnya dengan gumpalan tisu.
"Lo masih inget gak pertama kali kita semua kenalan dulu?" tanya laki - laki berhidung mancung dengan jas putih yang tersampir di bahu kanan nya. “Kalau pada hari itu gue enggak bolehin lo duduk samping gue, kayaknya kita enggak akan kayak gini.”
Sesederhana bagaimana Meza mengingat hari itu, pelupuk mata Meza berlinang air mata, "Gue masih inget jelas semuanya, Al! Nih ya mulai dari…."