Bab 4

708 Kata
Ayu sedikit merasa keberatan dengan permintaan ayah, ia malu kalau harus sering bolak balik berhutang di warung. Bukannya sombong, dia hanya tidak tahan mendengar nada cibiran dalam pertanyaan yang selalu di dengarnya itu. Oleh karena itu, ia meminta tolong pada Umar agar pergi ke warung sesuai perintah ayahnya. "Emang kamu kenapa?" Mata Ayah mulai melotot. "Hah?!" "Malu, Yah." Ayu menunduk, sedikit mundur saat melihat Ayahnya bangun dan mendekat. Ayah melayangkan tangannya yang kekar dan menampar pipi anak gadisnya. Ayu memegang pipinya, perih. Air mata menggenang di pelupuk mata. "Masih kecil udah sombong kamu!" Ayah mendorong kepala Ayu dengan kasar. "Manusia hidup tuh pasti ngutang, ngerti ga? Hah?! Ga ada orang yang ga punya utang! Sana cepetan ke warung!" Amira yang sempat tertidur tadi, kini menangis mendengar suara keras Ayah, minta digendong lagi. Menahan sakit di pipinya, Ayu mengangkat Amira dan mengajaknya ke warung. Perlahan air yang mengambang di ujung mata, menetes sedikit demi sedikit. "Utang lagi?" tanya Bu Siti, pemilik warung. Ayu mengangguk, menahan malu. Dibujuknya adil kecil dalam gendongan agar segera diam. Ia mengucapkan terima kasih pada Bu Siti yang menyodorkan sekantung telur ayam dengan wajah masam. Berjalan pulang tanpa berani mengangkat wajah. Segera telur itu di goreng dan diserahkan pada ayahnya sebagai lauk makan malam, kemudian Ayu menidurkan Amira. "Ayah mau jemput Ibu, tungguin. Nanti buka pintu." Bocah kecil itu mengiyakan perkataan ayahnya kemudian mengunci pintu setelah ayahnya pergi dengan sepeda. Ia lalu masuk ke dalam kamar dan berbaring di sebelah Amira. Lelah sekali rasanya. Matanya terasa sangat berat, mengantuk luar biasa. Ditahan tahannya rasa kantuk yang menyerang, karena ayah dan ibu belum pulang. Umar sudah terlelap sejak tadi. Ayu gelisah, sudah hampir satu jam namun Ayah dan ibu belum juga pulang, padahal biasanya pukul 21.00 kedua orang tua Ayu sudah sampai di rumah. Tak kuasa lagi menahan kantuk, mata gadis lugu itu terpejam tanpa ia sadari. Gelap, sunyi, sepi. Ayu sangat suka tidur, membuatnya merasa nyaman. Tidur adalah tempat pelariannya, membuatnya melupakan semua rasa sakit untuk sementara. Rasanya belum terlalu lama sejak mata itu menutup ketika tiba tiba tubuh kecil Ayu terhempas ke atas tanah. Ayu terhuyung, telinganya berdenging dan kepala berkunang-kunang. Gadis kecil itu bingung melihat tubuhnya berada di atas lantai tanah, nyawanya serasa melayang dan jiwanya belum terkumpul dengan sempurna. Jantung dalam rongga d**a berdegup bertalu karena rasa terkejut dan takut. Ingatan Ayu mulai terkumpul saat otaknya bekerja keras meraih sisa sisa memori sebelum tertidur tentang pesan ayahnya untuk membukakan pintu. Ayu mendongak menatap wajah ayah yang membara karena amarah. "Tuli kamu ya?" Bentak Ayah dengan suara menggelegar. Pria itu menendang dan menarik tangan Ayu untuk bangun. Gadis itu berdiri sempoyongan, gemetar karena shock. Tamparan Ayah yang kesekian kali menyadarkan Ayu, rupanya barusan pria itu menarik dan menghempaskan tubuhnya dari atas tempat tidur ke lantai tanah. Ayu tergugu menahan pilu, menoleh ke arah ibu yang sudah tidur di samping Amira, ingin meminta pertolongan. Tapi mendadak wanita dewasa itu seakan bisu dan tuli. "g****k banget! Udah dibilang tungguin! Bukain pintu!" Kali ini, telinga Ayu menjadi sasaran. Ayah menarik daun telinganya kuat. "Liat tuh pintu jadi rusak, harus di congkel!" Ayu meringis. Hampir tidak pernah dia menangis meraung-raung. Sebisa mungkin air mata yang akan jatuh ia tahan, tidak mau dianggap lemah oleh Ayah. Kecuali rasa sakit sudah tidak tertahankan lagi, maka air matanya akan menetes dalam diam. "Dipanggil dari tadi ga bangun-bangun." Pria itu melotot dengan menyeramkan membuat nyali Ayu semakin menciut. "Tidur apa mati? Orang tua pulang kerja capek capek, nungguin bentar aja ga bisa!" Ayah tak berhenti mengomel, tangannya pun tak henti memukul, menampar, dan mencubit. Ibu, satu-satunya harapan Ayu akan pertolongan hanya diam, tidak bersuara sedikitpun. Memilih untuk berpura-pura telah tidur pulas. Air mata Ayu semakin berderai. Bukan karena pukulan ayah yang membuat telinga berdenging, atau karena lutut yang berdarah karena tergores kerikil di atas tanah. Tapi karena rasa sakit dalam hati. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya: Kenapa? Kenapa selalu aku yang salah? Selalu aku yang dimarahi? Aku capek sekali, hanya ingin istirahat ... Kenapa? Apapun yang dia lakukan, tidak pernah cukup. Tidak pernah dihargai. Selalu salah. Setelah puas mencaci maki dan menghajar Ayu dengan pukul dan tendangan, Ayah beranjak untuk tidur. Meninggalkan Ayu begitu saja, terduduk di atas tanah dengan air mata dan isak tertahan. Kenapa? Apa salahku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN