2. Mencoba Menggoyahkan Hati

1922 Kata
Gea sepanjang malam merasa kesulitan untuk bisa tidur dengan nyenyak, bahkan dia baru bisa tidur pada dini hari. Sementara dia sudah harus bangun jam 6 pagi untuk bersiap-siap kerja seperti biasanya. Sehingga gadis itu hanya tidur tiga jam lamanya dan bangun dalam kondisi mata sembab dan juga kantung mata miliknya yang berusaha dia tutupi dengan bedak agar tidak begitu terlihat. "Selamat datang kak, ada yang bisa saya bantu? Mau mencoba tester parfum di kami tidak kak? Ini adalah parfum keluaran terbaru kami dengan aroma vanila yang lembut, ada juga aroma bunga, dan yang paling best seller disini ada aroma cokelat yang biasanya disukai cewek-cewek cantik kayak kakaknya." "Enggak mbak, permisi." Gea hanya berusaha tersenyum begitu melihat orang yang lewat di depannya. Beginilah kesehariannya sebagai SPG, susah senang dia lalui demi bertahan hidup dan juga demi memenuhi uang kuliahnya. Meski saat ini Gea hanya berkuliah di Universitas Terbuka sehingga lebih memudahkan waktunya untuk bisa bekerja sembari kuliah karena sistem kuliah online dan hanya sesekali bertatap muka via zoom meeting. Gadis itu tampak menyeka keringat yang membasahi keningnya, padahal mall tempat dia bekerja saat ini ber-AC. Namun tetap saja Gea masih berkeringat meski tidak banyak. Dia juga beberapa kali tidak fokus saat mempromosikan produk yang dia jual ke pembeli. Membuat gadis itu beberapa kali ditegur oleh temannya yang merupakan sesama SPG. "Lo kenapa sih sedari tadi gue lihat kebanyakan bengong mulu." Vani yang kebetulan sedang agak luang karena tidak ada konsumen yang datang ke counternya kini mendekat dan menepuk pundak Gea pelan. "Eh aku? Gak apa-apa kok, biasalah akhir bulan." Vani yang sudah setahun ini menjadi teman Gea karena mereka merupakan rekan kerja seperjuangan hanya bisa mengernyitkan keningnya heran. "Masa sih, kok gue lihatnya gelagat lo ini kayak cewek yang lagi galau gara-gara putus cinta deh." Mendengar tebakan asal yang dilontarkan oleh Vani sontak saja membuat Gea langsung agak panik. Yang mana hal itu justru semakin membuat Vani merasa curiga bahwa dugaannya memang benar adanya. "Kok lo keliatan panik gitu, jangan bilang lo beneran habis putus cinta? Sama siapa emangnya, kok lo gak pernah cerita?" Gea sebisa mungkin hanya berusaha untuk memalingkan wajahnya dari Vani yang tampak seperti sedang mengintrogasinya. Padahal saat ini Gea benar-benar ingin sejenak melupakan masalah yang dia alami kemarin. Sebuah hal paling buruk dalam hidupnya saat mengetahui bahwa dia sudah tidak jauh berbeda dengan seorang pelakor tanpa dia sadari. "Kenapa ribut-ribut di sini? Balik ke tempat masing-masing, belum waktunya ngerumpi." Mendengar teguran yang dilontarkan oleh salah satu senior mereka yang memiliki usia beberapa tahun lebih tua. Membuat Vani hanya bisa terdiam dan berjalan kembali ke tempatnya meski dengan ekspresi wajah kesal yang sebisa mungkin coba dia tahan. "Mentang-mentang senior sok-sokan merangkap jadi pengawas. Padahal target bulananku juga udah tercapai, masih aja galak!" Vani yang pada dasarnya memang gadis bebal tetap saja menggerutu pelan hingga dia kembali ke tempatnya sendiri. Melihat hal itu mau tidak mau membuat Gea merasa bersyukur karena teguran dari Kak Lena yang menyelamatkan Gea dari sesi interogasi Vani tadi. Gea tersenyum pada Kak Lena seperti bisanya, sekaligus berterima kasih secara tidak langsung karena dia tidak harus menjawab pertanyaan Vani. "Kamu juga Gea, jangan kebanyakan melamun. Ntar kerasukan gak ada yang bisa bantu nenangin loh." Setelah mengatakan hal itu Lena kembali berjalan menuju ke tempatnya yang berada di bagian penjualan make-up. Namun mendengar teguran dari Lena tidak membuat Gea merasa kesal seperti Vani. Tentu saja dia paham bahwa saat bekerja mereka memang dituntut untuk profesional, ia juga paham tujuan Lena menegurnya agar dia tidak sering melamun dan nantinya justru akan menurunkan kualitas kerjanya. Karena bagi Gea, ia lebih baik ditegur oleh rekan sendiri dari pada ditegur langsung oleh atasan yang jauh lebih menakutkan. Hingga pada akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah usai, jam kerja Gea telah berakhir. Setelah seharian kemarin dia memanfaatkan waktu liburnya dengan menangis seperti orang gila di kamar