Berpisah kembali

3421 Kata
Gadis Panda itu ada di sana!! Duduk sekenanya diatas troli sambil menunggu tas keluar dari rel bagasi. Ibunya tampak sedikit kerepotan menyusup di keramaian penumpang yang juga menunggu bagasinya keluar. Renata melihat pemuda itu berjalan ke arahnya. Hatinya tersenyum riang. Baru saja dia berharap agar dapat bertemu pemuda itu, dan do'a nya terkabul. William mengayunkan tas di tangannya. Gadis itu terkejut sambil menutup mulutnya. Mata bulat itu membesar terbelalak. William sengaja menghentikan langkahnya 10 meter dari tempat gadis itu duduk. William melihat gadis itu kemudian berlari menghampiri nya. Dalam pandangannya, William melihat bayangan Sandralah yang berlari itu. William reflek merentangkan tangannya. Sandra biasanya akan langsung berlari ke dalam pelukan nya dan ia akan memutar-mutarkan tubuh mungil gadis itu dalam dekapan nya. Semakin mendekat, William akhirnya sadar bahwa gadis yang tengah berlari menghampirinya itu bukanlah Sandra. Dia langsung mengatupkan tangannya. Wajahnya bersemu mengingat akan kesalahannya itu. Gadis Panda itu berhenti di depannya dengan terengah-engah. "Aku melupakan tas itu. Terima kasih sudah membawakannya turun. " ujar Renata sambil nyengir. Dia berusaha meraih tas dari tangan William. Tapi pemuda itu mendadak usil. Dia mengangkat tas itu lebih tinggi, sehingga Renata melompat-lompat untuk meraihnya. William geli melihat nya. "Ayolah... jangan bercanda denganku, kak. Berikan tas nya", ucap gadis Panda itu manja sambil mengerutkan keningnya. Kali ini dia benar-benar mirip Sandra, pikir William. "Berikan nomor teleponmu dulu, baru tas ini ku berikan. " ucap William. Gadis itu berhenti melompat. "Aku belum punya nomor Indonesia. Kan baru aja nyampe ke sini. " rungut gadis itu. "Hmm... kalau begitu... ini.. pegang dulu". William menyerahkan tas gadis itu, lalu mengambil kartu nama dirinya dari dalam dompet. "Ini nomor telpon ku. Telpon aku kalau ada masalah. Aku siap menjadi guide mu di Jakarta. "kata William sambil tersenyum mengejek. " Terima kasih tawarannya, tapi aku ga butuh guide. Tujuan ku bukan ke Jakarta. Aku mau ke Bandung. " kata gadis itu. William kaget mendengar penjelasannya. Sebenarnya William memang berdomisili di Bandung. Dia hanya mengira gadis itu akan stay di Jakarta. Jarak Bandung - Jakarta tidak terlalu jauh, jadi dia pikir akan mudah saja bertemu dengannya. " Di Bandung tinggal dimana? " tanya William lagi. Gadis Panda itu terdiam. Sebenarnya dia masih enggan bercerita banyak, tapi entah kenapa Renata merasa pemuda ini bukan orang jahat yang akan memanfaatkan nya. "Sebenarnya... aku.. " Renata mulai ragu dari mana dia akan menjelaskannya. "Aku... harusnya tinggal di Panti Asuhan di kota Bandung. Aku tak punya saudara. Om ku baru saja meninggal. KBRI akan menempatkan ku di salah satu Panti di Bandung. Tapi aku belum tahu dimana alamat Pantinya." keluh gadis itu. Ada kesedihan dalam Kata-kata nya terdengar. William terpana. Ternyata dibalik kecerian gadis ini, ada derita besar yang akan dihadapinya nanti. "Hmmm... tapi kamu punya HP kan? Jika sudah ada nomor SIM Indonesia, kamu hubungi aku ya. Nanti kita ketemuan lagi. Tenang saja... aku bukan orang jahat kok. Kamu mengingatkanku pada adik bungsuku. Namanya Sandra. Jangan lupa, nanti hubungi aku di nomor yang ada di card itu ya. " ujar William. Gadis itu mengangguk dengan semangat. Mata bulat nya berbinar. "Terima kasih Kak, kehadiran kakak sejak di pemakaman itu sudah menghiburku. Aku akan hubungi mu jika sudah punya nomor baru. " ujar gadis itu. "Aku pamit dulu. Ibu dari KBRI itu pasti menungguku. " tambah Renata. William mengangguk. Mereka saling membelakangi dan berjalan menjauh. Tiba-tiba William mendengar namanya dipanggil kembali oleh gadis itu. "William....!!! " Pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang. "Namaku Renata... bukan gadis Panda. Ingat itu!!! " teriak nya sambil melelet kan lidahnya pada William. Kemudian gadis itu meninggalkannya menuju kerumunan orang-orang yang sedang mengambil bagasi. Hilang entah kemana. William tertawa kecil. Dia senang melihat gadis Panda itu. Benar-benar mengingatkan nya pada Sandra. Akankah hubungan mereka berlanjut? Akankah dia mendapatkan pengganti Sandra dalam kehidupan nya, walau hanya sekedar adik angkat?! Entahlah.... garis hidup yang diberikan Tuhan sangatlah acak. William tidak tahu apakah Renata benar-benar akan menghubungi nya kembali nanti. Ada sedikit harapan, namun mengingat sifat pelupa yang telah ditunjukkan gadis itu, William sedikit khawatir. Gadis itu pasti akan melupakan nya. William meraba saku jaketnya. Mengeluarkan HP bermerek dari kantongnya. HP nya masih dalam mode pesawat. Diubahnya pengaturan, lalu bertubi-tubi pesan masuk satu persatu. William memencet tombol no. 3 pada layar HP-nya, dalam sekejap keluar nama "Pak Imam Driver" pada screen. Dia menghubungi sopirnya itu. William yakin, pak Imam sudah berada di bandara ini untuk menjemput nya. ---- #8 tahun kemudian# "Nata !! " Suara nyaring yang terdengar, sontak memekakkan kupingnya. Tanpa menoleh pun, Renata tahu itu suara Ririn, sahabatnya. Malas-malasan dia menegakkan tubuhnya dari kursi dan berjalan menuju gadis itu. Dia masih mengantuk sekali. Dari tadi malam Renata bergadang untuk mengerjakan laporan prakteknya yang harus di bundel hari ini. Biasanya dia tak perlu bergadang karena dia terbiasa selalu mengerjakan tugas yang ada, langsung setelah diberikan dosennya. Namun sudah seminggu laptop gadis itu rusak terkena virus. Dia belum ada uang lebih untuk bisa memperbaiki nya. Dengan terpaksa dia harus bergantian menggunakan laptop milik Ririn. Jika gadis itu sedang tak banyak tugas yang mengharuskannya memakai laptop, Renata akan minta izin untuk membawa laptop itu pulang. Dan dua hari ini lah kesempatan itu ada. Selama dua malam, Renata bergadang menyelesaikan laporan praktikum nya di laptop Ririn. Syukur lah tadi pagi semua kelar dan bisa di printout. "Kemana aja sih loe dicariin ga nemu?! Udah keliling aku macam tukang bakso nyariin kamu , Nat" umpat Ririn dengan bibir manyun. "Di telpon ga jawab, di WA ga di balas. Sebel ih, " ujarnya lagi. Renata tersenyum kecil. "Sorry dear, aku ketiduran tadi di perpustakaan sebentar. Loe tau kan dari kemarin aku begadang nyelesain tugas itu. Ngantuk banget. Setengah jam cukuplah untuk memulihkan otakku yang panas ini. " jelas Renata pada Ririn. "Asal jangan sampai koslet tu otak ya diajak belajar mulu'. Bentar lagi kita harus dinas profesi lho di Rumah Sakit. Bakalan sering tuh ngerjain tugas macam itu. Cepetan perbaiki laptop mu say !! Kamu sih...ku bilang pake aja laptop ku, ga mau. Aku kan bisa beli lagi yang baru. " kata Ririn lagi. "Kamu ini... sok kaya banget Rin. Laptop masih bagus gitu main ngasih sembarangan aja. Ga kasian ama duit loe ya" sembur Renata asal. "Embeeerrr... emang gue tajir. Ntar tinggal bilang ke bokap kalo laptop nya henghong, ga bs di pake lagi. Gampang toh. Bokap juga ga bakal tanya-tanya kayak hansip tentang keberadaan laptop itu. Loe aja yang kagak mau make bekas gue. Heran deh ini anak, dikasih fasilitas kagak mau. Loe masih nganggap gue orang lain kale ya Nat?! Udah berapa tahun sih kita bersama? Masih aja gengsi nerima bantuan aye!! " Ada nada kecewa di dalam suara Ririn. Renata tersenyum simpul. Memang Ririn dan keluarga nya selalu saja membantu Renata setiap ada kesulitan. Namun Renata yang tidak mau terlalu berpangku tangan menerima bantuan itu terus menerus. Kalo bantuan kecil sih ga masalah. Tapi kalau sampe Ririn memberi kan laptop yang masih sangat bagus kepada nya, Renata tak sanggup menerima. Laptop itu seharga 9 jutaan. Renata tahu karena ia yang menemani Ririn saat membeli itu, setahun yang lalu. Laptop itu hadiah ayah Ririn dihari ulang tahunnya. Berbekal kartu kredit hitam milik ayahnya, Ririn membeli laptop itu. Ayahnya memberi kebebasan bagi anak semata wayangnya itu untuk shopping dihari ultahnya. Dan Ririn memilih untuk membeli laptop dan beberapa baju. Dia tinggal menggesek kartu itu. "Ah... enak sekali jadi orang kaya macam keluarga Ririn. Tak perlu berfikir apakah duitnya cukup untuk hidup esok hari atau ga." pikir Renata ngenes. Tapi dia tidak iri dengan nasibnya itu. Malah dia semakin bersemangat untuk belajar giat agar suatu saat kehidupan sulitnya akan berubah melalui proses pendidikan ini. Ririn dan Renata sudah bersahabat sejak lama. Setelah perpisahannya di Australia, Tuhan ternyata masih mempertemukan mereka di Bandung. Ya...ketika Renata didaftarkan di sekolah negeri di dekat panti asuhan nya, Renata tak menyangka, Ririn akan bersekolah disitu juga. SMA itu memang sekolah negeri terkenal di kota Bandung. Renata dibiayai oleh pemerintah. Dia hanya perlu punya sebuah laptop sebagai sarana mempermudah belajar nya disekolah itu. Semua biaya sekolah dan keseharian nya ditanggung oleh pemerintah Indonesia melalui bantuan di Panti Asuhan nya. Untung saja dia membawa laptop milik om Bima ke Indonesia, sehingga dia tak perlu membeli lagi. Sama seperti di TK dulu, pertemuan pertamanya dengan Ririn adalah di gerbang sekolah. Saat itu bagaikan dejavu, Ririn juga menatapnya, namun tidak mengenali Renata. Baru setelah guru memperkenalkan dirinya di kelas, Ririn berteriak kegirangan, mengetahui bahwa Renata sahabatnya telah datang ke Indonesia. Orang tua Ririn pun senang dengan kehadiran Ririn. Mereka malah ingin mengadopsi Renata saat itu agar ia tidak tinggal di Panti asuhan. Namun Renata menolak. Ada trauma kecil di dirinya tentang konsep sebuah keluarga. Dia merasa tidak nyaman dan ketakutan. Takut tt apabila keluarga barunya nanti akan meninggalkan dia lagi seperti orang tua dan om Bima nya. Dia tidak siap untuk kehilangan orang yang disayanginya berulang kali. Bagi Renata, panti asuhan adalah tempat yang tepat bagi dirinya. Selama dia masih bisa bersekolah, mendapatkan beasiswa serta penghidupan, tak ada lagi yang dibutuhkan nya. Ini semua sudah cukup bagi dia. Seminggu setelah ia bersekolah di SMA, Ririn membelikan Renata SIMcard baru untuk Modem HP nya. Renata tidak melupakan William, namun Renata tidak menghubungi pria itu. Selain karena kesibukannya, Renata tak mau menjadi kesedihan baru bagi William. Menjadi adik baru bagi William, tentu menyenangkan. Namun entah mengapa Renata tidak ingin hal itu terjadi. Mungkin karena Renata belum pernah punya seorang kakak lelaki. Bukankah akan terasa canggung nantinya? Begitulah... Renata hanya menyimpan saja kartu nama William di dompetnya. Berharap suatu saat nanti Tuhan akan mempertemukan mereka lagi. Tapi kenyataan nya, selama hampir 6 tahun berada di Bandung, Renata tidak pernah bertemu muka dengan William. Jangankan bertemu, berpas-pasan saja tidak. Dia pernah menceritakan tentang William pada Ririn. Sahabatnya itu malah menggodanya. "Cie... yang kena cinta monyet. Falling in love sama bule tua" ejek Ririn terkekeh. "Ishh... siapa juga yang cinta. Lagian, William tidak tua. Ku pikir dia pasti berumur 20-25 tahun. Gayanya masih muda kok. Kulit nya juga lembut, artinya dia tidak setua itu lah. " bela Renata. "Waahhh... seleramu ngaco juga untuk ukuran anak SMP, Nat. Kalo aku mah ga bakal tertarik dengan om-om gitu. Pasti bakal nyari yang seumuran. Ya... paling nggak anak SMA yang gayanya cool modis. Ga kayak om-om yang suka pake jas. Hahaha... selera mu payah Nat. " Ririn tak berhenti memojokkan nya. Renata hanya bisa diam tak berkomentar. "Apa salahnya sih suka pada style orang yang rapi jali macam William?! Memakai jas bukan hanya orangtua. Lagipula itu di pemakaman saja, tak mungkin dia hadir memakai jeans belel. Toh waktu di bandara style nya juga cool memakai celana panjang kain, kaca mata hitam, topi, dan baju T-shirt. " pikir Renata. Hari-hari berikutnya dijalani Renata bersama Ririn dengan gembira. Mereka tumbuh bersama. Mereka bagai langit dan bumi. Ririn yang cantik dan menarik serta berasal dari keluarga berada, selalu menjadi incaran para pria yang melihat nya. Sedangkan Renata seperti upik abu didekat Ririn. Menjadi orang dibawah bayang-bayang Ririn. Beberapa cowok pernah naksir padanya, namun setelah mengetahui bahwa ia tinggal di Panti Asuhan, mereka mendadak mundur teratur. Seolah bagi mereka, anak Panti adalah aib tersendiri. Bagi Renata sebenarnya tidak apa-apa bila tak ada pria yg jatuh cinta padanya. Dia harus fokus pada pendidikan nya bila tak mau prestasinya menurun dan beasiswanya ditarik pemerintah. Bagi Renata tidak penting apakah ada yang menyukainya atau tidak. Baginya, bersama Ririn sudah cukup dalam hidup ini. Renata selalu mendapatkan juara umum disekolahnya. Otaknya sangat pintar. Itu sebabnya orang tua Ririn menjadikan dia sebagai guru privat untuk anaknya. Ririn lebih mudah mencerna penjelasan Renata daripada masuk ke lembaga privat didaerah itu. Selain bertujuan membantu keuangan Renata, kegiatan belajar bersama Ririn adalah pengalaman yang menyenangkan. Tak bosan rasanya mereka melalui beberapa jam berkutat dengan buku pelajaran dan soal-soal. Bahkan saat awal kelas 3,mereka sudah mulai mengerjakan soal ujian masuk Perguruan tinggi. Ayah Ririn membelikan banyak sekali buku-buku soal serta buku ujian IELTS. Renata dan Ririn bahkan sudah melewati ujian IELTS dengan skor yang tinggi sekali untuk seusia mereka. Mungkin karena background mereka yang pernah stay di lingkungan orang-orang yang berbahasa Inggris menjadi kunci dasarnya. Renata dan Ririn juga mendapatkan jatah mahasiswa undangan berprestasi di kampus UNPAD. Renata memilih jurusan keperawatan, Ririn masuk ke kedokteran. Tadinya Re ingin memilih fakultas kedokteran juga. Namun mengingat biaya disitu pasti sangat besar, Renata takut kedepannya tidak mampu melanjutkan pendidikannya karena masalah biaya. Walau berbeda kampus, namun mereka tetap bersama. Jam istirahat mereka selalu menghabiskan waktu di perpustakaan untuk belajar. Walau anak kedubes, tapi semangat Ririn untuk belajar tidak kendor. Dia tak mau menyia-nyiakan waktu mudanya untuk hal yang tak penting. Bagi Ririn, dia harus tamat tepat waktu karena ia sadar, pendidikan dokter itu sangat lama. Renata sangat bangga dengan temannya itu. Sungguh Ririn adalah sahabat terbaik yang dikirim kan Tuhan kepada nya. *** Lima tahun berlalu,kini mereka sudah mendapatkan gelarnya masing-masing. Ririn sebagai dokter spesialis dan Renata sebagai perawat Ners dengan spesialisasi Medical Bedah. Renata kembali mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk melanjutkan S2 keperawatan di Australia,beberapa bulan setelah ia lulus sebagai Ners. Sungguh beruntung dirinya. Namun Dia sedih karena harus berpisah dari Ririn saat itu. Ririn lebih memilih melanjutkan pendidikan spesialis nya ke Belanda. Ririn ingin menjadi dokter spesialis bedah tulang. Mereka berpisah di Bandara. Tapi mereka tak pernah putus kontak. Selalu chat dan video call, kapan pun mereka rindu. Tiga tahun mereka melewati kondisi terpisah seperti itu. Sebenarnya Renata hanya butuh waktu 1,5 tahun untuk menamatkan spesialisnya. Sisa waktunya dihabiskan dengan bekerja sebagai perawat parttime di UGD. Dia sengaja menunggu Ririn tamat pendidikan dokter spesialis tulangnya. Tahun lalu,setelah Ririn mendapatkan gelar spesialisnya, mereka bersamaan kembali ke Indonesia dan bekerja di ibukota. Kini mereka bekerja di RS swasta yang sama, terbesar di kota Jakarta. Ririn sengaja memilih Renata sebagai perawat pendamping untuk di ruangannya. Mereka seakan tak terpisahkan. Renata tidak keberatan menjadi asisten untuk Ririn praktek. Seharusnya Renata dapat bertugas menjadi perawat IGD, ICU ataupun di kamar Bedah. Namun demi bersama Ririn, Renata ikhlas cuma duduk menemani gadis itu memeriksa pasiennya di klinik rawat jalan. Ririn sudah seperti kakak bagi Renata. Ia mendampingi Ririn tanpa sekali pun ada rasa cemburu dengan nasib baik sahabatnya itu. Di Jakarta ini, Renata tinggal di sebuah apartemen. Ketika di Australia, selain berkuliah,pada malam hari dia juga bekerja di salah satu RS sebagai perawat IGD. Penghasilan nya lumayan besar karena insentif untuk shift malam dua kali lebih besar daripada perawat biasa. Dua tahun dijalaninya kehidupan seperti itu tanpa lelah. Uang yang terkumpul, dibelikannya sebuah apartemen di kawasan Bintaro. Sisanya di investasi kannya menjadi modal minimarket untuk anak-anak Panti asuhan. Renata senang bisa berkontribusi bagi Panti itu. Dia sudah tidak tinggal disitu, namun Renata berharap minimarket yang dikelola Panti dapat berkembang dan memenuhi kebutuhan dasar anak-anak Panti. Terakhir di dengarnya, minimarket itu sudah membuka 2 cabangnya dikota Bandung. Adik-adik Panti yang mengelolanya.   Malam ini Renata tengah bersiap-siap menutup ruangan prakteknya. Ririn sudah pulang terlebih dahulu. Dia ada janji kencan dengan tunangannya yang bernama Arya. Arya adalah dokter spesialis jantung yang dikenal Ririn saat sekolah di Belanda dulu. Arya saat itu sedang magang di kampus Ririn. Arya sebenarnya adalah peneliti muda dari LIPI. Dia sedang mengerjakan proyek bersama dengan peneliti dari Belanda. Kunjungan nya hanya 3 hari, namun dia beruntung bertemu dengan Ririn. Mereka berkenalan dan dalam beberapa bulan hubungan itu terus berlanjut. Arya dokter yang baik dan ramah. Dia tak pernah neko-neko dengan gadis. Mungkin baginya, penelitian lebih menarik daripada gadis-gadis. Itu sebabnya, setelah Ririn kembali ke Indonesia, Arya langsung melamar nya. Mereka akan menikah 2 bulan kedepan. Ririn pun sebenarnya tidak mau cepat-cepat menikah. Namun Renata meyakinkannya, bahwa Arya adalah pilihan terbaik. Mereka saling mencintai, jadi apa yang harus di undur-undur lagi? Zaman sekarang susah mencari lelaki sebaik dan sealim Arya. Apalagi dengan pekerjaannya yang mapan. Jadi seperti itulah... bersama Renata, mereka mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Ririn. Sudah hampir 85% persiapan pesta dan akad yang kelar. Tinggal memesan baju pengantin saja serta tiket dan fasilitas tujuan honeymoon mereka. Yang lain sudah masuk ceklist approved. Renata sangat bahagia. Dia sadar, setelah Ririn menikah, mereka takkan bisa sering bersama seperti biasanya. Namun Renata sudah mempersiapkan diri dan mental untuk itu. Walaupun dia tak punya pasangan untuk datang di pesta Ririn nantinya, dan dia juga akan sendirian menjalani hidupnya setelah pernikahan sahabat nya itu. ---- Jam sudah menunjukkan pukul 21.26 wib. Dia sudah berada 7 jam di RS ini. Shift nya dimulai dari pukul 13.00 wib. Ririn biasanya praktek pada jam 15.00 hingga jam 20.00 malam. Terkadang kalau lagi ramai, prakteknya bisa sampai jam 10 malam. Sebagai dokter tulang, Ririn cukup terkenal. Pasiennya lebih banyak dari kalangan tua, dan anak-anak karena Ririn sangat ramah dan telaten dalam berinteraksi dengan pasien nya. Hari ini pasien Ririn hanya 17 orang. Itu sebabnya dia bisa pulang lebih awal. Sementara Renata harus menunggu hingga jam shift malamnya berakhir, yaitu jam 21.00. Renata merasa sangat haus. Ia memutuskan untuk pergi ke counter softdrink yang terletak diujung lantai gedung ini. Dia merogoh dompetnya untuk mencari lembar uang 5000 an. Namun tak ada. Di dompetnya hanya ada beberapa lembaran 50.000 saja. Mesin itu tak menyediakan kembalian. Renata bingung akan menukarkan uang itu kemana. Cafe terletak di lobby lantai satu. Di lantai ini semuanya hanya ada mesin makanan. "Ya sudahlah,"pikir Renata. " Aku akan membeli banyak minuman untuk dibawa pulang nantinya". Ia berjalan menuju mesin minuman. Seorang pemuda jangkung berdiri membelakangi nya di situ, sedang mengamati minuman yang akan dipilihnya. Renata mengantri dibelakang pemuda itu dan mengamatinya. Pemuda itu memakai baju seragam berwarna hijau tosca. Renata tahu itu adalah seragam orang-orang dibagian Bedah. Mungkin saja dia perawat ataupun dokter bedah. "Tapi bukannya ruangan Bedah letaknya di lantai 5. Untuk apa orang itu berada di lantai 3 tempat rawat jalan? " pikir Renata dalam hati. Renata langsung menepis pikiran nya itu. Untuk apa mempermasalahkan alasan orang itu turun ke lantai 3? Itu hak dia mau beli minuman di lantai berapapun di RS ini. Renata sedikit merasa malu karena prasangka yang ada dibenak nya itu. Renata berusaha untuk tidak kepo. Beberapa menit kemudian, Renata mendengar suara mesin mengeluarkan beberapa kaleng minuman pilihan pemuda itu. Pemuda itu menbungkuk menjangkau minumannya. Karena posisi Renata yang berada tepat di belakangnya, tubuhnya tersenggol b****g pemuda itu. Renata kaget, lantas langsung bergerak mundur menjauh. "Maaf" ucap gadis itu otomatis. Pria itu pun kaget dan berbalik menghadap Renata. Udara dari AC dan gerakan tubuh pria itu menghasilkan aroma yang langsung menusuk ke hidung Renata. Bau jeruk dan musk, aroma yang pernah di kenalnya. William!!! Ingatan Renata langsung tertuju pada pria itu. Ya... itu aroma yang sama dengan yang dipakai William. Renata tak berani mengangkat kepalanya. Mendadak dia takut berharap bahwa pria didepan nya adalah William. Tapi aroma ini sama. Re takkan melupakan nya. Ya Tuhan.. apakah dia William? Apa yang akan di katanya pada pemuda itu? Dia pasti bertanya mengapa Renata tidak menghubungi nya setelah menetap di Bandung. Alasan apa yang akan diberikannya?! Berbagai kekalutan berkecamuk di hati Renata. Jantung nya berdetak lebih cepat sekarang. Tangannya mendingin. Dia tak berani menatap pemuda itu. Dia berangsur mundur perlahan, kemudian membalikkan tubuhnya berlari menjauh dari pria itu. "Tidak!!! Dia tidak siap bertemu dengan William saat ini. Semoga dia bukan William. Semoga bau parfum itu hanya sebuah kebetulan saja." doa Renata dalam hati. Renata berlari sekencang-kencangnya menyusuri lorong Rumah Sakit. Dia tak peduli marwahnya sebagi perawat. Dia tahu, bisa saja terpleset ketika berlari seperti ini. Namun dia tak mau berhenti berlari. Dia berbelok dan menuju toilet khusus petugas RS. Dia mengunci pintu dan berusaha menenangkan degup jantung nya yang menggelora. "s**t!! Sebegitu takutnya kah dia bertemu William?! Ada apa dengan dirinya? Bukannya dia berharap Tuhan akan mempertemukan mereka? Jika memang orang itu adalah William, Renata seharusnya senang dapat bertemu dia. Namun kenyataan nya, Renata tak sanggup hanya sekedar menatap wajahnya. Pipinya terasa panas oleh rasa malu. " cihh... kenapa aku harus merasa malu bertemu William?! Kenapa jantung ku berdebar begini hanya memikirkan bahwa pria itu mungkin adalah William?! Aduuuhh... otaknya pasti koslet deh. Harus nya dia memastikan dulu bahwa memang itu adalah William, baru melarikan diri seperti itu. Tapi aroma parfum itu memang mirip William. Itulah yang membuat nya yakin. "Tuhan... aku pasti sudah gila," pikir Renata. Sepuluh menit berlalu, Renata masih berada di dalam toilet. Tiba-tiba suara ketukan di pintu mengagetkan nya. Dia ingat, ini WC staf RS, hanya tersedia dua. Dia tak boleh terlalu lama di dalam sini. Perlahan Renata membuka pintu. Seorang perawat wanita menunggu di depan pintu. "Maaf jika saya terlalu lama didalam" kata Renata. Wanita itu mengangguk sedikit. Renata beranjak ke arah wastafel. Menatap kaca besar dihadapan nya. Wajahnya sedikit pucat. Dirabanya pergelangan tangannya, denyut nadinya masih terasa tidak beraturan. Renata tidak menyangka, kejadian barusan benar-benar mempengaruhi dirinya secara emosional.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN