BAB 3

1046 Kata
Luna “Benar-benar pria sinting. Bos berengsek!” umpatku kesal. Dia pria dewasa yang tidak punya otak. Berani-beraninya dia melakukan hal itu padaku dan Anna melihat seakan aku adalah w*************a bosnya sendiri.             “t***l!” aku terduduk lemas di sofa.             “Kenapa, Lun?” Aku tersentak mendengar suara Kathleen yang memiliki bas tinggi. Dia cocok jadi penyanyi rock atau pemain film dengan peran pemarah. Okay, aku bercanda soal Kathleen.             Kathleen duduk di sampingku seraya menatapku heran. Dia mengaduk gelas berisi teh. “Mengumpat terus menerus tidak baik untuk kesehatan,” Celetuknya.             “Bukannya rumah sudah aku kunci, kau masuk darimana?” Kathleen kadang-kadang memang ajaib. Dia lebih ajaib dari Shawn. Dia bisa membuka pintu yang terkunci lewat satu kali tendangan.             “Hahaha...” bukannya menjawab pertanyaanku, Kathleen malah tertawa menggelegar. “Aku punya kunci cadangan. Kau tahu, Lun, orang tuaku tidak sudih menerima putri cantiknya ini. Aku bingung mau pulang kemana kalau—Charlie tidak di rumahnya.”             “Charlie? Kau masih berhubungan dengannya?” sebelah alisku terangkat. Sekilas tentang Charlie, pria itu adalah kekasih Kathleen bekerja sebagai musik direktur di sebuah studio musik. Charlie sudah memiliki kekasih dan Kathleen tidak bisa menerima itu, dia selalu tinggal di rumah Charlie.             “Tentu saja. Aku akan membuktikan padanya kalau aku adalah yang terbaik.” Kathleen menyesap tehnya.             “Ya, Kathleen terbaik. Kau bahkan pergi berkencan dengan pria aneh yang ditemukan di pesta Tifanny.”             Kathleen tersedak. “Ups! Ma’af aku tidak bermaksud,” Cibirku dengan nada jenaka.             “Kalau Charlie bisa tidur dengan wanita lain, aku berhak tidur dengan lelaki lain.” Kathleen membela diri. Kathleen memiliki rambut burgandy red yang membuat wajahnya tampak dewasa. Dia memiliki bulu mata lentik alami yang—membuatku sedikit iri. Sayangnya, dia pemabuk dan pengangguran. Aku bisa bayangkan betapa merepotkannya dia jika tinggal dengaku dalam waktu yang lama.             “Jadi... kau kenapa, pulang-pulang mengumpat tidak jelas.” Dia bertanya dengan ekspresi penasaran. Kathleen selalu penasaran dengan apa saja yang membuatku kesal. Terkadang jika Kathleen sedang dikuasai iblis, dia akan mendatangi orang yang membuatku kesal. Aku berharap hari ini iblis menguasai dirinya.             “Sawn Robbins. Dia membuatku kesal dan sepanjang hari sampai pulang aku terus mengumpat.” Kataku dengan nada sengit.             Mata Kathleen membulat sempurna dan kedua daun bibirnya terbuka. “Shawn Robbins? Presdir di perusahaan ayahnya itu? Bos besarmu itu?” cercanya.             Aku mengangguk.             “Bagaimana bisa dia membuatmu kesal, bukannya tadi malam kau pulang diantar Shawn?” dia bertanya dengan mata menyelidik. Bukannya ekspresi marah karena Shawn membuatku kesal, Kathleen malah tampak tertarik pada cerita tentang si Shwan itu.             “Ceritanya terlalu mendadak dan aneh. Kau tidak akan percaya.” Aku memasang wajah pesimis.             “Ayolah, aku mau mendengarkannya.” Pintanya. Tanpa mempedulikan tatapan penuh keingintahuan Kathleen, aku berdiri dan meninggalkan Kathleen.             “Hei, Luna Ross. Kau benar-benar menyebalkan, pantas saja Shawn membuatmu kesal!” teriaknya.             Aku tahu dia memancingku untuk cerita. Kathleen lihai dalam memancing seseorang untuk menceritakan sesuatu, termasuk masalah sensitif yang sifatnya pribadi. Tapi aku memilih terus melangkah ke kamar. Bergegas mandi, membersihkan bekas aroma Shawn yang menempel di tubuhku.             Selesai mandi, aku mengenakan gaun tidur hitam. Gaun ini berbahan polyster sehingga nyaman untuk tidur. Ya, aku suka mengenakan gaun tidur saat tidur dibandingkan piyama.             “Luna!” suara Kathleen disertai ketukkan pintu.             “Kenapa? Aku mau tidur, Kathleen, aku lelah.” Jawabku malas.             “Ada Devon di ruang tamu.” Katanya, mencoba membuka pintu kamar yang dikunci.             “Devon...” Aku menggigit bibir bawah. Saraf-sarafku menegang mendengar dia ada di rumahku sekarang. Pria itu benar-benar datang ke sini.             Aku memutar kunci, menarik tangkai pintu dan wajah santai Kathleen menatapku aneh seperti seorang detektif yang sedang menginterogasi seseorang yang telah melakukan pembunuhan. “Bilang padanya aku sudah tidur.” Kataku dengan nada menuntut.             “Aku bilang kau baru mandi.”             Aku mendengus kesal. “Apa susahnya menemui Devon sih? Kau hanya perlu menemuinya, itu saja.”             “Dia memilih Carrie dan dia tetap menginginkan aku. Aku tidak bisa menerima itu, Kath.”             “Barangkali Devon berubah pikiran. Dia memilih kamu dan tidak menikah dengan Carrie.” Katanya optimis.             “Itu tidak mungkin.”             “Mungkin saja.”             Kalau saja wajah Kathleen itu plastik, pasti sudah aku sobek sejak aku mengenal wanita menyebalkan ini.             Dengan kepedihan luka di hati yang masih tersisa banyak, aku akhirnya menemui Devon. Dia berdiri dan hendak memelukku, tapi aku menangkis tangannya. Kathleen yang melihat aku menangkis tangan Devon bergumam sedih lalu dia pergi ke dapur.             “Apa maumu ke sini?” tanyaku seraya menyilangkan kedua tangan di atas perut.             “Aku mau kau memahami apa yang terjadi denganku, sayang.”             “Berhentilah memanggilku sayang. Aku bukan kekasihmu lagi.” Kataku menegaskan.             “Aku tidak bisa.” katanya seraya menggeleng. Devon memiliki bola mata berwarna hijau cemerlang yang membuatku menyukai tatapan matanya.             Kathleen datang dengan membawa dua gelas cangkir teh. “Hei, duduklah. Jangan berdiri seperti itu, berbicara yang baik itu sambil duduk.” Okay, aku muak melihat Kathleen yang mencoba mendinginkan suasana.             “Halo semuanya...”             Aku terpaku menatap Shawn yang datang dengan percaya diri. Dia tersenyum miring. Senyum angkuh yang menunjukkan betapa berengseknya dia. Shawn menatap Devon dengan tatapan yang sulit diartikan. “Halo Devon,” sapanya dengan tatapan mencibir.             “Shawn Robbins...” Kathleen tampak meleleh melihat Shawn, dia mencengkeram lenganku erat seakan Shawn adalah pria tertampan di seluruh penjuru bumi.             “Shawn,” Devon menatap heran Shawn yang tiba-tiba datang ke rumahku. “Kau mau berkencan dengan Kathleen?” terka Devon.             Shawn melangkah mendekatiku. Dadaku berdebar hebat, aku tidak bisa membayangkan Devon melihat Shawn mendekatiku dan mungkin akan melakukan sesuatu yang tak terduga.             “Aku akan berkencan dengan Luna.” katanya enteng.             Devon seakan tidak percaya dengan ucapan Shawn. Dia tertawa hambar. “Luna tidak akan mau berkencan dengan pria sepertimu, Shawn. Luna itu milikku.”             Kedua sudut  bibir Shawn tertarik ke atas membentuk kurva senyuman.             “Oh ya? Bagaimana dengan Carrie? Ngomong-ngomong, aku dan Luna akan berkencan di atas ranjang. Kau mau melihat tidak?” Shawn menatap Devon dengan raut wajah menantang.             Mata Devon menyipit tajam. “Kalau kau berani menyentuhnya, kau berurusan denganku Shawn.” Ancamnya dengan wajah dan suara serius.             “Aku sudah pernah menyentuhnya.” Dusta Shawn.             Devon melangkah maju dan dia mendaratkan tonjokan ke bibir Shawn hingga Shawn terhuyung mundur. Kathleen berteriak histeris. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN