"Dia minta kesempatan temenan lagi sama aku." Rey menggebrak arm rest mobil yang terletak di tengah bangku belakang mobil kami. Hingga kopi Starbucks di holder, yang tadi aku pesan sepertinya ikut koyak. Ekspresi seramnya kembali lagi. Tapi tidak mungkin aku mencegahnya dengan berbohong. Karena itu akan menjatuhkan kepercayaan di antara kami. "Dia cuma akal-akalan aja itu. Kamu ga perlu temenan sama dia. Temenmu udah banyak. Dan baik-baik." Aku lagi-lagi mengusap pipinya. Sifat Rey yang cemburu seperti ini sudah aku pahami sejak pertama kami bertemu Fathir di pernikahan Renata. "Tenang dong Mas. Ini aku harus jujur apa boong sih? Kalo jujur muka kamu makin serem gini deh." "Jujur, Lanisa. Aku mau denger semua." "Ga boleh marah ya?" "Tergantung cerita kamu." "Dia bilang masih sayang

