Di kampung kelahiran Ibu, rencananya Ayah akan melamar kerja di Rumah Sakit Umum daerah itu. Namun, Ayah tidak diterima. Terpaksa ia bekerja di Toko Bangunan menjadi kuli bongkar muat, berangkat pagi pulang sore. Perangai ayah semakin berubah, selalu berbicara dengan nada kasar dan ringan tangan. Ayu tak lagi mengenal sosok ayahnya. Pria itu benar-benar berubah menjadi seseorang yang asing.
Sebelum ibu melahirkan, Ayu dan keluarganya menumpang hampir selama satu tahun di rumah Tante Yani, adiknya ibu. Kemudian saat Amira sudah mulai bisa berjalan, keluarga Ayu pindah ke rumah saudara sepupu ibu yang sedang tidak dipakai. Rumah mungil itu berdinding belahan papan dan anyaman bambu. Hanya ada satu kamar tidur tanpa penyekat dan dua ranjang kayu di dalam kamar; satu di dekat jendela depan untuk Ayu dan Umar, satu lagi untuk Ayah, ibu, dan Amira.
Setelah itu Ibu mulai bekerja di kantin Rumah Sakit untuk membantu ekonomi rumah tangga karena penghasilan ayah masih saja tidak mencukupi. Sejak saat itu, hidup Ayu berubah, keluarga adalah siksaan baginya.
***
"Nanti pulang sekolah, ambil adik di tempat Bibi." Ibu berpesan kepada Ayu. "Hari ini Ibu shift malam, berangkat jam dua siang, pulang jam setengah sepuluh."
Sejak ibu mulai ikut bekerja, hampir seluruh pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh Ayu, termasuk menjaga si kecil Amira. Mencuci piring dan pakaian, juga memasak dan membersihkan rumah adalah kewajibannya. Meski ayah dan ibu meminta Umar untuk ikut membantu, adik laki-lakinya itu lebih suka bermain dengan teman-teman keliling kampung.
"Iya, Bu," jawab Ayu, "Ayu berangkat sekolah ya," pamitnya.
Ibu mengangguk tanpa menoleh, sibuk menyuapi Amira. Ayu meminta Umar untuk bergegas karena jarak dari rumah ke sekolah sekitar dua kilometer, sedangkan mereka harus berjalan kaki. Tidak ada sepeda, ataupun uang jajan. Ayah jarang memberi uang jajan, paling banyak seratus rupiah. Itu pun hanya seminggu sekali. Jadi Ayu harus menabung agar bisa jajan seperti teman-temannya yang lain.
"Ayo, Umar. Nanti terlambat."
Kedua bocah itu berjalan ke luar dari gang rumahnya yang sempit. Ayu dan Umar lebih suka melewati jalan pintas menyusuri pematang sawah, selain karena lebih cepat sampai, mereka juga tidak perlu berpapasan dengan orang lain dan berbasa-basi. Tidak sampai setengah jam kedua bocah itu sudah sampai di sekolah, baju mereka basah oleh keringat dan sepatu penuh lumpur. Kadang Ayu malu, saat istirahat teman-temannya suka menunjuk ke bawah tempat duduk, tertawa melihat lumpur yang mengering dan rontok dari sepatu kumalnya.
Jam istirahat lebih banyak dihabiskan Ayu di dalam kelas, membaca kembali buku pelajaran atau menggambar. Tapi hari ini, mata bulatnya tertuju pada tas baru teman sebangku. Gambar twetty, kartun kesukaan Ayu.
"Bagus banget," gumam Ayu sambil mengamati tas itu lekat-lekat. Mana mampu orangtuanya membelikan tas seperti ini. Ayu mengusap tas itu dengan kagum, sekaligus iri. Bahannya tebal dan bagus, sepertinya anti air. Ada beberapa sekat dan saku samping tas untuk tempat menaruh air minum. Ada empat gambar burung lucu itu dengan ekspresi yang berbeda-beda di samping tas, Ayu mengikutinya sambil tersenyum sendiri.
"Heh, kamu ngapain? Mau nyolong ya?" Bentak Maya, teman sekelasnya.
"Ngga," jawab Ayu terkejut. Lima orang temannya sudah berdiri mengelilingi.
