5. Kesal

1745 Kata
“Lepas! Aku mau pulang!” Asia memukul pria yang sekarang memeluknya itu.   “Oke kalau itu maumu.” Pria itu melepaskan Asia begitu saja.   Asia segera berenang menjauhi pria itu. Baru beberapa meter berenang, tubuh Asia kembali terasa seperti ditarik ke dalam danau dan hal itu membuat tubuh Asia tenggelam.   Melihat Asia yang perlahan tenggelam, pria itu pun menghela napas dan kembali menyelamatkan Asia. Ini ketiga kalinya dia akan menyelamatkan Asia. Pria asing itu kembali mendapatkan tubuh Asia dan dengan kasar dia membawa Asia menuju ke tepi danau. Begitu sampai di tepi danau dia menjatuhkan tubuh Asia begitu saja.   Mata Asia menatap wajah pria itu dengan horror. “A-aku ma-mau pulang,” ulang Asia. Suaranya terdengar bergetar karena kedinginan.   Sambil menggosok rambutnya yang basah, pria itu bertanya, “Katakan di mana rumahmu.”   “Rumahku di….” Asia tidak dapat melanjutkan ucapannya. Dia mendadak tidak mengingat di mana rumahnya. “Rumahku di….”   “Di mana?” tanya pria itu tak sabaran.   Asia menggeleng sambil menutup mulutnya tak percaya. “A-aku tidak tahu rumahku di mana,” lirihnya.   Pria itu berdecak kesal. Dia tidak percaya jika ada orang yang tidak mengingat rumahnya di mana.   “Namamu?” tanya pria itu.   “A-Asia.”   “Nama keluargamu?”   Kedua alis Asia berkerut saat dia mencoba untuk mengingat nama panjangnya, tapi tidak ada satu pun informasi tentang nama panjangnya. Yang Asia tahu, namanya Asia, itu saja.   “Nama keluargamu apa? Siapa tahu aku bisa membantumu pulang ke rumah.”   Mata Asia memanas dan dia menangis. Asia membiarkan tubuhnya berbaring dan dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Pria itu yang melihat tingkat Asia segera membawa Asia ke dalam gendongannya. Dia menggendong Asia dan menempatkan Asia di bawah pohon sakura tempat mereka tidur tadi malam.   “Apa kamu anak yatim piatu?”   “A-aku… tidak ingat siapa nama keluargaku, tapi aku ingat jika mereka ada. Aku punya Ayah dan Ibu.”   Mendengar penuturan Asia, pria itu mengangguk mengerti.   “Kita pikirkan itu nanti, sekarang kita makan. Bukankah kamu mengatakan jika kamu lapar?”   Asia membuka tangannya, dia mengusap sisa-sisa air matanya. “Ta-tapi, kamu akan membantuku pulangkan?”   Tidak ada jawaban dari pria itu yang membuat Asia menatap penuh harap. Saat pria itu hendak pergi, Asia buru-buru bangun dan meraih tangan pria itu. Dari tempat duduknya Asia menatap pria itu.   “Mau ke mana?” tanya Asia.   “Mengambil ikan yang sudah kutangkap.”   Penjelasan itu membuat Asia melepaskan tangan pria itu. Pria itu pun mengambil ikan yang cukup jauh tempat dia lepaskan tadi. Begitu mendapatkannya, pria itu kembali ke sisi Asia.   “Tunggu di sini, aku akan mencari kayu bakar.” Pria itu memperhatikan penampilan Asia. “Jika merasa tidak nyaman, lepaskan gaunmu itu dan pakai jubahku dulu dan jangan lupa untuk menjemurnya.”   Asia mengangguk mengerti dan begitu pria itu pergi, Asia segera mengganti bajunya dengan jubah pria itu. Begitu selesai, Asia menjemur gaun putih yang katanya menjadi pakaiannya tadi malam.   Asia kembali bawah pohon tadi, dia baru sadar jika ada tas di dekat sana dan jika dilihat modelnya, tas pria itu terlihat sangat jadul.   “Tas seperti ini bahkan tidak ada yang mau menggunakannya lagi,” komentar Asia.   “Sekarang kamu menghina tas milikku, Lady?”   Asia tersentak kaget, dia buru-buru menggeleng. “Tidak, aku tidak menghina.”   Pria itu mendengus geli. Dia pun menempatkan kayu bakar itu di sisa api unggun yang dia buat.   “Tas yang kamu hina bahkan lebih kuat daripada baju yang kamu pakai.”   Asia tidak ingin membuat pria di depannya ini marah. “Bukan seperti itu maksudku.”   Tangan pria itu mengambil ikan dan menusuk mulut ikan itu dengan kuat. Bagaimana pria itu menusuk mulut ikan itu membuat Asia menutup matanya. Pria di yang bersamanya sekarang ini adalah pria yang sadis.   “Maksudku, modelnya terlihat lebih tua dari yang kuingat dan juga, orang-orang pasti lebih memilih membeli tas gunung yang lebih besar agar muat…..”   “Tas gunung?”   “Ya tas gunung, orang-orang yang mendaki ke puncak gunung tentu akan membawa perlengkapan mereka dengan tas gunung.”   “Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Lady.” Pria itu memaksa Asia untuk memegang dua ikan yang sudah ditusuknya dengan kayu itu.   “Kamu tidak membawa korek api?” tanya Asia saat melihat pria itu mencoba menghidupkan api dengan bantuan batu.   “Bisa tidak jangan berbicara tentang sesuatu hal yang tidak kumengerti?”   “Apa yang tidak kamu mengerti? Bukankah aku berbicara dengan sangat jelas? Kita bahkan berbicara dengan bahasa yang sama.” Asia menatap aneh pria di depannya.   “Ucapanmu itu, semuanya tidak kumengerti, apa kamu paham?”   Api kemudian menyala dan ikan yang ada digenggaman Asia langsung ditarik kembali. Kedua ikan itu di letakkan di atas ranting penyangga yang membuat mereka tidak susah-susah memegang ikan selama memanggangnya.   “Lebih baik kamu dekatkan tubuhmu ke api agar tidak kedinginan.”   Asia berjalan jongkok dan duduk di samping pria itu. Asia melirik pria itu. “Aku belum mengetahui namamu.”   Pria itu balas melirik Asia. Hanya sesaat dia melakukannya sebelum pandangannya kembali terfokus pada ikan yang dia bakar.   “Eugene,” katanya kemudian.   “Ah, pantas saja rambutmu merah gelap. Kamu berasal dari luar negeri ternyata.” Asia mengangguk mengerti.   “Apa kamu bisa berhenti mengucapkan kosakata yang tidak kumengerti? Berbicara denganmu seakan berbicara dengan gadis dari dunia lain,” keluh Eugene. Dia sudah baik menyelamatkan Asia, tapi gadis di sampingnya ini terus-terusan mengatakan sesuatu yang tidak dia mengerti. Apa gadis itu sengaja hanya karena ingin memperlihatkan seberapa bangsawannya dia? Eugene tidak tahu itu.   “Apa yang kamu tidak mengerti? Aku rasa kita berbicara dengan bahasa yang sama dan aku pun berbicara dengan jelas.”   “Tas gunung, korek api dan luar negeri. Tolong berbicaralah dengan bahasa yang dimengerti oleh orang lain. Aku bukan teman dekatmu yang mengerti setiap bahasa kiasan yang kamu gunakan.”   “Tidak, aku tidak sedang memakai bahasa kiasan. Tidak mungkin bukan kamu tidak tahu tentang tas gunung, korek api dan luar negeri? Itu semua sangat umum!” tegas Asia.   “Nyatanya aku tidak tahu dan aku yakin jika seluruh orang di dunia ini pun tidak akan tahu tentang apa yang kamu maksud.”   Kedua alis Asia berkerut. Dia menatap Eugene tak percaya. “Apa kamu manusia prasejarah?” katanya begitu saja.   Mata Asia langsung tertuju pada rambut merah gelap dari Eugene. Setahunya, tidak ada yang memiliki rambut merah gelap jika mereka tidak mewarnai rambut mereka.   “Tapi manusia prasejarah tidak akan mewarnai rambut mereka,” tambah Asia.   Mendengar apa yang Asia ucapkan, Eugene langsung memegang rahang Asia. Dia sedikit memberi tekanan pada daerah itu.   “Jaga ucapanmu!” desis Eugene tak suka. “Aku tidak akan berbaik hati lagi jika kamu membuat berita yang tidak benar tentangku.”   Asia meneguk ludahnya, apa ucapannya sangat menyinggung ucapan Eugene?   “Aa… a-aku mi-minta maaf.” Asia kembali meneguk ludahnya, tenggorokannya terasa seperti tercekat. “Aku tidak berniat menyinggungmu dan ti-tidak mungkin aku akan mengatakan hal yang tidak-tidak tentang penyelamatku.”   Eugene segera melepaskan tangannya pada rahang Asia. “Ini rambut alami,” ucap Eugene kemudian.   “Ah, iya. Aku mengerti.” Asia menunduk, entah kenapa dia jadi takut untuk berbicara dengan Eugene.   Tidak ada yang membuka suaranya setelah itu. Hanya ada suara dari api yang membakar kayu dan ikan. Aroma ikan yang terbakar pun semakin lama semakin tercium lezat.   Ikan itu pun akhirnya matang dan Eugene menyodorkannya pada Asia. “Makan.”   Asia menerima ikan itu. Dia menatap ikan yang akan dimakannya dengan tatapan takut.   “Kenapa lagi?” tanya Eugene.   “Cicipi punyaku.”   Eugene menghela napas, dia pun melepaskan bagian ikannya dan mengambil ikan milik Asia. Dia mengambil cukup banyak daging ikan itu dan memakannya.   “Tidak ada yang terjadi bukan?” Eugene memperlihatkan mulutnya yang sudah kosong.   “Aku harus memastikannya hingga 5 menit.”   Eugene menghela napas lelah. “Terserah, aku tidak peduli.”   Eugene mengambil ikan miliknya dan mulai memakannya. Asia memperhatikan bagaimana Eugene menggigit ikan besar miliknya dengan santai. Asia meneguk ludahnya, dia pun akhirnya mulai memakan ikan miliknya.   “Tidak enak,” lirih Asia.   “Jangan dimakan kalau begitu.”   “Apa tidak ada sambal atau bumbu yang lain? Aku tidak bisa memakan sesuatu yang tawar seperti ini.”   “Hanya ada ini Lady!” desis Eugene tak suka. “Jika kamu tidak ingin makan, lepas dan jangan lanjutkan.”   Ucapan Eugene sukses membuat Asia merasa tertampar. Dia mau tidak mau memakan ikan yang terasa tidak enak itu. Melihat Asia yang terus makan, Eugene mendengus. Gadis asing di sampingnya ini jelas waspada padanya. Bagaimana mungkin dia bisa meracuni orang yang sudah ditolongnya.   “Huk.. huk… huk!” Asia terbatuk.   “A-air….” katanya terbata-bata.   “Tunggu.” Eugene mengambil tasnya dan mengeluarkan kantung minum miliknya.   Asia langsung menenggak minuman itu, tapi dengan cepat Eugene menarik botol minum itu lagi. “Kita harus menghemat air hingga keluar dari pulau ini.”   “Ah, iya.” Asia ingat jika ini adalah danau dari gunung vulkanik, jadi airnya berbahaya untuk diminum.   “Tapi, sejak kapan di anak gunung ini ditumbuhi pohon sakura? Seingatku, pohon ini tidak ada,” ucap Asia yang tiba-tiba teringat akan kejanggalan ini.   “Sejak kamu belum lahir tentu saja,” desis Eugene tak suka.   Asia menggigit bibirnya, Eugene jelas masih kesal padanya. “Apa kamu marah karena aku mengatakan jika kamu adalah manusia prasejarah?”   “Aku bahkan tidak mengerti manusia prasejarah yang kamu maksud.”   “Manusia yang hidup di zaman di mana tulisan belum di kenal,” jelas Asia.   “Apa kamu menganggapku seperti seorang gelandangan yang tidak bisa tulis menulis, Lady?” tanya Eugene.   Asia menggeleng kuat. “Tidak sama sekali dan kenapa kamu terus-terusan memanggilku Lady? namaku Asia, ingat?”   “Ingatanku kuat,” balas Eugene cepat.   “Bagus kalau begitu, kamu hanya perlu memanggil namaku, bukan dengan sebutan Lady.”   “Terserah kamu saja.” Eugene kembali melanjutkan makannya.   “Eugene,” panggil Asia dengan ragu.   “Apa?”   “Tolong jangan langsung marah jika kamu mendengar hal ini, aku tidak bermaksud untuk menyinggung.”   Perkataan Asia membuat Eugene menghentikan makannya dan menoleh ke arah Asia. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Eugene.   “Aku tahu kamu pasti lelah dengan keberadaanku. Jika kamu lelah, bisakah kamu menelepon polisi dan menyuruh mereka menyelamatkan kita di sini?”   Perkataan Asia yang lagi-lagi Eugene tidak mengerti membuat pria itu berdecak kesal. “Apalagi sekarang? Menelepon polisi? Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kamu ucapkan! Tolong jangan bermain-main lagi denganku!” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN