#33

1138 Kata
Jam sepuluh pagi ini Icha akan pergi ke rumah sakit. Ia sudah memiliki janji kontrol dengan dokter, tenang saja, tidak terjadi apa-apa dengan kaki Icha. Gadis itu mulai merasakan pergelangan kakinya sudah agak lumayan. Sudah dua hari ini Icha tidak lagi dibantu oleh tongkat penyangga, tapi ia masih harus tetap hati-hati. Gadis itu sudah selesai bersiap, tanktop putih dengan sweater rajut berwarna mint sebagai cardigan, rambut yang dijedai rapi ke bagian belakang, ia merasa sudah cukup dengan tampilan ini. Icha keluar dari kamarnya lalu menuju ke rak sepatu. Tidak ada sepatu yang cocok dengan keadaannya sekarang, maka Icha pun memutuskan untuk memakai sendal jepit saja. "Non... ada mas ganteng di depan, katanya mau jemput Non Icha," kata Bik Yati memberitahu. "Ah! Iya, Bik... makasih," sahut Icha lalu beranjak menuruni tangga dengan hatia-hati. Icha melihat Aiden duduk di sofa ruang tamu Icha. "Hay... Den, udah lama nunggunya? "Ah, enggak kok. Baru juga lima menitan," "Kita pergi sekarang?" tanya Aiden. "Iya... yuk," sahut Icha. Iya, Aiden yang datang menjemput Icha, dan memang seharusnya begitu. Aiden adalah sosok pria muda bertanggung jawab, itu yang Icha tangkap darinya sejak pertemuan pertama mereka. Meskipun pertemuan itu berawal dari insiden tidak mengenakkan buat Icha. Bukan hanya Aiden, kalau dipikir-pikir, Icha juga mengalami hal yang sama dengan Vic meskipun Icha tidak kenapa-napa, hanya Vic saja yang lagi sial saat itu. Beda orang, beda sifat. Meski begitu Icha tetap hati-hati, ia belum lama kenal dengan Aiden, dan juga belum tahu banyak tentang pria muda itu. Kini dua anak manusia itu sedang berada di dalam mobil Aiden, mereka melaju dengan kecepatan sedang karena waktu yang tidak terlalu mepet, jalanan juga tidak macet. "Cha, gimana? Udah baikkan kaki kamu?" tanya Aiden membuka percakapan. Icha mengangguk. "Iya nih, lumayan sih. Oh, iya motor kamu gimana?" tanya Icha. "Lagi di bengkel, banyak codet... kayaknya belum mau pakai motor juga sekarang. Jadi trauma nggak sih? Kemana-mana bawa mobil aja deh," jawab Aiden. Icha mengangguk. "Oooh, emang baru kali ini jatoh pas naek motor?" Aiden menggeleng. "Enggak sih, cuman baru kali ini aja sampe nyerempet orang," jawab Aiden. Icha mengangguk-angguk kecil dengan bibir membulat, kemudian gadis itu terdiam lagi, menatap ke arah kaca jendela samping, ia melihat banyak orang berkerumun mengantri di tempat jualan boba, setelahnya gadis itu hanya menatap kosong. "Cha?" panggil Aiden. "Eh! Iya... kenapa?" Kaget Icha. "Enggak... habisnya kamu menghayal, takut nanti kesambet aja..." jelas Aiden terbahak. "Oh iya, Cha. Sekarang sibuk apa?" lanjut Aiden. "Sekarang, kuliah aja sih." "Di Elite?" tanya Aiden. "Iya... kan waktu itu kita kecelakaannya di depan kampus Elite, aku mau ke kampus waktu itu," jawab Icha. "Oh gitu... aku alumni situ juga sih," ujar pria muda itu. "Hah? Serius? Udah lulus dong? Harusnya aku manggil kakak dong nih," kaget Icha. Aiden tertawa. "Hahaha, enggak apa-apa. Kayak sekarang aja sih. Lagian aku juga baru lulus awal tahun ini kok... santai aja sih." "Ya kan tetep aja... jurusan apa emang?" tanya Icha lagi. "Aku anak Kedokteran hehe... kamu semester berapa Cha?" "Ih keren ih... dokter muda nih, aku sekarang udah mau masuk semester delapan di jurusan Seni," jawab Icha penuh kebanggaan. "Wah! Calon artis dong nih? Aku minta tanda tangan duluan kalo gitu," seru Aiden. Icha terkekeh. "Ngaco aja...." Tak lama kemudian mereka sampai di tempat parkir rumah sakit, Icha dbantu oleh Aiden turun dari mobil kemudian memapah gadis itu menuju ke kursi roda yang sudah tersedia di lobby rumah sakit. "Hati-hati, Cha," ucap Aiden ketika Icha akan duduk di kursi roda. "Makasih ya, Den," jawab Icha dengan senyum. Aiden mendorong kursi roda Icha menuju ke resepsionis, kemudian memberikan surat pengantar kontrol kepada salah satu ners yang bertugas disana. Tak lama Aiden kembali kembali menghampiri Icha. "Tunggu bentar katanya, susternya mau konfirmasi ke dokternya dulu," ujar Aiden. Tak lama kemudian suster sudah memanggil Aiden lagi, dan mereka dipersilahkan menuju ke ruangan dokter. Aiden kembali mendorong kursi roda Icha, membawa gadis itu menuju ke ruang dokter. Ekor mata Icha yang begitu jeli atau itu hanya halusinasi. Icha melihat sosok Daniel di rumah sakit itu. "Stop Den!" Pinta Icha ketika iya meyakini bahwa pria yang ia lihat adalah Daniel. Aiden kebingungan namun menghentikan jalan mereka. "Ada apa, Cha?" Icha bergegas mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Tak lama dan telepon itu pun tersambung. Pria yang Icha perhatikan itu pun mendekatkan ponsel ke telinganya. Icha semakin penasaran. "Hallo Dan?" "Iya, Cha. Kenapa?" jawab Daniel dari seberang. "Lagi dimana?" tanya Icha lagi, Icha memperhatikan sosok Daniel yang tampak linglung seperti sedang mencari jawaban untuk dikatakannya pada Icha. "Lagi di itu... di kampus, kenapa emangnya?" bohong Daniel. "Enggak, aku mau nitip beliin boba kalo pulang... ya?" jawab Icha asal. "Oke... nanti ku beliin," jawab Daniel. "Oke...." sahut Icha. Icha mematikan ponselnya, matanya masih tertuju pada Daniel yang sedang duduk di ruang tunggu. Aiden yang tak tahu apa pun itu kebingungan melihat Icha, dan apa yang Icha lihat. "Cha? Ada apa?" bingung Aiden. "Aku ngeliat seseorang yang aku kenal," jawab Icha. "Kita masuk sekarang?" tanya Aiden. "Ntar, tunggu bentar lagi...." jawab Icha, gadis itu terlalu kepo saat ini. Tapi Daniel memang mencurigakan. Tak lama kemudian, datang seorang gadis bersurai cokelat, gadis itu memakai masker membuat Icha sulit mengenalinya. Gadis itu menghampiri Daniel dan mengobrol, seperti obrolan yang sangat serius. Icha bertanya-tanya dalam hatinya, siapa gadis itu? Icha tak mau melewatkan informasi apa pun, ia bergegas memotret dengan kamera ponselnya, banyak sekali entah berapa kali ia mengambil gambar, sebisa mungkin ia mengambil gambar yang jelas. Setelahnya Icha menepuk tangan Aiden, mengisyaratkan untuk pergi. "Den... ayo masuk sekarang," ajak Icha. "Oh? Oke...." jawab Aiden lalu mendorong kursi roda itu menuju ke ruang praktik dokter. *** "Pergelangan kaki Miss Icha yang terkilir sudah membaik ya, kami akan membuka gips sekarang dan Miss Icha sudah bisa melakukan aktifitas normal lagi, namun harus tetap berhati-hati ya?" jelas dokter. "Iya, Dok. Terima kasih ya, Dok," jawab Icha. Icha seharusnya senang karena ia akan bisa beraktifitas normal lagi, namun pikirannya masih tersita oleh Daniel dan gadis tadi. Selama proses pelepasan gips Icha hanya diam, Aiden juga tak mengajaknya bicara. Icha masih terus memikirkan Daniel dan juga kebohongannya. Icha dan Aiden bersiap pulang, gadis itu sudah tidak dipapah lagi oleh Aiden. Ia merasa leluasa bergerak sekarang. "Cha, mampir makan dulu nggak sih? Udah siang loh," ajak Aiden. "Boleh, aku pengen burger di McD hehe... boleh?" Icha tertawa cengengesan. "Boleh banget lah... kuy!" ucap Aiden menyetujui. Keduanya pun bergegas menuju McD terdekat. *** “Heh, kecil-kecil makannya banyak banget kayak kebo,” ledek Aiden. “Hey… aku masih dalam masa pertumbuhan!” jawaban Icha berhasil memecah tawa Aiden. Di atas meja sudah tersedia empat burger Mc Spicy, empat kentang goreng, salad, pepsi, ayam goreng. Icha sendiri hampir tak percaya ia memesan sebanyak itu. “Ets! Baca doa dulu,” ujar Aiden. Disisi lain, Vic tak sengaja melihat Icha bersama dengan orang yang ia kenal. Aiden, yang merupakan teman lama Vic. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN