PART 11

1544 Kata
Aura membuka pintu kamar rawat inap Lifa dengan perlahan. Kemudian ia termenung saat melihat kedua orang di dalamnya sedang mengobrol satu sama lain, Tapi ia syok dengan tangan Raga yang sedang menggenggam mangkuk yang ia pastikan isinya adalah bubur sumsum yang ia bawakan tadi serta tangan kanan yang memegang sendok berisi bubur sumsum untuk disuapkan ke mulut Lifa. Sedangkan sahabatnya terlihat tidak masalah dengan perlakuan dari Raga. "Gila! Seorang Raga bisa kayak gitu? Fix sih ini akucuma jadi saksi kebucinan orang lagi PDKT-an aja ini," batinnya.  "Kok nggak masuk aja, Dek? kan tadi kata Raga disuruh masuk aja," tanya Fasa yang sudah berada di belakangnya. Aura sedikit berjengit kaget karena tadi Fasa berpamitan padanya untuk menerima telpon terlebih dahulu dan setelah itu akan menyusulnya tapi iatidak menyangka jika secepat itu mengangkat telponnya. "A-Ya? oh ini mau masuk kok, Mas," jawab Aura dengan cengirannya menahan gugup. Fasa terlihat mengintip isi kamar rawat inap di hadapan mereka dari celah pintu yang telah dibuka oleh Aura tadi, "Oalah. Ternyata yang di dalam baru bucin-bucinan ya. udah nggak papa kita masuk aja, Dek. Nanti pasti mereka bakalan sadar kalau ada kita". Aura mengiyakan ucapan Fasa dengan menganggukan kepalanya. Kemudian ia menenangkan dirinya dan berusaha mempertahankan ekspresinya seperti tidak mengetahui tentang apa-apa. Lalu ia membuka pintu di hadapannya dengan lebar. Lifa menyadari kehadiran dirinya sedangkan pria yang menjadi lawan bicaranya masih sibuk berbicara.  "Ehm!" deham Lifa dengan menegakkan posisi duduknya yang bersandar pada bantal dan guling yang ditumpuk di belakang tubuhnya.  "Kenapa? Haus?" tanya Raga sembari menatap Lifa. Namun bukannya mendapat jawaban dari wanita dihadapannya, Lifa malah menunjuk suatu objek di belakang tubuhnya dengan dagu wanita tesebut. Ia yang awalnya tidak paham akhirnya mengerti setelah mendengar adanya angkah kaki yang beriringan. Raga langsung membalikkan tubuhnya dan kemudian berdiri dari kursi yang ia duduki serta meletakkan mangkuk bubur sumsum Lifa ke meja yang berada di samping kanan ranjang pasien Lifa.  "E-eh, Nggak papa kok, Mas. Aku tak duduk di situ dulu aja," ucap Aura dengan terbata-bata dan menunjuk sofa bed yang berada di pojok ruang kamar tersebut. "Nggak papa, Ra. Kan kamu ke sini juga buat nemenin Lifa. Santai aja," jawab Raga sembari menatap Fasa memberi sinyal kepada sahabatnya lalu ia berjalan ke arah sofa bed yang tadinya ingin di duduki oleh Aura. "Oh! Oke, Mas. Makasih," jawab Aura dengan canggung. Kemudian ia duduk pada kursi yang tadinya di tempati oleh Raga.  "Dah sampai dari tadi, Ra? Thanks ya udah ke sini pagi-pagi," ucap Lifa dengan ceria.  "Mungkin dua puluh menit yang lalu, Lif. Halah kayak sama siapa aja sih," jawab Aura dengan malas. TOK TOK TOK TOK Terdengar suara ketukan dari pintu kamar rawat inap Lifa. Raga yang sudah paham keadaan langsung berjalan ke arah pintu untuk membukakannya.  "Ada tamukah, Lif?" tanya Aura dengan mengerutkan keningnya.  "Nggak sih harusnya. Tapi yang biasanya ketuk pintu dari tadi malem sih kalau nggak perawat ya dokter yang visit pasien setahuku," jawab Lifa dengan mengelus dagunya.  Pintu kamar rawat inap telah Raga buka dan ternyata yang datang adalah perawat dengan membawa troli berisikan baki-baki yang di dalamnya terdapat menu makanan.  "Pagi, Mas. Saya mau mengantarkan sarapan atas nama Nona Lifa," ucap Perawat berseragam warna putih dan bernama Ratih yang terlihat pada name-tag nya. "Pagi, Bu. Silahkan! Ini ibu mau masuk atau dititipka sama saya aja?" tanya Raga. "Saya ngikut Mas aja. Kalau masnya mau membawakan untuk mbaknya boleh atau kalau saya yang ngasihin juga boleh," ucap perawat Ratih dengan ramah.  "Saya bawakan saja deh, Bu. Biar ibu bisa melanjutkan membagikan ke yang kamar lainnya," jawab Raga dengan sopan, "Oh iya, Bu. Untuk jadwal pembagian makannya di jam berapa aja ya biasanya?".  "Oke, Mas. untuk jadwal pembagiannya biasanya kalau sarapan pada pukul setengah sembilan, lalu makan siangnya pada pukul sebelas atau pukul satu siang dan untuk makan malam biasanya pada pukul setengah tujuh malam, Mas," jawab Perawat Ratih kemudian memberikan baki berisikan menu sarapan untuk Lifa, "Terimakasih ya, Mas." "Oh, Begitu. Sama-sama, Bu. Terimakasih untuk sarapannya," jawab Raga dengan tersenyum.  "Mari, Mas!" ucap perawat Ratih kemudian meninggaklan Raga dengan mendorong trolinya. Raga menutup pintu tersebut, lalu ia membawa baki yang berisi satu piring nasi dengan lauk telur asin dan tempe goreng, satu mangkuk sayur loder, satu piring kecil berisi potongan buah pepaya serta satu gelas air putih. Aura yang melihat Raga langsung berdiri dari kursinya kemudian ia menyiapkan meja yang menjadi satu set dengan ranjang pasien Lifa.  "Kamu mau langsung sarapan atau ngelanjutin bubur sumsum dulu, Lif?" tanya Raga saat sudah mendekati ranjang pasien Lifa.  "Aku mau lanjutin makan bubur sumsum dulu aja, Mas," jawab Lifa dengan menatap Raga.  "Oke," jawab Raga singkat.  Aura yang peka degan keadaan langsung mengambil mangkuk bubur sumsum yang Lifa santap sebelumnya lalu ia letakkan pada meja yang berada dihadapan Lifa. Kemudian menata barang-barang yang berada pada meja yang berada di samping ranjang rawat inap Lifa agara dapat muat untuk baki sarapan Lifa. Setelah sudah rapi ia mempersilahkan kepada Raga untuk meletakkan baki tersebut dan kembali duduk pada kursinya tadi.  Tiba-tiba Raga berdiri di sampingnya dengan membuka satu botol air mineral lalu meletakkannya pada meja makan Lifa, "jangan lupa minum air putih yang banyak". "A-ah. Makasih ya, Mas!" ucap Lifa dengan kikuk.  "Hmm!" jawab Raga dengan singkat lalu berjalan ke sofa bed kembali. Aura yang melihat kembali interaksi dua manusia yang sedang kasmaran dan dalam tahap PDKT-an ini hanya bisa terdiam saja. Ia bingung harus bereaksi seperti apa untuk itu Ia berusaha untuk biasa saja. Tapi bukan itu yang ditangkap oleh sahabatnya. Komuk Aura sangat terlihat bahwa banyak tanda tanya besar yang ada di pikirannya. "Kamu kecelakaan dimana sih, Lif? Yang nolongin bawa ke sini siapa? kenapa kok nggak ngabarin kita-kita?" tanya Aura dengan beruntun.  "Di Sagan keserempet mobil, Ra. Ada kok banyak orang. Terus aku di bawa ke sini sama yang punya mobil, mereka mau tanggung jawab kok. Bahkan nungguin aku sampe tadi pagi. Aku nggak mau kalian panik apalagi kalian berdua udah capek banget tadi malam udah gitu kamu udah ngabarin ke bunda mau pulang tadi malem kan ditambah lagi kamu juga sama Mas Arka nggak enaklah aku sama dia, terus si Dirga juga lagi nggak di Jogja,  dan yang lain juga rumahnya pada jauh. Lagian aku nggak kenapa-kenapa cuma kaki kananku aja yang retak. It's okay, Ra," terang Lifa dengan menatap dalam Aura. Ia ingin menenangkan sahabatnya yang mengkhawatirkan dirinya ini.  "Untung aja yang punya mobil mau tanggung jawab gimana coba kalau dia lari? Ih! kamu kayak sama siapa aja sok-sokan nggak enakan biasanya juga kagak. Kamu kecelakaan jam berapa? kamu kan keluarnya kan duluan daripada aku tadi malam jadi sabi banget buat nyusulin kamu apalagi cuma di Sagan doang. Ya Allah! Kalau masalah Bunda mah bisa diomongin baik-baik, Bunda pastinya juga bakalan ngasih izin. Terus kalau masalah Mas Arka mah harusnya dia tuh diperdayakan malahan mumpung ada dia dan mau nggak mau dia manut sama aku," omel Aura dengan sebal.  "I'ts okay, Ra. Lagian udah ada yang nolongin juga," ucap Lifa dengan memelas. "Ya nggak bisa gitu, dong! Kamu tuh kalau ada apa-apa ngomong ke kita lah. Aku jadi merasa bersalah sama kamu. Harusnya aku bisa nyusulin kamu tapi karena kamu nggak ngomong malah nggak tahu apa-apa," ucap Aura dengan menghela napasnya, "mana posisinya menguntungkan banget lagi. Ada Mas Arka yang bisa bantu juga". "Iya deh iya. Siap Bunda! Besok kalau kenapa-kenapa lagi aku kabarin kalian segera deh," ucap Lifa dengan pasrah, "itu mah akal-akalanmu aja mau memperdayakan Mas Arka, Haha. Dasar!" "Issshh!" desis Aura, "mumpung ada dia gitu. Setidaknya ada tambahan bantuan dan dia lebih dewasa dari kita jadi bisa lah ngurus-ngurus ginian". "Haha, Iya juga ya. Eh tapi bukannya malah tambah ribet kalau kalian bantu aku tadi malem. kan kalian emang cepet-cepet pulang karena kejar-kejaran waktu sama Pak Farhan yang mau ketemuan sama kalian di rumahmu," jawab Lifa.  "Halah itu mah urusan gampang," jawab Aura. "Iya deh percaya aja sama calon mantunya Pak Farhan. Haha," jawab Lifa menggoda Aura. "Nggak usah bikin gosip aneh-aneh deh, Lif. Males aku dicomblang-comblangin gitu," jawab Aura dengan mendengus. "Haha, Iya-iya. Jangan bad mood dong, Ra," ucap Lifa dengan mencolek dagu Aura dan mendapatkan tatapan tajam dari sang empunya, "Eh kabar petridish kita begimana?" "Makanya nggak usah bahas dia. Halah masalah petridish ntar aku runding bareng sama Raya aja kalau dia udah datang. Kamu fokus sembuh dulu aja," jawab Aura.  Kedua lelaki yang berada pada sofa bed di pojok ruangan tersebut sedari tadi bisa mendengar percakapan dua sahabat yang sedang beradu argumen tersebut. Terlihat sekali Aura seperti emak-emak yang sedang mengomeli anaknya yang nakal.  "Kasian ya Lifa habis lu omelin tadi, eh sekarang diomelin lagi sama Aura," ucap Fasa pelan kepada Raga.  "Dia emang harus diomelin. Dia terlalu santai untuk menghadapi masalah ini," jawab Raga dengan datar.  "Iya lah. Tahu banget aku ada yang panik pagi-pagi ngajakin buat ke sini sampe nggak mandi pula," ucap Fasa dengan mengendikkan bahunya. "ya gimana nggak panik? aku reply story nya pas tadi malam dia bikin story di lab nya tapi nggak di jawab. Paginya eh dia bikin status kalau masuk rumah sakit," ucap Raga dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.  "Kayaknya udah ada yang jadi bucinnya Lifa sih ini sekarang," ujar Fasa dengan menggoda Raga.  "Itu sih terserah aku dan kamu mau nyimpulin apa ya monggo. Kudunya sih kamu yang hati-hati sekarang. kayaknya ada saingan lain tuh. Denger nggak tadi?" tanya Raga. TBC  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN