Pertama bertemu
Tiga remaja lelaki masih tertidur nyenyak. Suhu ruangan yang semakin bertambah dingin karena di luar sedang turun hujan begitu deras. Pagi yang membuat semua orang malas untuk sekadar membuka matanya.
Musim hujan telah tiba, tak lama lagi tahun akan berganti. Jika bisa memilih, gadis berambut sebahu ini juga akan tetap tidur, bukan malah berdiri di dalam kamar adik lelakinya yang masih tertidur nyenyak dan memeluk erat guling kesayangannya. Sedikit kesal karena lagi dan lagi dia harus menjalankan tugas membangunkan si adik.
Jika bukan karena mengingat dirinya yang kini sudah menjadi mahasiswa di tahun terakhir, dia juga akan memilih untuk memperbanyak absen di musim dingin seperti sekarang.
“Garda, bangun." Laya menggoyangkan tubuh Garda yang tertidur paling ujung. Cowok ganteng berumur 19 tahun itu langsung membuka matanya.
“Jam berapa, Kak?" tanya Garda masih berusaha mengumpulkan nyawa.
“Jam tujuh sekarang makanya Kakak bangunin biar kalian gak telat. Bangunin Gabriel sama Rager juga dong. Kakak buru-buru mau mandi, mau bimbingan pagi soalnya.”
Garda menganggukkan kepalanya seraya mengacungkan jempol pertanda iya. Padahal matanya sendiri masih begitu sulit untuk dibuka.
“Bangunin! Awas aja kalau kamu ikutan tidur lagi. Kakak gak akan tanggung jawab kalau kalian semua telat datang ke kampus.”
"Iya, pasti aku bangunin kok Kak. Tenang aja, Kakak bisa balik ke kamar buat siap-siap.”
Laya keluar dari kamar adik lelakinya karena dia memang takut bila telat datang, dosennya bisa saja sudah masuk kelas untuk mengajar, atau ada kegiatan lain. Kini giliran Garda yang menatap kedua orang yang ditakdirkan menjadi sahabatnya sedari dia belum lahir ke dunia, dua cowok itu masih terlelap dengan memeluk erat bantal guling.
Garda berdiri dan menarik kaki Gabriel hingga cowok yang merupakan pemilik rumah ini jatuh ke bawah. Suara jatuh Gabriel yang lumayan keras itu mampu membangunkan Rager yang awalnya masih tertidur.
Cowok yang dasarnya memang receh itu meskipun sekarang nyawanya belum terkumpul sempurna langsung tertawa melihat posisi jatuh Gabriel, sedangkan Gabriel mengelus kepala dan bokongnya yang terasa sakit.
“Gak tau terima kasih emang lo, udah nginap malah nyiksa tuan rumah," ucap Gabriel kesal sembari memegang pantatnya yang terasa nyeri.
“Kak Laya yang nyuruh gue buat bangunin lo berdua. Buruan mandi, ingat kita masuk kelas jam 8.”
"Kenapa gak lo aja dulu?" tanya Gabriel. “Lo udah bangun duluan padahal, gue masih harus kumpulin nyawa.”
“Hmm, gue setuju sama Iel. Lo duluan aja, Gar. 'Kan lo yang bangun pertama, gue sama Gabriel masih harus kumpulin nyawa. Gak enak misal langsung mandi gini.” Kata Rager yang juga setuju.
“Gabriel duluan, dia tuan rumahnya."
“Bacot banget ah, disuruh mandi doang susah.” Gabriel terpaksa bangun, dia takut tiba-tiba mamanya yang sedang berada di luar kota menelepon. Pastinya Gabriel akan mendapatkan ceramah pagi, belum lagi ada kakaknya yang super cerewet.
Garda dan Rager memang sudah tiga malam menginap di rumah Gabriel karena orang tua mereka sedang ada tugas sekaligus liburan reuni bersama.
Setelah bersiap-siap dengan seragam pakaian yang rapi, mereka bertiga akhirnya menemui Laya yang sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama.
“Hari ini gue berangkat bareng Gilden, jadi gue gak bisa sama lo. Jangan cemburu ya Iel karena gue lebih milih yang lain.”
Gabriel mengambil roti yang sudah disiapkan oleh Laya, dan berkata. "Bagus deh, mobil gue gak bakal kempes ban lagi gara-gara orang gendut kayak lo."
Laya mengacungkan garpu ke wajah Gabriel. Bukan marah, gadis itu malah tersenyum. "Bilang aja lo cemburu karena gue pergi sama cowok lain. Tenang Iel, gue sama Gilden sahabatan doang kok. Lo gak perlu cemburu segitunya, kalau Kakak lo dekat sama cowok.”
"Pede banget lo Ibu tiri, gue sama sekali kagak cemburu."
"Iya deh Adikku yang posesif. Oh, ya. Mama sama papa pulang besok."
Gabriel tersedak karena kaget. "Kok tiba-tiba?"
“Lah emangnya kenapa? Gak senang Mama sama Papa pulang? Kalau gue sih udah kangen banget pengen ketemu.”
Gabriel meneguk air putih. Bukan tidak senang, hanya saja dia ingin keluyuran nanti malam. jika orang tuanya pulang Gabriel tidak akan bisa pulang dinihari.
"Aneh lo, orang tua pulang malah ngamuk." Rager berkata.
“Tau, tuh. Gabriel emang aneh. Gak usah sahabatan aja sama dia."
"Kalau gue gak sahabatan sama Iel, Kak. Berarti sahabat gue cuma kulkas 35 pintu ini dong?" Rager melirik Garda yang masih lahap dengan nasi goreng tanpa memperdulikan dirinya.
"Cowok kayak Garda itu idaman tau. Gak banyak tingkah dan bisa diandalkan. Omong-omong, lo bertiga cocok deh sahabatan. Lo orangnya heboh, Gabriel netral karena bisa cuek, bisa juga asik tergantung sama siapa dia berinteraksi, dan Garda cuek plus misterius."
“Sana berangkat aja, cerewet banget lo." Gabriel mengusir kakaknya sebelum semakin banyak berbicara.
Laya tersenyum lagi pada Gabriel. Kadang Gabriel suka berpikir, apa urat saraf kakaknya ada yang putus? Makanya gadis ini sangat hobi tersenyum.
"Tau aja kalau Gilden udah di depan. Ya udah gue duluan ya, Ger, Gar, Iel. Kalian hati-hati ke kampus, jangan ngebut di jalan gak baik.."
"Hati-hati juga Kak Laya," ucap Garda yang sedari tadi diam.
"Iya Garda sayangku."
“Gila," cerca Gabriel.
*****
Jam delapan lewat lima belas menit mereka bertiga sampai ke kampus. Hujan masih mengguyur bumi. Gabriel memasukkan tangan ke dalam saku hoodie-nya dan berlari.
Mereka bertiga berdiri di depan kelas karena malas untuk masuk ke kelas yang AC-nya sudah dinyalakan.
Garda melepas hoodie navy dan menyisir rambut dengan kedua jarinya. Cowok itu tersenyum ketika seorang mahasiswi kelas sebelah melewatinya. Gadis yang mengucir rambutnya itu juga membalas senyuman Garda.
Gabriel yang menatap gadis itu seolah terbayang sesuatu, rasa yang tidak asing dan seolah pernah bertemu.
“Woi, malah bengong. Cantik ya, Iel?" tanya Rager dan Gabriel baru menyadari bahwa cewek itu sudah tidak ada lagi di depannya.
"Itu siapa, Gar?" Bukan menjawab pertanyaan Rager, Gabriel malah bertanya kepada Garda.
“Jeje, anak manajemen D"
“Jeje?" ulang Gabriel.
“Jessica maksud gue, biasa dipanggil Jeje.”
"Bukan itu sih yang jadi fokus sekarang. Gue ngerasa kayak gak asing sama muka dia."
"Dia mahasiswa pintar, anaknya ketia jurusan. Makanya lo gak asing sama dia."
"Dia anaknya Bu Niken?" tanya Gabriel.
"Iya, Iel. Udah kenal?"
Gabriel menatap Garda lalu menggeleng. Gabriel seolah mengenal gadis itu bukan karena status sebagai anaknya ketua jurusan. Tapi ada satu hal yang seolah Gabriel lupakan.
"Tau deh, sakit kepala gue pagi-pagi harus mikir gini." Gabriel masuk ke dalam kelas.
"Siapa yang nyuruh dia mikir, Gar?" tanya Rager dan Garda hanya mengangkat bahunya acuh.
****
Mata kuliah kewarganegaraan hari ini bertema belajar kelompok dan bebas memilih ingin satu kelompok dengan siapa. Gabriel, Garda, dan Rager pastinya selalu satu kelompok. Hanya saja kali ini satu kelompok harus beranggotakan lima orang, terpaksa Gabriel menerima Melisa dan Kila untuk masuk ke kelompok mereka.
“Lo udah lama kenal sama Jessica? Kok gue gak pernah tau." Gabriel kembali membahas hal yang membuatnya penasaran sejak pagi.
“Lo 'kan sibuk sama organisasi, jadinya gak sadar kali." Garda menjawab.
"Emang kenapa sih, Iel? Kok masih kepo sama Jessica itu. Suka sama dia? Baru kali ini lo kepo sama cewek." tanya Rager.
"Enggak. Gue cuma ngerasa gak asing dan itu berhasil bikin gue penasaran banget."
"Pada ngomongin apa sih, bahas gue?" tanya Melisa.
Rager menatap Melisa malas. "Lagu lo pede, cakep kali lo," ucap Rager.
"Emang cakep banget banyak yang mengakui kok. Mata lo burem?" tanya Melisa yang selalu percaya diri.
"Minus seratus mata gue kalau lihat muka lo, tau."
"Sok cakep lo, lagian gue nanya sama Gabriel bukan lo. Sewot amat jadi manusia, udah jelek banyak tingkah lagi." Melisa protes.
"Gue mewakili suara hati Gabriel, makanya gue yang jawab."
Melisa mendelik kepada Rager dan sibuk mengipas. "Dasar vampire, udah dingin gini masih ngipas. Oh, atau jangan-jangan lo itu jin dari neraka makanya masih kerasa panas walaupun cuaca sedingin ini?" Rager bertanya lagi yang bermaksud menjahili.
Melisa menatap tajam dan mencubit tangan Rager begitu kuat. "Sakit, setan."
"Melisa, Rager. Daritadi saya perhatikan kalian asik berbicara. Fokus kepada pelajaran, saya tidak akan memberikan hukuman karena sedang hujan."
Rager menyengir. "Maaf, Pak. Mendingan Melisa jangan di kelompok saya deh. Soalnya dia usil."
"Tidak ada pergantian anggota, semuanya sudah pas," ucap Pak Rian.
Garda dan Gabriel hanya geleng-geleng kepala saja. Mereka tau bahwa Rager menyukai Melisa, dan inilah cara cowok itu bisa berinteraksi dengan bendahara kelas segalak Melisa.
Jadi apapun yang dilakukan Rager dibiarkan saja, agar cowok itu merasa puas mencari perhatian kepada gebetannya.