“Euw... euw...” erangan Shawn ketika luka di sudut bibirnya diolesi anti septik oleh Luna. Shawn sesekali melirik Luna dan melihat eksprsi wanita muda itu. Ekspresi fokus, datar dan dingin. Selalu seperti itu.
Saat Shawn terhuyung mundur, dengan sigap Luna menarik lengan Shawn dan menahan tubuh Shawn yang nyaris terjatuh. Mereka bersitatap sesaat. Lalu Kathleen yang tidak suka kekerasan terjadi mengusir Devon. Awalnya Devon tidak mau pergi, tapi suara tegas Luna membuat Devon kecewa dan memilih pergi. Kalau saja Luna tidak menyuruhnya pergi, Devon akan kembali menghajar Shawn habis-habisan. Tentu saja karena sampai kapan pun Devon tidak akan merelakan Luna bersama pria lain kecuali dirinya.
“Walaupun Shawn ditonjok Devon sampai berdarah begitu, Shawn tetap tampan.” Puji Kathleen yang menuai senyuman tipis Shwan.
Luna geleng-geleng kepala.
“Siapa namamu?” tanya Shawn.
“Panggil saja aku—Kath.” Kathleen tersenyum manis.
“Emmm, sebenarnya kau ke sini ingin mengajak Luna kencan di atas ranjang?” tanya Kathleen polos. Seketika Shawn terbahak. Luna menekan bagian sudut bibir Shawn yang berdarah hingga Shawn kembali mengerang kesakitan.
“Tidak ada kencan, Kathleen.” Tukas Luna sengit. Dia menatap sahabatnya dengan ekspresi angker.
“Shawn mengajakmu berkencan, lho, di depan Devon. Itu luar biasa menakjubkan, Lun.” Katanya seakan melihat UFO yang hendak membawa Kathleen dan mempertemukan Kathleen dengan pangeran alien yang tampan luar biasa.
“Ma’af, temanku memang agak sinting.” Ucap Luna dengan ekspresi khasnya, datar. Sebenarnya Luna tidak sedingin dan sedatar yang dibayangkan Shawn. Dia sengaja bersikap dingin pada pria-pria siapa pun itu, karena Luna hanya menginginkan Devon. Sayang, kekasih yang disayanginya itu memilih menyetujui perjodohan dengan Carrie.
“Ya, aku ma’afkan.” Sahut Shawn ringan. “Hei,” Shawn memanggil Luna dengan ‘hei’ Luna pura-pura tidak mendengar dan berpura-pura sibuk membereskan kotak p3k.
“Heiii...” panggilnya lagi dengan tambahan satu oktaf.
“Apa?” tanya Luna ketus.
“Malam ini, aku tidur di sini ya.”
“Boleh, boleh sekali!” seru Kathleen seraya mengambil dua cangkir teh.
“Ups!” Kathleen tampak malu ketika Luna menatapnya dengan tatapan teguran yang tajam. “Maksudku, boleh saja Luna.” Kathleen menyengir lebar.
“Kenapa tidak pulang ke rumahmu saja? Kau punya rumah pribadi, kan?”
“Aku... ingin tidur di sini. Sekali ini saja. Aku tidak mau pulang dengan luka lebam di wajahku.” Katanya dengan wajah dan nada sedih.
“Terserah. Tapi, kau tidur di sofa. Tidak ada kamar lagi.”
“Kau bisa tidur di kamarku.” Luna menatap tajam sahabatnya. “Maksudku, aku tidur denganmu, Lun. Tapi, kalau Shawn ingin tidur denganmu, yasudah tidur di kamar Luna saja.” Kathleen terkekeh.
Luna merasa pusing seketika. Dia hanya memiliki satu sahabat dan sahabatnya ini memang sinting. Mungkin Kathleen alumni rumah sakit jiwa. Saran yang dikemukakan Kathleen benar-benar melenceng dan cenderung v****r.
“Ide Kath bagus sekali!” Shawn tersenyum dengan mata berkedip senang karena Kathleen memiliki otak yang tidak digunakan secara maksimal.
Kathleen mengacungkan ibu jarinya, lalu melesat ke dapur.
“Kauboleh tidur di kamar Kathleen dan Kathleen tidur di kamarku.” Luna berkata dengan ekspresi sebal. Ditambah wajah Shawn yang seakan ingin melakukan hal-hal yang bersifat kurang ajar pada Luna, meskipun itu sebenarnya hanya terkaan Luna saja.
“Aku tidak tidur denganmu?” Shawn menyeringai lebar, seringai itu tampak menyebalkan di mata Luna. Dan Luna tahu itu adalah sebuah pertanyaan.
Shawn mungkin lebih cocok dengan Kathleen. Dasar pria berengsek!
“Kau pikir aku wanita yang sering kautemui di bar?” Tidak ada kilatan marah di mata Luna, tapi Shawn tahu wanita ini menyimpan rasa kesal yang teramat padanya.
“Aku tidak bilang begitu, Luna. Aku tidak pernah menyamakanmu dengan wanita di bar. Kau tentu saja berbeda, makanya kau harus menikah denganku. Devon akan menyesal melepaskanmu.”
Luna mengabaikan perkataan Shawn. Dia berbalik badan dan masuk ke kamarnya. Shawn tersenyum menang. “Kita lihat, sampai kapan kau akan tetap bersikap dingin seperti itu, wanita es.”
“Shawn,” bisik Kathleen seraya duduk di samping Shawn. “Mau ini?” Kathleen menyodorkan jus jeruk yang baru dibuatnya.
“Tidak,” Shawn menggeleng.
“Kau menyukai Luna ya?” tanyanya lurus, selurus besi penyanggah baliho.
“Aku calon suaminya.”
“WHAT?!!” pekik Kathleen terkejut.
Shawn mengangguk santai. “Ba-bagaiman bisa? Oh My God... Luna tidak pernah menceritakan apa pun tentangmu. Maksudku, kau benar-benar calon suaminya? Bukankah Devon kekasih Luna?” Kathleen sangat ekspresif mengungkapkan keterkejutannya. Dia bahkan beberapa kali loncat-loncat.
“Tidak ada yang tidak bisa dilakukan seorang Shawn Robbins.” Ujarnya bangga.
“Wow!” lalu Kathleen terbahak. “Ngomong-ngomong kau yakin Luna jatuh cinta padamu? Selama aku mengenalnya, dia sangat-sangat berhati es. Sedikit arogan dan menyebalkan jika membahas masalah percintaan dengannya.” Cerita Kathleen berbisik agar Luna tidak dapat mendengarnya.
“Belum. Tapi, aku yakin dia pasti akan jatuh cinta denganku.” Shawn tersenyum membayangkan Luna mengejar-ngejarnya layaknya adegan film romantis yang pernah ditontonnya. Ngomong-ngomong Shawn lebih suka film thriller dan horor dibandingkan film romance.
“Aku akan berdo’a untukmu, Shawn. Tapi kau membutuhkan perjuangan yang ekstra kalau ingin mendapatkan Luna. Eh, bagaimana bisa dia mau menikah denganmu kalau dia tidak mencintaimu?” Kathleen bertanya dengan ekspresi terheran-heran.
“Kecuali kau menikah kontrak.”
“Tidak ada pernikahan kontrak antara aku dan Luna.”
“Lalu pernikahan macam apa jika tidak ada cinta?” Shawn lelah menjawab pertanyaan dan menyahuti komentar Kathleen. Wanita ini hobi sekali bicara ditambah t**i lalat tepat di atas bibirnya. Lengkap sudah. Kathleen memang cocok dengan profesi pembawa acara infotainment yang membahas skandal-skandal selebritis. Pasti acara itu tidak akan selesai-selesai. Dua puluh empat jam nonstop! Shawn tertawa membayangkan Kathleen yang mengomentari skandal-skandal selebritis.
***