"Ga usah bo'ong! Ngaku aja! Kamu mau nyolong kan?!"
"Ngga kok, aku cuma lihat aja," suara Ayu sedikit gemetar, mulai takut melihat sikap teman-temannya yang mengintimidasi.
Sekolah itu adalah sekolah favorit, hanya orang-orang mampu yang bersekolah di sana. Kebanyakan teman-temannya keturunan Tionghoa, anak pedagang atau pemilik toko. Ayu dan Umar bisa masuk ke sekolah ini karena beasiswa. Oleh karena itulah Ayu jarang membaur, sadar siapa dia, tak mungkin anak-anak orang kaya itu mau berteman dengannya.
"Halah, banyak alesan. Geledah aja tasnya!" Bentak temannya yang lain.
Ayu mulai menangis, melihat tasnya dibongkar dan diacak-acak oleh Maya sementara yang lain berdiri berkacak pinggang di sekelilingnya. Hati Ayu sakit sekali, ia memang orang miskin tapi bukan pencuri.
"Ada apa ini?" tanya Pak Darus, wali kelas mereka.
Kelima orang temannya terdiam, hanya saling memandang dan mendorong tanpa berani menjawab. Ayu semakin terisak di kursinya.
"Kenapa Ayu?"
"Ss ... Ssa saya dituduh mencuri, Pak, jawab Ayu terbata, "Padahal saya cuma liat tasnya Angel aja,"
"Halah bo'ong, kalo liat doang ngapain pake pegang-pegang?" cibir Maya lagi.
"Gambarnya lucu, Pak .... Huu ... Huu ... Huu ..." Bocah itu berlari pulang dan tidak kembali lagi ke Sekolah karena sakit hati dan malu. "Saya cuma liat gambarnya ...."
"Udah, udah, ngga usah ribut," kata Pak Darus, "Ayu, ga usah nangis lagi. Kalian minta maaf sama Ayu, ga boleh nuduh tanpa bukti.
Kepala Ayu tertunduk membalas uluran tangan teman-temannya yang tampak tidak ikhlas. Sakit sekali hatinya. Bukan kali ini saja mereka menuduh mencuri tanpa bukti. Hanya karena bajunya lusuh, sepatunya mulai sobek, tidak punya uang jajan, mereka menuduh seenak hati mereka. Ayu menyimpan kejadian hari itu untuk dirinya sendiri. Tidak mau menceritakannya kepada Ayah atau Ibu, untuk apa? Toh mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.
"Mba, kenapa tadi nangis?" tanya Umar saat ke luar dari gerbang Sekolah.
"Ngga apa-apa," jawab Ayu, hanya bisa menatap iri teman-teman yang dijemput dengan mobil atau motor. Ayu, sepeda pun tak punya. Hanya ada sepeda ontel yang dipakai Ayah untuk berangkat kerja atau mengantar jemput Ibu.
"Terus kenapa nangis?"
"Ngga apa-apa. Udah jangan berisik, jalannya cepetan. Kasian Amira kalo kelamaan nunggu."
Ayu berjalan dengan lesu, terbayang di pikirannya setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan setelah sampai di rumah nanti. Belum lagi perutnya yang berontak minta diisi dari tadi. Ia berharap dalam hati agar ada makanan yang tersedia di rumah. Kalau sedang tidak ada uang, kadang Ibu cuma masak nasi. Lauknya garam, atau kecap manis.
"Tante, ibu udah berangkat?" tanya Ayu saat lewat di tantenya.
"Udah tadi. Amira lagi rewel, nih," jawab Bibi sembari menyodorkan Amira. Ayu menggendong adiknya itu dan kembali berjalan ke rumah.
"Mba, ngga ada nasi," kata Umar saat melihat meja makan. "Cuma ada mendoan dua."
Ayu menarik napas dengan berat, ia meminta Umar untuk berhutang beras di warung agar bisa dimasak. Bukan hal baru bagi Ayu dan Umar harus berhutang di warung, ibu kerap menyuruh mereka. Kadang Ayah juga memerintah untuk berhutang rokok juga.
"Ini, Mba." Umar menyerahkan kantong plastik hitam dalam genggaman berisi beras satu liter. Ayu menerima benda itu dan membawanya ke dapur.
"Coba kamu lihat, ada kayu bakar ngga?" Ayu kewalahan, Amira tidak mau turun dari gendongan.
"Habis."
"Jaga ade bentar ya, Kakak cari kayu dulu, pinta Ayu. Namun Amira menangis, meronta. Akhirnya menggendong lagi adiknya itu, membuai balita itu agar tenang.
"Kamu tolong rapiin rumah ya," pinta Ayu pada Umar karena Ayah pasti mengamuk kalau pulang kerja dan melihat rumah berantakan.
Ayu menggendong Amiraa sambil mencari kayu bakar di kebun belakang rumah. Perutnya sudah perih tak terkira. Untunglah sedang banyak ranting kering yang jatuh di kebun milik tetangga. Kalau tidak, Ayu harus mencarinya ke desa sebelah. Menyeberang sungai dan menyusuri sawah, tidak mudah dengan Amira dalam gendongan. Setelah tumpukan kayu kering itu dirasa cukup, Ayu kembali ke rumah.
"Umaarr... " panggilnya saat melihat rumah masih belum disapu. "Umaarr.... " teriak Ayu lagi. Pasti adiknya yang bandel itu pergi bermain, atau ke rumah Tante Yani untuk minta makan. Amira tetap tidak mau turun dari gendongan. Terpaksa Ayu memangku adiknya itu sambil menanak nasi di tungku. Mereka tidak punya kompor minyak seperti tetangga, hanya ada tungku yang dibuat dari tanah liat.
Setelah nasi yang ia masak telah matang, Ayu menyendok nasi dari periuk ke dalam piring lali menuangkan minyak jelantah dan sedikit garam, kemudian nasi itu diaduk rata agar lebih sedap. Mendoan di atas meja tadi masing-masing dibagi dua untuk lauk. Gadis itu merasa sedikit lega, akhirnya cacing dalam perut berhenti meronta. Keringat dingin yang membasahi kening dan punggung pun hilang sudah. Setelah kenyang Ayu langsung menyapu dan merapikan seluruh bagian dalam rumah, masih dengan Amira yang menempel erat di pundak. Ia juga menyapu halaman, kemudian memandikan Amira.
"Dari mana aja kamu?" Ayu melotot melihat Umar baru pulang setelah maghrib, tubuhnya penuh debu dan lumpur. "Mandi di kali lagi ya?" Ayu menjewer telinga adiknya, kesal. Ayah sudah berkali-kali melarang mereka mandi di sungai yang mengalir mengelilingi kampung. Kalau Ayah tahu kalau Umar pergi mandi di sungai lagi, pasti Ayu yang disalahkan karena lalai menjaga adiknya itu.
"Kali itu airnya kotor! Bisa bikin badanmu korengan, ngerti ngga?" bentak Ayah waktu itu, saat Ayu dan Umar pulang sehabis mandi pertama kali di sungai dengan teman-teman mereka. Betis Ayu dan Umar dipukul Ayah dengan sapu lidi. Sejak saat itu Ayu tobat, meskipun rasanya sangat menyenangkan bisa bermain sebebas itu.
"Sana mandi," perintah Ayu pada adiknya, "sebelum Ayah pulang."
Rumah mereka belum memiliki sumur sendiri, jadi Ayu harus menimba air dari sumur milik Tante Yani dan menampungnya dalam ember besar yang digunakan untuk memasak. Kalau mandi dan mencuci pakaian, biasanya Ayu langsung pergi ke sumur di rumah tantenya.
"Ayo makan," ajak Ayu saat melihat Umar sudah selesai mandi. Anak laki-laki itu makan sepiring nasi dan sepotong mendoan dengan lahap. Isi piringnya bersih tandas tanpa sisa.
Ayu belum sempat mandi saat ayahnya pulang, ia tidak berani mendekat. Sejak dihajar habis-habisan karena lalai menjaga Amira, Ayu selalu ketakutan melihat Ayah. Hatinya justru merasa lebih tenang saat pria itu tidak ada di rumah.
"Ngga ada lauk?" tanya Ayah.
"Ada mendoan, Yah."
"Sana, utangin telur di warung. Terus sekalian digoreng." perintah Ayah dengan wajah masam.
"Tapi Yah, barusan utang beras juga," jawab Ayu lirih.
"Ngga apa-apa. Udah sana!"