Ditolak
Pov Ocha
Sudah tengah malam, entah kenapa suamiku belum juga pulang ke rumah. Tak biasanya dia pulang telat seperti ini, tanpa kabar lagi. Berkali-kali ku hubungi nomor ponselnya namun tetap saja tidak aktif. Aku merisaukan keselamatannya. Sempat menghubungi beberapa teman kantornya, namun kata mereka, suamiku sudah pulang dari jam lima sore. Lalu kemana dia?
Sebuah cake dengan lilin berangka satu sudah ku siapkan sebagai kejutan. Hari ini merupakan anniversary pernikahan kami yang pertama. Aku sampai menutup toko sepatuku awal demi menyiapkan kejutan untuknya. Mungkinkah dia lupa dengan hari spesial kami berdua?
Aku melamun di sudut jendela kamarku, bagaimana jika terjadi sesuatu pada suamiku. Aku benar-benar tak tahu harus menghubungi siapa lagi untuk bisa menanyakan keberadaannya.
Ting tong!
Bunyi bel membuatku tersadar kembali dari lamunan. Bergegas aku turun dari kamarku dan membuka pintu.
Degh!
Senyumku berubah seketika. Di depanku berdiri seorang wanita berbaju sexy yang tengah merangkul suamiku yang terlihat mabuk.
"Maaf, apa anda istri lelaki ini?" tanya wanita itu.
Aku mengangguk, "Benar. Kenapa anda bisa bersamanya?"
"Anda jangan salah paham dulu. Saya hanya membantu suami anda pulang. Dia mabuk di klub tempat saya bekerja."
Jantungku berdetak tak karuan, Mas Rey telah ingkar janji. Sebelum menikahiku, dia berjanji akan berhenti pergi ke klub. Dia membuktikan ucapannya setahun ini. Tapi kenapa malam ini dia pergi ke sana lagi?
"Terimakasih telah mengantarkan suami saya pulang."
Aku kemudian membantu wanita itu memapah suamiku. Kami berdua bekerjasama meletakan suamiku hingga kamar tamu. Bau alkohol dari nafas suamiku membuatku mual dan ingin muntah. Setelah kami berhasil menidurkan Mas Rey di kamar tamu, wanita sexy itu pamit pulang. Semoga saja ucapannya benar, dia hanya mengantarkan Mas Rey pulang. Tak terjadi apapun di antara mereka berdua.
Aku kemudian mengurus Mas Rey. Ku lepaskan sepatunya dan ku ganti baju kerjanya. Mungkin dia punya masalah di kantor yang cukup berat sampai dia memutuskan pergi ke klub dan mabuk berat seperti ini. Aku mencoba berpikir positif, tak mau menduga-duga hal yang belum ku tahu kebenarnya.
"Lisa...Lis...!"
Aku yang baru selesai memakaikan bajunya terperanjat mendengar suamiku menyebut nama wanita lain dalam tidak sadarnya. Terlebih nama yang di sebutnya adalah nama sahabatku.
Aku menajamkan pendengaranku, berharap tadi aku salah dengar.
"Lisa...!"
Kembali suamiku menyebut nama sahabatku. Hatiku rasanya teriris, perih sekali. Apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mas Rey dan Lisa hanya bertemu beberapa kali itupun aku yang mengajak mereka berdua. Lalu, kenapa bisa Mas Rey menyebut nama Lisa berulang-ulang dalam mabuknya. Mungkinkah mereka berdua menyembunyikan sesuatu dariku?
Kepalaku yang di penuhi tanda tanya tak sabar ingin memastikan kebenarannya. Segera ku ambil ponsel suamiku. Selama ini aku diam-diam tahu pasword ponselnya. Namun kebaikannya padaku membuatku percaya sepenuhnya padanya dan tak mau mengutak-atik isi ponselnya.
Ku nyalakan ponselnya yang sebelumnya dia matikan, lalu ku buka aplikasi berwarna hijau, dan aku menemukan isi chatnya bersama sahabatku.
[Aku buang bunga yang kamu kirimkan. Tolong jangan buat Ocha salah paham. Dia sahabatku, jangan sampai kamu melukainya!]
Begitu isi pesan dari Lisa. Dia juga mengirimkan sebuah gambar bunga yang ia buang di tong sampah. Sepertinya Bunga itu pemberian dari Mas Rey.
[Kamu tahu kan, aku menikahinya hanya untuk menyakiti dan membuatmu cemburu. Teruslah menolakku, aku takan berhenti mengejarmu!]
Balasan dari suamiku cukup membuatku tercengang. Ponsel mahalnya tak terasa sampai terjatuh dari tanganku. Ketulusannya yang terasa sangat nyata itu ternyata hanya kepalsuan belaka. Aku di jadikan alat balas dendamnya karena di tolak sahabatku. Benar-benar tidak punya perasaan!
Hatiku remuk, aku menangis di sebelah lelaki yang telah menghancurkan perasaanku. Kenyataan ini adalah hadiah yang sangat pahit di anniversary pernikahan kami.
Aku terus menangis, entah siapa yang salah dalam masalah ini. Aku paham alasan Lisa terus bungkam tak menceritakan hal sebenarnya padaku. Dia tak mau menyakitiku dengan kejujurannya. Penolakannya terhadap suamiku cukup membuktikan kesetiaan persahabatan kami. Meski aku tak suka dengan kenyataan ini, aku tetap tidak bisa menyalahkannya, apalagi membencinya. Suamiku yang mengejarnya, bukan dia.
Aku meninggalkan suamiku tidur di kamar tamu, sedangkan aku memilih naik ke kamarku sendiri.
Pagi menjelang. Meski aku masih merasa sakit hati karena ulah suamiku, aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. Aku tetap menyiapkan sarapan untuknya seperti biasanya.
Saat aku tengah memasak, suamiku memelukku dari belakang. Dia melakukan ini setiap pagi, tapi bagaimana bisa dia tega mengatakan pada Lisa bahwa dia tak mencintaiku? Aku tersenyum getir mengingat kembali kalimat yang dia tulis untuk Lisa.
"Selamat pagi sayang! seharusnya kamu tak perlu masak awal. Hari ini Mas ijin cuti." ucapnya, tangannya masih melingkar di perutku.
"Lepasin, Mas! Aku lagi masak!" ketusku. Aku berpura-pura bersikap biasa karena tak mau dia curiga bahwa aku sudah mengetahui perasaannya terhadap Lisa.
"Mas gak akan lepasin kamu. Nyaman banget meluk kamu dari belakang gini!" ucapnya. Dadaku sesak mendengar ucapannya. Aku yakin ucapannya hanya kebohongan saja. Dia menikahiku karena memperalatku untuk membuat cemburu Lisa. Mulai sekarang aku harus mencoba sadar diri. Jangan sampai aku terbuai lagi akan kepalsuannya.
"Lepasin, Mas. Aku susah bergerak!"
Bukannya melepaskanku, suamiku justru membalikan tubuhku. Dan dia kaget melihat mataku yang sembab.
"Hey, kenapa dengan wajahmu? apa semalam kamu habis nangis?"
Aku terdiam, hening terjadi beberapa saat, hingga bau gosong pada masakanku membuatku pura-pura kembali sibuk.
"Lihat! Mas sudah membuat masakanku gosong!"
Suamiku terkekeh tanpa merasa bersalah, "Biarin gosong. Kita sarapan di luar saja."
Aku menghela nafas panjang kemudian membuang masakanku yang sudah terlanjur gosong itu.
"Jangan manyun, bersiaplah sarapan di luar. Mas tunggu ya!" ucap Mas Rey sambil berlalu pergi. Aku tak habis pikir apa yang ada dalam otaknya. Bisa-bisanya dia sangat sempurna bersandiwara setahun ini. Kepedulian dan kasih sayang palsunya sungguh seperti nyata. Dia memperlakukanku seperti ratu selama ini tanpa rasa berdosa, bagaimana bisa dia begitu baik memainkan perannya sampai aku benar-benar bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya.
Aku bersolek di depan cermin kamar. Membandingkan kekuranganku dengan kelebihan yang Lisa punya adalah hal yang sangat bodoh dan membuang waktu. Lisa memang wanita yang sempurna, selain cantik dia wanita yang sangat baik. Pantas saja suamiku tergila-gila padanya. Aku sama sekali bukan tandingan Lisa. Menurutku wajahku begitu biasa, dan aku benci mengakui jika aku mulai merasa cemburu dengan kecantikan Lisa.
"Hey, melamun lagi!"
Suamiku kembali menyadarkan lamunanku.
"Mas baru ingat kalau semalam seharusnya menjadi hari bahagia kita. Pantes kamu nangis, kamu menunggu Mas di rumah malah Mas pergi ke klub malam. Maafin Mas ya, semalam Mas gak bisa nahan diri untuk tidak pergi ke klub. Mas berantem dengan teman kerja Mas, jadi Mas butuh hiburan."
Kamu pembohong yang buruk Mas. Harusnya aku tidak mempercayaimu dari awal. Harusnya aku tidak pernah mau menikah denganmu. Harusnya aku tak pernah terlibat dengan perjuanganmu yang tega memperalatku demi mendapat simpati dari Lisa.
"Jangan bengong terus dong, sayang. Cake dalam kulkas, mari kita habiskan bersama setelah pergi sarapan."
Aku tahu kalau suamiku kembali sedang berakting menjadi suami baik di depanku. Tapi kenapa, kenapa hati ini tetap merasa bahagia mendapat perhatian palsunya? kenapa hati ini masih tetap merasa nyaman meski sudah tahu kenyataan sebenarnya.
Aku melanjutkan menggunakan maskara agar suamiku tak melihat kegugupanku.
"Sudah cantik. Mari pergi sekarang!" suamiku menggandengku menuju mobil. Seperti biasa dia akan membukakan pintu mobil untukku lalu memasangkan sabuk pengamanku.
Sesampainya di restoran, dia menarik kursi dan menyuruhku duduk. Benar-benar terlihat seperti suami yang baik dan sempurna bukan?
Mas Rey kemudian memesankan nasi goreng spesial kesukaanku. Dia memesan makanan yang sama untuknya. Dia selalu bilang, semua makanan yang ku suka akan menjadi kesukaannya juga. Benar-benar ucapan yang membuatku menjadi orang bodoh seperti sekarang. Bahkan ketika aku sudah tahu sandiwaranya, aku lebih memilih tetap menjadi orang bodoh dan pura-pura tak tahu dari pada harus kehilangannya.
"Ocha, kamu disini?"
Tak di sangka, Lisa datang bersama pacarnya. Suamiku yang tadinya lahap makan menjadi tak berselera. Aku yang melihat itu merasakan sakit sungguh luar biasa. Haruskah aku terus-terusan bertahan dan berpura-pura tidak tahu seperti ini. Aku sangat mencintai Mas Rey, aku tak mau kehilangannya tapi hatiku terasa sangat sakit melihat kenyataan kalau bukan aku yang ada di hatinya, melainkan Lisa sahabatku.