Dua

1382 Kata
Hari tepat seminggu Meza masuk sekolah. Lingkungan sekolah yang jelas terlihat berbeda dari sekolah sebelumnya, membuat Meza harus mulai beradaptasi. Tetapi mengingat dengan hadirnya keempat laki – laki yang benar – benar welcome di hari pertama nya masuk sekolah, Meza merasa bahwa untuk masa SMA-nya ini, mereka bisa membantu seorang Mezania Salsabila untuk survive di lembawan baru hidupnya. Namun ketika Aldi yang habis meminjam pensil kepada teman nya itu datang dan kembali duduk di samping Meza, ia teringat akan sesuatu yang terjadi dua hari yang lalu. Sesampainya di rumah, Meza turun dari mobil dan segera berlari ke kamar. Setelah mengambil segelas air dan masuk ke kamar, ia menghempaskan diri di atas magnet dunia nya. Dimulai sejak Meza kehilangan salah satu teman bermain, dirinya mulai merasa ingin cepat – cepat pulang ke rumah dan sendirian berada di dalam kamar. Meza merasa bahwa rumah adalah satu – satu nya tempat dimana ia merasa aman dan nyaman serta  bia menghabiskan waktu yang lama dengan segala hal yang dia suka. Baru saja Meza memejamkan matanya karena lelah dengan sekolah, tiba-tiba ponsel di saku nya bergetar. Dengan menggerutu karena mengganggu dirinya yang ingin istirahat, Meza mengambil ponsel di sakunya. Alvaro Renaldi: Mez Alvaro Renaldi: Meza Alvaro Renaldi: Mezania Mezania: kenapa, Al? Namun ketika Meza menunggu balasan dari Aldi, dirinya hanya ditinggalkan dengan tulisan read di pesan nya. Meza menghembuskan nafasnya kesal karena tidak heran jika Aldi sering mengirim banyak pesan memanggil namanya hanya untuk bertanya lagi apa, ada tugas apa, dan dengan jawaban tidak jadi. Bisakah laki – laki di dunia ini lebih cerdas dalam memilih topik pembicaraan? Alvaro Renaldi invite you to join “black bird” Alvaro Renaldi: Join group nya oi Mezania: grup apaan itu? isinya bener, nggak? Jangan salahkan Meza bila bertanya seperti itu. Karena anak remaja di jaman sekarang, lebih khususnya laki – laki, suka berbuat hal aneh – aneh, bukan? Alvaro Renaldi: Udah tinggal join aja ribet banget dah. Dasar cerewet Dan ya, tetap saja kita tidak boleh terlalu berburuk sangka, karena banyak teman laki – laki Meza di SMP yang tidak seperti itu. Jelas saja, Meza percaya bahwa Aldi dan teman – teman nya termasuk ke dalam lingkaran remaja laki – laki sewajarnya. Akhirnya Meza memutuskan untuk bergabung. Triple J: SELAMAT DATANG MEZA! *lari lari bawa banner* Azriel H: Asik ada meza Alvaro Renaldi: Santai aja mez kita enggak bakal aneh aneh Karel: akhirnya bisa cuci mata Sesederhana itu, empat sambutan dari teman baru yang dijumpainya tujuh hari yang lalu membuat Meza merasa mungkin sekarang waktunya ia kembali menjadi dirinya yang telah lama tersesat. “Mez, lo udah ngerjain tugas sejarah yang ngerangkum?” Lamunan nya buyar ketika Aldi menepuk bahunya beberapa kali. Meza mengerjapkan matanya. “Ha? Kenapa, Al?” Menyadari bahwa Meza sedang tidak fokus, Aldi terkekeh pelan. “Lo abis lamunin apaan, sih? Mukanya sampe cengo gitu gue tanya.” Bukan nya menjawab, Meza justru tersenyum dan kembali berkutat pada buku tulis di hadapan nya. Sekarang, Meza diperintahkan guru sejarah nya untuk merangkum materi bab pertama bagian awal untuk bahan ajaran yang akan dibahas dua pertemuan ke depan. “Males ah gue ngerjain.” Baru beberapa detik Aldi menorehkan tinta di lembaran bukunya yang baru lima baris terisi, ia justru meletakan pulpen yang baru saja dipinjamnya itu. “Lah lo kenapa, Al?” tanya Meza melirik Aldi bingung dengan tertawa kecil karena melihat ekspresi wajah Aldi. “Gue tuh capek kalo nulis banyak.” Aldi memanyunkan bibirnya. “Mending disuruh ngomong ke depan yang lama deh.” lalu ia memperlihatkan buku tulisnya ke Meza. “Tuh liat. Tulisan gue mana jelek lagi. Bikin tambah males, Mez.” “Yaelah Al udah temenin gue aja enggak usah lanjutin.” sahut Alvin, laki – laki yang duduk di belakang Meza. Meza membulatkan matanya. “Heh dasar lo Vin setan, hobinya ngehasut orang.” Aldi mengangguk setuju. “Iya emang Mez, Alvin tuh setan. SETAN.” “APA ITU NGOMONG SETAN SETAN?” Ketika mendengar suara dengan nada yang sedikit meninggi, kelas yang sebelumnya sedikit bersuara mendadak hening. Ketiganya langsung menunduk dan menahan tawa. Tidak menghiraukan beberapa teman nya yang menatap mereka sambil menggeleng. “Dimana setan nya, Alvaro?” Punggung Aldi dan Meza yang tadinya masih bergerak naik turun pun berhenti. Mungkin bukan hanya Aldi, tapi seisi kelas pun kaget karena ternyata Bu Tri masih ingin melanjutkan perbincangan ini. “Di depan, Bu.” jawab Aldi sedikit menahawan tawa. Bu Tri langsung berjalan dengan langkah yang cepat mendekati Aldi dan berhenti persis di depan nya. “Maksudnya kamu ngehina saya?” Suasa kelas berganti menjadi menegangkan. Hari ketujuh sekolah, dan ini pertama kalinya guru merasa terusik di kelas ini. Dan itu karena Aldi, teman semeja Meza yang bahkan sama sekali tidak memasang wajah merasa bersalah. “Enggak, Bu. Aldi indigo.” sahut Meza ngelantur. Mendengar timpalan Meza, Aldi pun menoleh. Terjadi keheningan beberapa detik, sampai akhirnya, Aldi dengan bodohnya, ia tertawa. Meza yang menunduk pun menghembuskan nafasnya. “Alvaro, keluar kamu!” teriak Bu Tri dengan lantang sampai Meza harus mengkhawatirkan gendang telinganya yang mudah – mudahan tidak terjadi gangguan. Sekelas dibuat seperti menonton serial komedi karena Aldi pun mengangguk dan hormat kepada Bu Tri. “Oke, bu. Saya akan keluar dalam … 1… 2…” Bel istirahat berbunyi. Sebelum Bu Tri sempat menjewer Aldi, seisi kelas langsung berhamburan keluar dengan tawa masing – masing. Meza yang tangan nya selalu ditarik oleh Aldi kemanapun ia hendak pergi tanpa mengajak, masih tidak percaya memiliki teman sepemberani dan selucu ini. “Kita harus ceritain ini ke Azriel, Juan, dan Karel.” ucap Meza sambil melihat Aldi dan menggelengkan kepalanya. Aldi merasa senang karena Meza merasa terhibur. Bahkan Aldi hanya menjawab ucapan Meza dengan senyum simpulnya. Karena menurut Aldi, ini baru awal kehadiran Meza dan baru bersama dirinya. Bahkan Meza akan merasa lebih bahagia jika nanti sudah berada di tengah – tengah teman nya yang lain. Mereka berjalan beriringan di tengah keramaian lorong yang dilalui menuju kantin. “Kok enggak ada mereka, Al?” tanya Meza ketika tidak menemukan ketiga teman nya setelah mengedarkan pandangan ke seluruh bagian kantin. “Sebentar.” jawab Aldi yang kemudian mengeluarkan ponsel dari saku seragam nya dan memperlihatkan pesan yang baru saja masuk di ponsel nya kepada Meza. JUAN GANTENG: Bawah tangga bree Meza menautkan alisnya dan menatap Aldi bingung. “Itu Juan yang ganti.” jawab Aldi yang menatap Meza dengan oh-ayolah. Akhirnya mereka berjalan mencari dimana ‘bawah tangga’ yang dimaksud Juan. Aldi sempat dibuat frustrasi karena bahkan ia kalah handal dengan teman – teman nya yang dengan cerdas sudah memahami seluk beluk sekolah baru ini. Azriel yang sedang duduk menyandar pada dinding dengan memakan sepiring ketoprak itu mendongak. “Lama banget si lo Al nyari kita doang.” “Maaf cuy abis pacaran nih.” jawab Aldi meledek dan duduk diikuti Meza di sebelahnya. “Kenalin Mez, Karel, bakat terpendamnya mencari pojokan.” ujar Juan yang dibalas dengan toyoran kepala oleh Karel. Sehabis Meza menceritakan bagaimana kejadian Aldi tadi di kelas, ketiga teman nya yang tidak mau kalah saing itu balas bercerita tentang bagaimana mereka keluar masuk ruang BK dan cabut sekolah hanya untuk makan warteg yang bukanya jam sembilan pagi. Kemudian Juan bangkit dari duduknya. “Mau kemana lo?” tanya Karel tanpa menoleh ke Aldi dan tetap fokus pada jemari yang memetik senar gitarnya. “Kantin, Bang.” Aldi memegang perutnya. “Laper. Belom makan dua hari.” Karel berhenti memetik senar gitarnya. “Punya duit, nggak?” “Weits sadis.” “Gila lo abis panen duit, Rel?” “Bang Karel andalan gue emang.” Juan menyengir. “Waduh kalo ditanya kayak gitu, gue sih mendadak gak punya duit jadinya, Bang.” “Bilang aja lo dibayarin Tegar, Ju.” sahut Karel. Namun melihat Juan bingung, Karel menambahkan. “Dia temen gue. Udah santai aja. Lumayan kan gratisan?” Jika sudah mendengar ‘gratis’ bahkan semua orang pun sudah tidak ada alasan untuk menolak. Beberapa orang yang berlalu lalang melewati tangga itu pun beberapa kali memperhatikan mereka. Ada perempuan yang berbisik sampai Meza bisa mendengar ‘ganteng’ di tengah kalimatnya, sampai laki – laki yang entah kakak kelas atau seangkatan melempar tatapan sinis. “Waktu itu lo diapain Rel sama senior?” tanya Meza tiba – tiba karena teringat kejadian hari pertama kala itu. “Anak kecil gak boleh tau.” jawab Karel dan kembali memakan kentang goreng nya. “Ih gue sama kali umurnya sama lo!” gerutu Meza yang kemudian memanyunkan bibirnya. Karel menggeleng. “Cewe lo nih Al tolong dikondisikan, ya. Gemesin.” Dan bel tanda istirahat masuk pun berdering. Dari kejauhan, Juan dengan banyak makanan di kanan dan kirinya berlari menghampiri mereka dengan wajah yang panik. “WOI ANJIR GUE DIMARAH – MARAHIN IBU KANTIN!” Aldi tertawa. “Lo emang ngapain si dodol?” “Dia nyariin piringnya. Katanya dia hafal gue.” jawab Juan dengan nafas yang masih tergesa – gesa. “Emang piring dia kemana?” tanya Meza mengerutkan dahinya heran. Juan kembali mengeluarkan cengiran khasnya. “Gue bawa pulang.” “Sinting.” “LORD.” “Ayo balik.” ucap Karel memberikan gitarnya kepada Azriel dan mereka semua ikut berdiri untuk siap kembali ke kelas. Meza masih bingung. “Bentar.” dan teman – teman nya pun berhenti melangkah. “Apa motif pencurian lo ngebawa piring kantin pulang, Ju?” “Motif  bunga nya bagus, Mez.” lalu Juan tersenyum lebar. “Emak gue suka.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN