"Gue boleh duduk disini?"
"I—iya boleh. Duduk aja. Kosong, kok. Kalo lo ngeliat ada orangnya, gue bakal kabur."
Meza tetap menjadi Meza yang sebelumnya, mudah bergaul. Mungkin sifat yang sudah tertanam di dalam dirinya itu membuat ia cukup mudah untuk menyesuaikan diri di sekolah baru. Jika tidak berani untuk memulai, semuanya tidak akan terjadi dengan sendirinya.
"Nama lo siapa?" Meza membuka pembicaraan dan duduk di samping laki - laki itu untuk berusaha tidak merasa canggung. Kemudian ia mulai mengeluarkan barang-barang dari dalam tasnya.
Laki - laki itu menjulurkan tangan nya dengan seulas senyum canggung, "Aldi. Enggak pake CJR. Alvaro Renaldi, bukan Alvaro yang lain.”
“Udah biasa selengkap itu?" Meza sedikit menahan tawanya, kemudian menyambut juluran tangan Aldi. “Mezania Salsabila. Panggil aja Meza."
Setelah melewati tiga hari di masa pengenalan lingkungan sekolah dan berada di kelas sementara, hari ini Meza sudah resmi menjadi murid kelas 10 IPS 1 di SMA Pusaka Nusantara. Seragam putih abu – abu terlihat cocok di dirinya dengan sepatu putih dan kaus kaki semata kaki berwarna merah muda.
Meza dengan rambut coklat dikuncir kuda dan seperempat lengan penuh gelang. Sedangkan Aldi sama saja seperti banyak laki – laki pada umumnya. Hanya saja celana abu – abu yang pertama kali dikenakan olehnya itu sudah terlihat sangat sempit di kakinya.
"Lo dari mana?" tanya Aldi karena menyadari Meza yang dibuat terkesima dengan celananya.
"Bangsa International School. Kalo lo?” Meza pun kembali melemparkan pertanyaan.
Aldi terkekeh pelan, “Yakin lo enggak tau gue dari mana?” kemudian Aldi menunjukkan akun instagramnya dan memperlihatkan foto terakhir diunggah dimana dirinya bersama ketiga teman yang lain dengan batik sekolah yang tentu saja sudah tidak asing di mata Meza. “Gue anak JW. Jangan lupa juga ya di follow.”
“Jaya Wijaya ternyata,” ucap Meza mengangguk dengan ekspresi datar dan sedikit menelan liurnya.
“Gue sih udah biasa kalo anak sekolah lain tau JW,” Aldi bersandar pada dinding dan duduk menghadap Meza. “JW kan emang segitu terkenalnya.” Kemudian Aldi seperti tersadar dari sesuatu, “Eh sebentar. Kayaknya gue pernah denger Bangsa deh. Bukannya di utara?”
Untuk yang kesekian kali, Meza mengerlingkan kedua bola matanya. Jika dari Pusaka Nusantara yang letaknya di selatan, sedangkan sekolah lamanya di utara, orang – orang selalu beranggapan bahwa Meza seniat itu mencari sekolah. Terlebih lagi karena hanya dirinya siswa BIS yang pindah haluan ke daerah itu, sepertinya semua terasa sangat asing.
“Gue baru pindah rumah.” Jawab Meza seadanya.
Tak terasa, semakin lama kursi demi kursi di dalam kelas pun terisi oleh anak – anak yang terus berdatangan. Meza asik dengan ponselnya karena sedang mendengarkan lagu, sedangkan Aldi hanya diam menoleh ke kanan dan kiri sembari melihat jam tangan miliknya berulang kali.
Risih dengan yang dilakukan Aldi, Meza memutuskan untuk mengecilkan suara lagunya dan menoleh, “Lo nungguin orang?”
Aldi mengangguk cepat, “Iya.”
Sebenarnya Meza ingin bertanya siapa yang sedang ditunggu Aldi, namun karena tidak mau dirinya terlihat terlalu aneh, Meza mengurungkan niatnya. Ketika Meza ingin kembali mendengarkan lagu, ia merasa bahunya ditepuk beberapa kali.
"Eh Mez, lo mau ke kantin gak?" tanya Aldi dengan cengiran canggungnya.
Meza tertegun dan menaikkan satu alisnya, "Emang lo gak sempet sarapan?” kemudian Meza melihat jam tangannya. “Sepuluh menit lagi guru masuk. Ini hari pertama di kelas. Jang—"
"Udah lo ikut aja."
Tanpa persetujuan sama sekali, Aldi langsung mencengkram pergelangan tangan Meza dan sedikit menariknya keluar dari kelas tanpa merespon tatapan beberapa orang calon teman sekelas mereka yang mengerutkan dahinya heran. Beberapa kali Meza menggerutu karena kesakitan tetapi Aldi hanya terus menerus minta maaf tanpa melepasnya.
Dan akhirnya mereka sampai di kantin. Aldi—yang masih menarik tangan Meza—berjalan menghampiri ketiga laki - laki yang dengan beraninya pada hari pertama sudah duduk di meja yang berada tepat di tengah kantin. Padahal sepengetahuan Meza dan menurut pengalaman dirinya di sekolah lama, tempat itu adalah tempat keramat untuk kelas 12.
Ketiga laki - laki itu terlihat memiliki kepribadian berbeda - beda karena bisa dinilai dari cara mereka memperhatikan Meza dari atas ke bawah. Tatapan mengintimidasi itu membuat Meza merasa bahwa tidak sepatutnya siapapun bersikap seperti itu ke siapa saja. Karena pada kodratnya manusia harus saling menghargai perbedaan baik fisik, cara berpakaian, ataupun tingkah laku, yang menjadi ciri khas masing – masing selama mereka tidak merugikan oranglain.
Merasa tidak senang, Meza menatap sinis ketiganya dan menoyor kepala Aldi dengan tangan kirinya, “Lepasin tangan gue, Alvaro Renaldi!”
Untuk saat ini, sepertinya Meza sudah tidak malu berekspresi. Kemudian Aldi melepaskan genggamannya dan terjadi keheningan sesaat. Selama itu, Meza memperhatikan wajah orang di hadapan nya satu persat.
Kemudian Aldi akhirnya mulai berbicara,”Oke mungkin ini akan terdengar sangat aneh, Mezania.” Aldi menghembuskan nafasnya, “Jadi, lo kan temen pertama gue di kelas. Dan menurut gu—”
"Dan lo mau jadiin gue bahan taruhan sama temen - temen lo ini?" Meza berkacak pinggang dan langsung menohok Aldi dengan pertanyaan nya karena ia merasa mengerti tentang apa maksud tersembunyi Aldi.
Tak habis pikir dengan lontaran kata yang keluar dari mulut Meza, seorang laki - laki berbadan tegap dengan berperawakan dewasa pun bangkit dari tempat duduknya. "Jadi … ini temen baru lo, Al?"
"Boleh juga," sahut teman Aldi yang tersenyum dan memperlihatkan lesung pipinya yang dalam itu.
Kedua mata Meza membelalak kaget. Dan sebelum Meza kembali berfikir yang salah dan teman – teman nya berbicara aneh, Aldi langsung menengahkan, “Lo jangan pikir macem – macem, Mez. Gue mau jelasin dulu. Bisa diem, kan?”
Meza melipat kedua tangannya dengan wajah yang sudah terlihat sangat menantang. Entah mengapa, Meza merasa bahwa keempat laki – laki ini aneh sekaligus menyebalkan. Meza juga bisa menarik kesimpulan bahwa anak Jaya Wijaya semuanya sejenis.
"Heh! Songong banget muka lo!” sebuah kentang goreng dilempar dengan sengaja dan mengenai pipi Meza.
Baru saja Meza ingin berkomentar, Aldi kembali berbicara, "Gue sama mereka sahabatan. Dan pas liat daftar siswa di mading kemarin, gue kesel karena mereka satu kelas. Sementara disini, gue terpisah sendiri.” Aldi menghela nafas, “Akhirnya mereka bilang kalo gue dapet temen baru, mau itu cewe atau cowo, pada saat itu juga gue harus kenalin ke mereka. Dan ya, lo yang sekarang ada di sini," jelas Aldi panjang lebar dengan nada datar.
Setelah diam sejenak, Meza mengangguk mengerti lalu menyengir, “Maaf deh udah salah sangka. Gue terlalu banyak nonton film dan baca buku deh kayaknya.”
"Langsung aja, ya. Kenalin ini yang pertama kali ngomong tadi namanya Azriel,” Aldi menunjuk yang paling tinggi diantara mereka. “Yang tadi ngomong 'boleh juga' namanya Juan,” dan seseorang yang ditunjuk Aldi itu melambaikan tangan. “Nah yang ngelem—”
"Gue ga mau tau nama dia,” tukas Meza dengan memanyunkan bibirnya.
Laki – laki itu mengerutkan dahi nya dan kembali melempar Meza dengan kentang goreng, "Eh! Lo kira gue mau kenalan sama lo?”
"Awas aja Rel nanti lo naksir,” Aldi memutar kedua bola matanya. “Playboy cap tiga jari.”
Juan mengangguk dan tersenyum, “Benci jadi cinta. Gila klise banget.” Kemudian Juan memegang wajah Aldi, “Rangga? Cinta..”
“Nama lo siapa?
Di tengah ketidakjelasan Juan, mereka tertawa seadanya. Bahkan Meza bisa melihat sebegitu kasihan nya seorang Juan karena berusaha menghibur orang dengan lawakan yang sudah menjadi standar nasional. Namun, pertanyaan Azriel membuat mereka berhenti.
“Meza,” jawab Meza dengan sedikit senyum simpul. “Ngomong – ngomong, lo semua kenapa berani duduk di sini?”
Juan terkekeh pelan, “Kan kita punya jagoan.” Ia menyikut sang pelempar kentang goreng, “Yoi kan, Bang Karel?”
Karel hanya tersenyum miring.
“WOI YANG DI SITU! UDAH JAGOAN?”
Mendengar teriakan dari ujung lorong, ternyata di sana ada segerombolan laki – laki yang sedang berjalan menuju kantin. Melihat pemandangan seperti itu, Meza melangkahkan kakinya mundur. Lain hal dengan Meza yang takut, keempat laki – laki itu biasa saja.
“Lo semua masuk aja sana. Gue yang urus.”
Kemudian Karel berdiri sementara Aldi, Azriel, Juan, dan Meza berjalan cepat keluar dari kantin. Selang beberapa detik, bel berbunyi dan Meza masih menoleh ke belakang, melihat jarak Karel yang semakin dekat dengan mereka.
Meza menahan tangan Aldi yang sedang berjalan sampai ia akhirnya berhenti. “Itu Karel gimana?”
Aldi menatap mata Meza dengan penuh keyakinan dan tersenyum, “Enggak usah khawatir. Kita semua paham Karel.”
Walaupun demikian, Meza masih merasa khawatir membayangkan bagaimana kerasnya kehidupan SMA dari yang ia dengar. Begitupun yang akan terjadi pada Karel.
“Suatu saat lo bakal ngerti kok, Mez.”