kosan, tentu saja karena dia tidak ingin terus terpuruk di dalam kamar kosannya memikirkan sosok Rendra yang sangat tega selama ini membohonginya, Gea sama sekali tidak berniat untuk mengambil cuti sekalipun dia beberapa kali masih saja melamun saat bekerja karena memikirkan kejadian itu. Akan tetapi mau sejauh apapun ia berusaha untuk lari, tetap saja setelah jam kerjanya berakhir membuat Gea kembali merasakan sakit. Bukan sakit secara fisik, tapi sakit yang seolah menusuk ulu hatinya dari dalam. Menghancurkan kepercayaan yang telah dia bangun untuk seseorang yang dia kira adalah pria yang tepat untuknya. Rupanya selama ini dia hanya menipu diri sendiri, mempercayai semua ucapan pria itu tanpa tahu apapun yang ada dalam diri pria itu. Gea bahkan merasa bahwa dia telah menjadi perempuan yang hina karena menjadi orang ketiga dalam hubungan sepasang suami istri. Meski dia sendiri pun adalah korban di sini. Pada akhirnya Gea saat ini membuka tas kecil yang dia bawa, mengambil ponselnya dan menatapnya selama beberapa saat. Sejak kejadian itu ia pulang dan mengurung diri di dalam kamar kosnya, gadis itu lebih memilih untuk mematikan ponselnya hingga saat ini. Jujur saja Gea masih belum siap untuk menyalakan ponselnya, ia hanya takut jika harus mendapatkan pesan dari pria itu yang mungkin akan membuat perasannya kembali goyah. Yang dibutuhkan oleh Gea saat ini adalah bagaimana agar dia bisa menjauh dari pria itu sebisa mungkin dan memberi waktu pada dirinya sendiri agar dia tidak memikirkan Rendra dan segala kenangan manis mereka yang telah terukir di hidupnya. Gea ingin menghapus semua mimpi-mimpi yang sempat dia impikan akan berakhir indah pada akhirnya nanti bersama pria itu. Tapi bahkan belum sampai mimpi itu terwujud, gadis itu malah ditampar oleh sebuah kenyataan yang sangat tidak dia duga akan terjadi dalam hidupnya. Gea kini tampak memejamkan kedua matanya, mengambil napas panjang dan memberanikan diri untuk menekan tombol power di ponselnya hingga membuat ponsel tersebut menyala. Belum ada satu menit ponsel tersebut menyala, suara notifikasi baik pesan maupun panggilan tak terjawab yang muncul di layar ponselnya membuat perasaan gadis itu semakin berkecamuk. Jika biasanya Gea selalu senang jika mendapatkan panggilan telepon atau pesan dari Rendra, bahkan dia selalu menunggu momen-momen tersebut setiap harinya seperti remaja labil yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Namun hal itu berbeda dengan kondisinya sekarang. Meskipun Gea tahu ada banyak sekali pesan yang dikirimkan oleh Rendra padanya, juga setumpuk panggilan tak terjawab dari pria itu yang justru semakin membuat perasaan Gea semakin sakit. Sakit dari dalam jauh lebih menyiksa dari pada sakit fisik yang terlihat dengan jelas. Hal itu jugalah yang membuat kedua mata Gea berkaca-kaca saat ini. Gea memberanikan diri untuk membuka sejumlah pesan masuk yang dikirim oleh Rendra padanya. Meski Gea sebelumnya sempat berdebat dengan dirinya sendiri, namun pada akhirnya perasaan mengalahkan egonya. "Gea, kamu jangan salah paham." "Aku bisa jelasin ini semua." "Aku tahu kamu pasti marah atas apa yang aku lakukan, tapi aku punya alasan tersendiri." "Aku tidak mengatakannya sejak awal karena takut kalau kamu tidak akan bisa menerimaku. Tapi jujur Mas sangat sayang dan cinta sama kamu, cinta Mas tulus untuk kamu." "Kamu boleh menganggap Mas sebagai pria b******k karena sudah menyembunyikan hal ini sejak lama. Tapi Mas harap kamu bisa mengerti posisiku, Mas harap kita bisa bertemu. Mas akan jelaskan semuanya." "Gea, kamu di mana? Kenapa nggak aktif?" "Mas takut kamu kenapa-kenapa." "Mas harap kamu tidak akan sampai berpikiran untuk meninggalkan Mas. Mas janji akan berusaha melakukan yang terbaik untuk kamu, asal kamu jangan meninggalkan Mas." "I love you." Gea tidak membaca semua chat itu dari awal, namun dia hanya membaca bagian yang menurutnya penting saja. Itu pun sudah membuat hati gadis itu kembali goyah, hingga kini yang bisa dilakukan oleh Gea hanya menengadahkan kepalanya ke atas. Menghalau kedua matanya yang lagi-lagi terasa panas dan sudah berkaca-kaca. 'Mengapa sangat berat bahkan hanya untuk mengikhlaskan?' Gea menekan dadanya beberapa kali, berharap rasa sesak itu akan segera sirna. "Gea duluan ya!" Vani menepuk pundak Gea sebelum berlalu pulang terlebih dahulu dengan masih fokus ke ponselnya, terlihat sekali bahwa ia sedang dalam suasana hati yang gembira hingga tidak menyadari Gea yang buru-buru mengusap air matanya agar tidak sampai membasahi pipinya. "Iya hati-hati!" Gea mengambil napas panjang, lalu dia sebisa mungkin mencoba untuk tersenyum. Atau lebih tepatnya mencoba untuk membodohi dirinya sendiri dan mensugesti dirinya sendiri bahwa dia pasti akan baik-baik saja dan bisa melewati semua ini. "Semangat Gea, kamu pasti bisa melaluinya!" Gea bergumam pelan, mencoba untuk menyemangati diri sendiri sebelum berjalan keluar dari area mall. "Gea, tunggu. Ikut saya sebentar." Gea langsung tersentak begitu ada sebuah tangan yang kini menggenggam lengannya dan membawanya menuju ke arah basement. Gea merasa sangat terkejut begitu dia menyadari siapa orang yang kini tengah memegang lengannya dengan cukup erat agar dia tidak bisa lepas dari pria di depannya. Tubuh gadis itu bahkan terasa kaku dan dia tidak tahu harus berbuat apa sehingga mengikuti saja kemana Rendra membawanya. Hingga kini keduanya telah ada di dalam sebuah mobil berwarna hitam milik pria itu yang terparkir di basement mall. Gea masih tidak percaya apa yang kini dia lakukan. Bagaimana dia mau-mau saja diseret oleh pria itu hingga kini mereka berdua berada di mobil Rendra, meski otaknya berulang kali mengingatkannya agar melepaskan pegangan tangan Rendra tadi dan pergi menjauh dari pria itu. Namun pada kenyataannya dia malah diam saja dan menurut dengan instruksi pria itu tanpa adanya perlawanan apa pun. Ketika rasa cinta dan benci di dalam dirinya masih berkemelut mencoba mempertahankan dirinya. Meski pada akhirnya rasa benci itu kalah oleh rasa cinta yang lebih besar. Sehingga Gea sekali lagi bersikap bodoh dan tidak menepis tangan pria yang sudah jelas-jelas telah menyakitinya sebegitu dalam. "Gea, maafkan aku. Mas tahu kamu pasti sangat marah, kamu pasti sangat membenci Mas setelah tahu semua ini. Tapi Mas hanya meminta sama kamu, tolong beri Mas satu kesempatan lagi untuk membuktikan ke kamu kalau Mas tulus dan tidak ada niatan untuk bermain-main dengan perasaan kamu." Rendra memegang kedua tangan Gea yang saat ini hanya menundukkan kepalanya. Bibir gadis itu tampak kelu, pertentangan batin dalam dirinya masih bergejolak. Ia ingin sekali menatap pria itu dengan tegas dan mengakhiri semuanya cukup sampai di sini, namun sayangnya antara otak, hati dan mulutnya sangat tidak sinkron. "Aku butuh waktu untuk sendiri Mas, tolong lepaskan aku." "Gea, Mas tahu kamu tidak bisa menerima semua ini begitu saja. Tapi mas janji akan memperlakukan kamu dengan baik, pernikahanku dengan Rana terjadi karena adanya perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua kami. Aku tidak mencintainya, kumohon kamu mau memberiku satu kesempatan lagi." Gea dengan segera mengusap air matanya yang kembali jatuh tanpa bisa dia tahan. Rasanya sakit tiap kali menyadari statusnya sebagai seorang selingkuhan selama ini. Tapi dia tidak bisa melakukan apa pun dan dia sadar bahwa diposisinya saat ini dia seharusnya tidak berhak untuk mengeluh. Karena ada hati lain yang seharusnya jauh lebih berharga untuk dijaga ketimbang dirinya sendiri. "Aku ingin sendiri dulu Mas." Gea ingin pergi keluar dari mobil Rendra secepat mungkin, karena jika dia bertahan lebih lama lagi. Maka gadis itu tidak berani menjamin jika hatinya tidak akan luluh akan pandangan memohon yang ditunjukkan oleh Rendra padanya. "Tunggu!" Gea langsung terdiam mematung ketika Rendra menahan tangannya yang hendak membuka pintu mobil. Jarak di antara mereka berdua saat ini bisa dibilang sangat dekat hingga gadis itu dapat merasakan hembusan napas Rendra pada wajahnya. Membuat degup jantung Gea berdetak dengan cukup kencang. Rendra mengambil sebuah ciuman di kening dan bibir Gea meski hanya sebuah ciuman singkat. Namun meski begitu membuat Gea sangat kaget bukan main dan dengan segera mendorong pria itu sebelum berlari keluar dari mobil Rendra. Gea berlari kencang untuk menjauh dari pria itu dengan detak jantungnya yang semakin berpacu kencang tanpa bisa dia kontrol. Serta air mata yang tak bisa gadis itu tahan untuk terus keluar membasahi pipinya. "Jangan harap kamu bisa lepas dariku, Gea!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN