Hujan Tanpa Pelangi
Langit Indonesia berwarna keemasan saat itu. Namun rintik hujan tetap turun membasahi jalanan kota kecil ini. Dia tak menyangka, ternyata dibalik warna langit sore yang cerah, terselip hujan yang mencuri keindahannya.
Di pelataran parkir motor sebuah SMA dikota Bandung, Renata Suciyanti, seorang gadis muda berumur 17 tahun menghela nafas panjang, seolah dengan cara itu dia bisa mengeluarkan semua kekesalan yang ada di hati nya.
Hari ini adalah hari terakhir nya berada di sekolah ini. Minggu depan, dia sudah tidak lagi tercatat sebagai siswa SMA. Dia akan bersiap untuk menjadi mahasiswa di salah satu universitas di kota ini. Dia mendapat jatah pada jalur penyaringan bibit unggul untuk kampus keperawatan UNPAD karena nilai-nilai nya selama di SMA sangat bagus. Dia tak perlu bersaing dengan ribuan siswa lainnya.Cukup hanya berusaha lulus dengan baik dalam sesi wawancara, dan dia akan mendapatkan izin kuliah beserta bantuan program beasiswa Bidik Misi dari pemerintah.
Renata menunggu hujan reda di pelataran parkir. Dilihatnya banyak siswa siswi yang berlarian kecil menghindari rintik hujan. Beberapa orang sudah melaju dengan motornya. Pelajar yang tajir melintir tampak mulai masuk ke dalam mobil jemputan mewah ataupun yang dia bawa sendiri ke sekolah. Ada juga yang nekat bermain cipratan di air genangan dengan teman-temannya. Riang sekali mereka.
Pandangan gadis yang duduk di motor itu tertuju pada sebuah cermin yang ada di motornya. Sebuah senyum mungil dipaksakan untuk muncul dihadapan cermin itu.
Wajah yang terpampang didalam cermin itu sebenarnya tidaklah terlalu jelek. Mata bulat, hidung mancung, bibir mungil, kulit kuning langsat, biasanya selalu jadi standar kecantikan yang disebut banyak pria. Namun yang menjadi masalah adalah pipi gembul dan tulang wajahnya yang membulat, sehingga membuat ia tampak seperti badut, apalagi ia tak pandai bermake up, hanya bedak bayi dan lipgloss tipis yang selalu menemani wajah itu.
Bukannya dia terlalu gendut. Beratnya termasuk proporsional diangka 56 kg dan tinggi 160 cm. Namun entah kenapa seakan lemak tubuhnya berkumpul di wajah itu. Teringat percakapannya di kelas tadi pagi.
"Loe itu ga usah minder, sayang. Sadar ga sih kalo wajah mu itu Chubby banget" kata Ririn sahabatnya.
"Wajahmu itu macam bayi lho say...tembem" tambah nya lagi sembari mencubit gemas pipi Renata.
Hmppph... bagaimanapun Ririn berusaha memperhalus bahasanya, namun Nata tetap merasa dirinya tampak gendut banget pada bagian wajahnya itu.
"Orang selalu melihat wajah ku dan tertawa" bisik gadis itu lirih.
"Tertawa bukan berarti selalu berarti negatif kan sayangku Renata Suciyanti?! Aku bahkan merasa pengen punya wajah seperti mu ini, ga tirus macam aku...mirip pasien yang habis rawat inap tau" tambah Ririn lagi.
Kata-kata Ririn emang kadang suka nyablak dan lucu. Ntah darimana dia dapat perumpamaan seperti itu. Tapi kata-kata yang di ucapkan sahabatnya itu, sedikit banyak membuat dirinya bahagia. Ternyata wajah ini ga seburuk yang ku pikirkan. Setidaknya nya ga semua orang berfikir aku seperti badut pasar malam.
Renata kembali menghela nafas panjang. Namun kali ini sembari bibirnya tersenyum.
"Begitu lebih baik" pikirnya. Harus positif thinking, adalah hal yang selalu diajarkan oleh ibu-ibu asuh di panti asuhan nya, tempat Renata dibesarkan. Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi hamba ciptaan- Nya. Hanya masalah wajah ini, ga seharusnya dipermasalahkan nya. Beban hidup gadis itu jauh lebih berat daripada hal kecil ini.
Rintik hujan bertambah lebat. Dilirik nya jam di pergelangan tangan kiri nya.
"Ah... sudah mau jam 18.40, aku harus bagaimana? Menunggu hujan mereda mungkin akan sangat lama. Dia tak boleh pulang terlalu malam. "pikir gadis itu.
Ya...dia punya tugas di panti asuhan Mawar, tempat ia tinggal selama ini, untuk membantu ibu pantinya menjaga anak-anak lainnya. Menemani mereka belajar, mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan sebagainya. Karena kini hanya ia yang sudah berumur dewasa di rumah itu. Yang lain sudah banyak yang keluar dari rumah itu. Ada yang melanjutkan pendidikan ataupun bekerja dikota lain, dan ada juga yang sudah di adopsi keluarga baru mereka.
Anggota panti yang tersisa lainnya yang paling besar berumur 10 tahun.Rata-rata mereka masih di usia SD, yang terkecil bahkan ada baru berusia 3 bulan.
Mereka adalah anak-anak yang sengaja "dibuang" oleh ibu yang melahirkan nya. Entah apapun alasannya, kebanyakan dari mereka dititipkan di situ tanpa identitas. Diletakkan begitu saja didepan rumah panti pada malam hari disaat semua tertidur lelap. Tak ada informasi orang tua, nama ataupun surat. Hanya sesosok bayi yang dibungkus dalam sebuah selimut lalu ditinggalkan begitu saja didepan pintu panti. Menunggu hingga bayi itu menangis dan berharap ada orang yang dapat melihat kehadirannya.
Miris memang.. tapi seperti itulah kenyataan nya. Tapi ibu asuhnya dipanti sangat baik. Mereka tidak pernah mengeluh sedikit pun. Ada total 13 anak asuhan di panti Mawar, termasuk dirinya.
Mungkin hanya ia sendiri yang mempunyai cerita berbeda. Ia datang ke panti asuhan ini diumur 14 tahun.
Tadinya Renata tinggal di Kota Y bersama kedua orang tuanya. Setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis, saat gadis itu masih TK, Renata pindah ke Australia bersama omnya yang bernama Bima. Tapi ia datang kembali ke Indonesia pada umur 14 tahun, di saat walinya itu, yang merupakan adik dari ayahnya, meninggal dunia.
Saat itu keluarga kecil Renata sedang dalam perjalanan pulang kampung ke rumah oma nya di kota S. Orangtuanya ingin menitipkan gadis itu pada neneknya dikarenakan ayahnya harus pergi keluar negeri selama sebulan untuk menyelesaikan pekerjaan. Dan kebetulan, ibu nya juga harus menghadiri wisuda S2 dikota M pada 4 hari mendatang.
Ibunya bilang, akan kembali menjemput gadis kecil itu setelah acara wisudanya selesai.
Renata ingat, perjalanan saat itu sangat lancar. Mereka bertiga bernyanyi riang di dalam mobil untuk mengurangi kebosanan.
Ayah dan ibunya memang tak bisa diam, selalu riang bawaan hatinya. Mereka bernyanyi lagu-lagu rohani sekolah minggu. Mereka adalah keluarga kristiani yang taat. Ayahnya memiliki suara khas bariton dan ibunya bersuara alto yg merdu sekali.
Mereka memang singer digereja nya kala itu. Gadis kecil itu pun suka bernyanyi,namun suaranya tidak sebagus suara kedua orang tuanya. Hanya suara khas cadel anak-anak yang keluar dari bibirnya saat usia itu. Ibunya selalu bilang, bahwa suara yg diberikan Tuhan Yesus, bagus atau tidak, merdu atau falez, tidak akan berpengaruh terhadap cinta kasih mereka. Baginya, suara Renata kecil adalah suara malaikat terindah. Suara yang akan menghantarkan pujia-pujian ke sorga. Hal itu membuat nya tidak minder dengan suara cadel yang dimilikinya itu. Di sekolah minggu pun, dia akan bernyanyi dengan lantang, agar suaranya dapat "sampai" ke telinga Tuhan Yesus, begitu pikirnya saat itu.
Ketiga beranak itu terus tertawa riang sepanjang perjalanan. Ada saja yang mereka bahas untuk diceritakan. Tentang sekolah Renata, gambar yang disukainya, teman-temannya, apapun yang bisa menjadi bahan cerita untuk menghibur Renata kecil di mobil itu. Mereka terus bernyanyi di dalam mobil dengan ceria.
Namun di tengah keriangan itu, tiba-tiba sebuah minibus menyalip mobil mereka, membuat ayahnya kaget dan membanting kemudi. Dan dari arah kaca depan, gadis itu melihat bus besar pun menghantam mobilnya. Ibu dan ayahnya berteriak keras, namun gadis itu hanya bisa membuka matanya lebar-lebar menyaksikan kedua tubuh orangtuanya hancur terkena hantaman badan mobil.
Suara decitan rem, hantaman benda keras serta kaca pecah memenuhi telinganya bersamaan. Tak ada rasa sakit dirasakannya, seolah-olah ia berada dalam pelukan seseorang yang melindungi tubuh kecil itu.
Ia menutup matanya, mencoba menenangkan degup jantungnya. Masih terngiang ditelinga Renata kecil, erangan kesakitan orang tuanya serta rintihan ibu yang memanggil namanya lembut. kemudian semuanya senyap.
Gadis cilik itu mencoba membuka matanya yang terasa berat, tapi tatapannya nanar. Ia mengerjapkan matanya, namun mata itu tak bisa fokus hingga beberapa saat pandangannya menjadi jelas.
Dia dapat melihat mobil depannya hancur dan kedua orangtuanya tertidur dalam genangan darah.
Air Mata gadis itu meleleh menatap sedih pemandangan itu, tapi dia tak kuasa mengeluarkan suara. Ia ingin orangtua nya bagun dan memeluk dirinya yang masih berada dibangku belakang. Melepaskan seatbelt dari kursi ini. Namun ia tak dapat bersuara,hanya mulutnya yang berkomat-kamit diantara deraian airmata.
Ia menangis dalam diamnya beberapa lama hingga akhirnya gadis cilik itupun pingsan tak sadarkan diri.
Ya....Hanya ia yang selamat dalam kecelakaan tragis itu!!!
Setelah beberapa lama, ia terbangun di sebuah ranjang rumah sakit.
Entah berapa lama ia pingsan, namun gadis mungil itu tak tahu harus bertanya kepada siapa. Semua orang dihadapannya berpakaian putih. Ia tahu itu adalah dokter dan perawat. Semua sibuk, tanpa menyadari dirinya yang sudah siuman.
Gadis kecil itu berusaha mengingat apa yang telah terjadi, dan air mata kembali jatuh dalam diamnya. Ia menangis dalam diamnya.
Didalam hati ia memanggil kedua orangtuanya,namun ia sadar mereka tidak ada di situ. Ia sadar orang tuanya mungkin telah pergi. Ia sering melihat beberapa film bersama orangtuanya, yang menggambarkan kejadian seperti yang dialami mereka barusan.
Seolah-olah mengerti atas apa yang menimpa keluarga kecilnya, gadis itu mengucapkan doa didalam hati kepada Tuhan Yesus, agar dia dikuatkan. Agar kedua orangtuanya diangkat ke sorga. Agar dia masih dipertemukan dengan orang-orang baik hati untuk melanjutkan kehidupannya kelak.
Gadis itu berurai airmata dalam tangis diamnya dan akhirnya kembali tak sadarkan diri.
Selama di Rumah Sakit, ia dijaga oleh dokter dan suster. Mereka berusaha mengajak gadis kecil itu berkomunikasi.
Renata tahu para dokter dan perawat itu berusaha mengobati psikisnya. Menjauhkan dia dari trauma yang timbul akibat kecelakaan itu serta kehilangan orang tuanya.
Beberapa hari kemudian barulah adik dari keluarga ayahnya datang. Om Bima, begitulah Renata harus memanggilnya. Entah siapa nama lengkapnya, Renata kecil tidak pernah tahu.
Saat itu om Bima berumur 32 tahun, belum menikah dan sedang berusaha menamatkan pendidikan S2 nya di Australia. Ia jarang ke Indonesia bertemu abangnya. Renata bahkan belum pernah bertemu muka, hanya dari foto yang sering dilihatnya dirumah oma. Om Bima berkulit putih dan bermata sipit seperti orang cina.
Ayah Renata adalah seorang profesor di sebuah universitas di kota S, tempat ibunya melanjutkan pendidikan S2. Keluarga nya cukup berada. Ibunya seorang polisi berpangkat Letnan. Dia punya rumah yang cukup besar dan luas di kota Y ini.
Renata adalah anak ke dua. Tapi kakaknya meninggal saat dirinya baru berusia 5 tahun dan Renata berusia 2 tahun. itu menjadikannya anak tunggal dikeluarga itu. Usia yang masih sangat kecil untuk tahu penyebab kakaknya meninggal. Yang ia tahu, di rumahnya ada foto mereka berempat terpampang besar.
Ibunya bilang kakaknya bernama Rinjani. Dia mirip sekali dengan Renata kecil namun berbeda pada bentuk mata saja. Rinjani bermata sipit seperti ayahnya sedangkan Renata bermata bulat seperti ibunya. Kedua anak itu mewarisi bentuk wajah bulat ayahnya dan kulit seperti ibunya.
Kini Renata hanya seorang diri. Oma nya pun meninggal beberapa saat setelah menerima kabar duka anak dan menantu nya itu. Ia mendapatkan serangan jantung dan tidak dapat diselamatkan. Bencana datang bertubi dikeluarga mereka. Itulah sebabnya om Bima terlambat datang menjemputnya di Rumah sakit. Om Bima harus menguburkan jenazah oma nya terlebih dahulu, baru bisa datang ke Rumah sakit tempat Renata dirawat.
Renata kecil bingung ketika om Bima datang ke Rumah Sakit dan memeluk tubuh mungilnya. Om Bima menangis sesenggukan seperti bayi. Renata kecil ingin ikut juga menangis saat itu, namun airmata nya sudah kering. Ia hanya membalas pelukan om Bima dan mencari perlindungan didalamnya.
Setelah tangisannya reda, om Bima berkata "maafin om Bima datang terlambat, nak. Mulai hari ini Renata tinggal bersama om, ya? Oma, Ayah dan Ibu sudah tenang di Sorga bersama Tuhan Yesus. Kita sama-sama yatim piatu sekarang. Kita harus saling menguatkan. "
Renata kecil hanya diam. Namun ia yakin, pria yang dihadapannya ini akan melindunginya, menggantikan sosok ayah dan ibunya. Dan ia pasrah atas apa yang digariskan dalam hidupnya. Ia hanya gadis kecil berumur 6 tahun saat itu. Yang dibutuhkan nya hanyalah sosok yang dapat menjaga nya.
Om Bima kemudian menjual semua harta keluarga oma dan ayahnya. Rumah oma dan rumah ayahnya tak terkecuali. Mereka pindah dari Indonesia karena memang tidak ada sanak saudara disitu.
Renata ingat kemudian dia diajak naik pesawat terbang dan tinggal di Australia beberapa tahun. Ditengah keterpurukan mental mereka,Om Bima berusaha keras menyelesaikan kuliahnya yang tinggal 1/2 semester lagi.
Ia melihat Om Bima sangat terpukul. Ia sering menangis memandang foto oma dan ayah Renata.
Hati Renata pun menjadi semakin sedih. Tak ada lagi orang yang membacakannya dongeng sebelum tidur. Tak ada lagi pelukan hangat di saat ia bangun. Yang ada hanyalah suara berat om Bima yang menyuruhnya untuk tidur, bangun, mandi dan sebagai nya. Dia menjadi mandiri di usia yang muda ini.
Tak ada lagi waktu untuk bermanja. Om Bima hanya akan menggendongnya saat Renata akan naik atau turun dari kursi makan nya yang tinggi. Atau menggendongnya saat akan masuk ke dalam mobil. Cuma itu pelukan hangat yang didapatkan nya dari Om Bima.
Tapi itu tak masalah. Selama gadis itu tahu bahwa ia masih punya keluarga, hal lain takkan membuatnya sedih.
Kehidupan membuatnya tegar.
Perlahan kenangan buruk kecelakaan itu hilang dari ingatan nya. Renata kecil kemudian dimasukkan ke sekolah yang ke semua anaknya berbahasa Inggris. Renata dulu di Indonesia memang sudah pernah belajar bahasa Inggris di PAUD nya, tapi itu hanya sekedar kosa kata sederhana. Dia tak pernah berbicara dalam bahasa Inggris. Untunglah disekolah itu ada beberapa guru dan anak murid yang berbahasa Indonesia. Ririn adalah salah satunya.
***
Ya... dia bertemu Ririn di sana.. di Australia. Keluarga Ririn adalah pejabat kedutaan. Ayahnya duta besar Indonesia untuk Australia. Ririn sekeluarga adalah anak muslim sedangkan Renata memeluk Nasrani. Tapi Ririn tidak sombong. Dia terbuka terhadap agama dan budaya apapun. Dia tak pernah memaksakan agamanya pada Renata. Bahkan dia pernah mengantarkan Renata pergi ke geraja untuk menghadiri Sekolah minggu, di saat om Bima tidak sempat. Kadang Ririn menjelaskan juga tentang agamanya kepada Renata. Termasuk tentang ibadah sholat yang dilakukan nya. Ririn dan keluarga nya tak pernah berkata buruk pada Renata walaupun mereka berbeda keyakinan. Di saat bermain ke rumah Ririn, sering kali ia mengamati ritual sembahyang yang dilakukan keluarga Ririn. Pertama kali melihat nya memang agak aneh, karena berbeda dengan ibadah yang Renata lakukan. Tapi itu tidak membuat mereka berselisih paham. Baginya, ibadah adalah keyakinan masing-masing umat. Dia masih terlalu kecil untuk boleh membedakan pemahaman tentang beragama. Itu takkan mempengaruhi kedekatan hubungan Ririn dan Renata kecil. Lagipula, Ririn adalah anak supel yang baik hati.
Selama di Australia,staf ayah Ririnlah yang membantu om Bima untuk mengurus surat-surat Renata. Renata di daftarkan di sekolah swasta sebagai WNI dengan hak walinya adalah om Bima. Karena status om Bima yang masih bujangan dan hanya mahasiswa, mereka tidak mendapatkan fasilitas tunjangan apapun dari pemerintah. Uang yang dipegang om Bima adalah hasil penjualan aset mereka di Indonesia.Tidak ada yang disisakan nya untuk Renata sebagai ahli waris ayahnya. Tapi Renata kecil tentu tidak mengerti apa itu hak warisan. Dia hanya percaya om Bima akan menjaganya dengan baik.
Renata didaftarkan ke TK sebulan setelah kepindahan mereka ke Australia.Hari pertama di sekolah, Ririn menyapanya digerbang sebelum masuk. Mereka bertatapan mata sebentar, kemudian Renata memberanikan diri untuk tersenyum kepada gadis sebaya yang melihatnya itu. Dilihatnya Ririn melambaikan tangannya dan segera berbaur di antara teman-teman bulenya.
Menghilang ditengah kerumunan anak TK yang tengah asik bermain bersama.
Renata sangat bersemangat hari itu. Di dalam hatinya dia merasakan bahwa hari-harinya tidak akan sepi lagi. Dia akan bertemu dengan teman-temannya, bermain bersama, melupakan kenangan pahit kecelakaan itu dan sebagainya. Walau dia tahu, bahasa akan menjadi kendalanya disini,tapi entah mengapa dia tak takut menghadapi itu semua.
Dia ingat hari itu om Bima mengajak nya ke ruangan guru, memperkenalkan dia pada seorang guru cantik bernama Miss Susan yang pertama kali menyapa nya dalam bahasa Inggris.
"Siapa namamu cantik?" Malu-malu dia menjawab
"Renata Suciyanti, miss. " Lalu miss Susan tersenyum.
"Such a lovelly names dear". Renata kecil hanya menatapnya.
" I cant speak English more miss. Just a few word". itulah ucapan Inggris minimalis yang pernah diucapkan nya untuk ukuran anak TK. Hanya itu yang dia tahu karena ibunya dulu pernah mengajarinya kalimat seperti itu. Hanya itu kalimat bahasa Inggris yang dia mengerti arti nya.
"Oh..tidak apa-apa Renata sayang. Miss Susan bisa berbahasa Indonesia. Miss pernah tinggal beberapa tahun di Indonesia dulu. Tidak terlalu lancar, tapi saya mengerti bahasa. " ujarnya.
"Saya adalah wali kelas mu. Akan ada beberapa guru untuk beberapa mata pelajaran. Tapi secara keseluruhan,Miss yang akan selalu ada lebih banyak bertemu denganmu didalam kelas. Okey dear, don't worry mengenai bahasa, kau bisa bertanya apapun pada Miss. Kita akan mempelajari bahasa Inggris perlahan-lahan ya Nak" ucap Miss Susan meyakinkan Renata.
Kata-kata Miss Susan itu menyenangkan hatinya. Setidaknya Renata tahu kepada siapa dia bisa berbicara jika mengalami kesulitan nanti disekolah.
Miss Susan membawa Renata kecil ke dalam ruangan kelas. Tampak barisan rapi anak seusianya, duduk dalam 5 kelompok kecil. Tiap kelompok beranggotakan 5-6 orang. Dan orang pertama yang terlihat di mata gadis kecil itu adalah Ririn.
Renata sangat terkejut melihat gadis digerbang itu ternyata teman sekelas nya. Dia melihat Ririn tersenyum dan melambaikan tangan padanya dengan riang. Tampaknya Ririn juga senang bertemu Renata. Renata membalas dengan senyuman terbaik nya. Dia tak mau Gadis itu berfikir dia anak sombong.Kata ibu, senyuman adalah berkah bagi semua orang. Dan Renata pun selalu suka tersenyum karena ia yakin senyuman selalu mendatangkan bahagia bagi dirinya.
Itulah pertama kali Renata bertemu dengan Ririn. Ia memanggilnya dengan nama "Nata" karena Ririn tidak bisa menyebutkan huruf R kala itu. Bagi Renata pun tak masalah, karena ia merasa lebih spesial dimata Ririn, sahabat barunya di Australia.
Bersamanya Renata tidak takut menghadapi perbedaan bahasa, karena Ririn sudah sangat fasih berbahasa Inggris karena dia sejak bayi tinggal di Australia. Renata kagum karena Ririn yang baru TK sudah lancar berbahasa Inggris. Ririn selalu menjadi penerjemah nya. Ririn juga yang menjadi guru bahasanya. Renata yang pintar, dapat dengan cepat menguasai kalimat sederhana dalam bahasa Inggris. Hanya beberapa bulan, dia pun sudah mulai bisa berkomunikasi dengan teman-temannya di TK itu.
Dia mengikuti Ririn bagaikan seorang pelayan, namun Ririn tak pernah menjadikannya pelayan. Ririn menganggap Renata seperti adiknya sendiri, teman bermain dari Indonesia, negeri kelahiran ibunya. Ririn senang bisa bertemu dengan Renata walaupun saat itu dia tak tahu bahwa Renata sudah Yatim Piatu. Dia hanya tahu, om Bima itulah ayah Renata karena setiap hari beliau selalu mengantarkan Renata ke sekolah dengan sepedanya. Om Bima mempunyai pacar yang terkadang ikut menjemput Renata di sekolah.Jadi Ririn mengira mereka itulah orangtua Renata. Baru ketika di Elementary school, Renata menceritakan kehidupan nya pada Ririn. Setelah hubungan om Bima berakhir,dan wanita itu tak pernah lagi ikut mengantarkan Renata ke sekolah. Di situlah Ririn mengerti (dalam ukuran anak-anak) tentang keluarga Renata.
Dan persahabatan mereka berlanjut hingga akhir elementary school nya. Saat dimana Ririn harus pulang ke Indonesia karena masa tugas ayahnya sudah habis di Australia. Mereka menunggu surat tugas penempatan ayahnya yang baru di Indonesia. Kata mama Ririn, papanya akan bertugas di Bandung. Saat ini keluarga nya fokus untuk memindahkan barang-barang rumahnya ke Bandung.
Renata dan Ririn menangis pada saat itu.
"Apakah kamu akan kembali ke Indonesia juga suatu hari nanti,Nat?" tanya Ririn sedih.
"Entahlah aku tak tahu. Aku hanya punya Om Bima. Kalau nanti om Bima memutuskan untuk kembali ke Indonesia,mungkin saja. Tapi kan kau tahu Rin, om Bima bekerja di Australia dan pacar nya pun orang sini. " jelas Renata sendu. Terbayang olehnya tak mungkin mereka akan kembali bertemu setelah Ririn pindah dari Aussie.
Ririn memang sempat memberikannya catatan nomor HP papa dan mamanya di secarik kertas. Tapi saat itu dia hanya anak SD, belum punya HP seperti om Bima. Yang bisa dilakukannya hanyalah menyimpan catatan itu baik-baik bersama beberapa lembar foto Ririn bersama dirinya. Itulah yang mengobati kerinduan pada sahabatnya itu. Entah kapan dia bisa bertemu Ririn lagi. Kehilangan orangtuanya pada usia 6 tahun dan kini sahabatnya di usia 11 tahun, kembali membuat hidup Renata hampa. Dia merasa kesepian di negeri asing ini kembali. Perasaan yang sama ketika dia pertama kali menginjakkan kakinya di Australia.
****