Awal
Amsterdam, Belanda, 2004.
Malam hari di bulan Desember saat musim salju datang. Semua penduduk di Eropa seperti sedang berhibernasi. Tidak akan ada yang sudi berjalan keluar atau membuka jendela. Mereka lebih senang duduk di dekat perapian dengan menikmati kue jahe. Semua pintu dan jendela rumah terkunci rapat, kusen jendela mulai memutih dipenuhi butiran salju yang semakin lama kian menumpuk dan membentuk bongkahan es. Dingin, sunyi dan senyap. Bahkan sang semut pun tidak akan bertingkah bodoh keluar dari sarangnya hanya untuk mencari makan.
Di depan hotel berbintang, tampak seorang pria berdiri dengan menggendong tas ransel dan menenteng tas besar yang jauh dari kata bagus. Tubuhnya tidak setinggi orang Eropa. Namun terbilang tinggi di kalangan penduduk Asia. Beberapa saat yang lalu ia keluar dari bangunan mewah ini karena tidak memiliki uang untuk menyewa.
Ia berjalan menjauh, matanya menyusuri setiap bangunan. Ia sadar tidak akan mungkin mengetuk pintu rumah yang sudah terkunci rapat. Eropa tidak seramah itu. Jangan bermimpi kau akan mendapat belas kasih dan kehangatan di dalam rumah. Menjadi orang asing di negara orang dan tanpa membawa uang suatu tindakan konyol.
Zahid Ibrahim calon Mahasiswa asal Indonesia ini memutuskan untuk duduk di kursi panjang yang sudah memutih dipenuhi butiran es. Tangannya yang tanpa menggunakan sarung tangan itu mulai menyingkirkan salju-salju yang menghiasi bangku kayu. Ia duduk dengan memeluk tubuhnya. Jaket yang digunakan tidak begitu tebal, jangankan terbuat dari kulit rusa. Hanya jaket berbahan baby terry yang tidak akan cukup melindungi dirinya dari hawa dingin.
Semakin malam, semakin dingin, udara pun terasa membeku. Tepat pukul dua belas malam suhu di kota Amsterdam merosot hingga minus sembilan derajat celcius. Tangan Zahid terlihat kusut, keriput, kakinya terasa kebas sulit digerakkan, giginya gemelutuk bagai tulang dipatahkan, tubuhnya menggigil, bergoyang dan terguncang.
Rasa dingin terus menyerang. Kedua lampu bulat yang berada di sisi kanan dan kiri bangku kayu ini tidak cukup memberi kehangatan. Malam terasa mencekam, lolongan anjing terdengar begitu mengerikan. Zahid mulai merasakan kejanggalan dalam tubuhnya, pandangannya terasa berputar, kepalanya terasa ringan, jantungnya terasa lemah untuk memompa. Paru-paru sudah mulai lemah menghirup oksigen. Syaraf sudah tidak mampu membawa pasokan udara ke otak. Zahid merasakan tubuhnya kaku dan membeku, nafasnya mulai tersengal. Udara dingin semakin mengoyak tubuhnya. Tidak berselang lama, Zahid merasakan lehernya terasa tercekik. Ia menundukan tubuhnya, darah menyembur dari hidupnya yang mancung, menodai salju putih dengan warna merah menyala. udara mulai masuk, namun ia kembali merasakan lehernya tercekik.
Mata Zahid mulai meredup, kesadaran mulai berkurang. Zahid menyadari bahwa Ajal sudah dekat dan ia akan mati. Namun jiwanya memberontak, ia tidak ingin kehilangan nyawa di hari pertama menginjakkan kaki di Eropa. Sekuat tenaga ia berusaha agar tidak terpejam, namun semakin berusaha tubuhnya semakin melemah. Ia tidak kuasa lagi. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain berdoa dan pasrah.
Wanita cantik berkulit putih, berambut madu dan lurus ini duduk di kursi penumpang dengan mengamati jalanan di balik kaca mobil. Ia semakin cantik dengan balutan mantel hitam dan topi rajut tebal menutupi sebagian rambutnya. Wanita berhati mulia ini telah melakukan perjalanan panjang, memastikan anak-anak jalanan yang berada di Amsterdam tidak mati kelaparan dan tidur kedinginan.
Emilie Richard Van Hoevell perempuan kelahiran Amsterdam yang saat ini baru menginjak usia delapan belas. Ia gadis ceria dan gemar menolong sesama. Tidak sengaja pandangannya terhenti di sebuah kursi taman, ia melihat sosok pria yang sedang kedinginan. Meminta pada sopir untuk menghentikan laju mobil. Satu mobil di belakang ikut berhenti. Emilie turun dari mobil dan mereka pun ikut turun. Emilie berjalan cepat menuju kursi taman, diikuti sang supir yang adalah pengawal pribadinya. Dan tiga orang dari mobil berbeda mengikuti di belakang.
"Nona, ini sudah larut malam. Silahkan anda kembali ke mobil. Kita harus pulang," ujarnya dengan memayungi. Emilie menghentikan langkah, ia menoleh menatap pria berbadan tegap dengan tatapan tajam.
"Tidakkah kau lihat? Ada seseorang yang membutuhkan bantuan kita?" ucap Emilie. Ia kembali melanjutkan langkahnya.
"Tapi, Nona. Tuan akan marah jika anda tidak segera kembali." Pria itu terus mengingatkan. Emilie tidak menggubris, ia berjalan semakin cepat mendekati Zahid yang sudah meringkuk di kursi kayu di bawah lampu taman yang tubuhnya mulai dipenuhi salju.
"Nona biarkan saja gelandangan ini. Kita harus kembali." Pria itu kembali membuka suara. Emilie yang sudah berada tepat di hadapan Zahid pun menoleh ke belakang dan tersenyum kecut.
"Apa kau pernah berpikir? Bagaimana jika kau berada di posisi dia?" Emilie menunjuk tubuh Zahid. Seketika pria itu bungkam.
"Oh, Tuhan. Sungguh malang pria ini," gumamnya. Emilie meraih tangan Zahid, ia memeriksa denyut nadi dengan memegang pergelangan tangan Zahid.
"Masih hidup, cepat bantu aku!" titah Emilie. Pria yang sejak tadi berbicara dengan Emilie pun mengangkat satu tangan, hingga dua orang yang berada di belakangnya dengan sigap membawa Zahid.
"Bawa dia ke hotel terdekat!" Emilie kembali memberi perintah. Gadis cantik ini menoleh ke arah wanita berjas putih yang tertutup oleh mantel tebal. Wanita yang sejak tadi mengikuti langkah Emilie.
"Dokter, aku rasa tugasmu bertambah. Bantu aku menyelamatkan pria ini," ucap Emilie.
"Aku tidak keberatan, Nona." Wanita berjas putih itu membungkuk hormat.
Kemudian , mereka berjalan cepat menyusul dua pria yang membawa Zahid. Sedang pria yang sedari tadi berdebat dengan Emilie, masih setia mengawal langkah Emilie. Dialah Antoni sang sopir sekaligus pengawal pribadi Emilie.
Sampai di hotel berbintang tempat dimana Zahid tadi di usir dengan tidak hormat, karena tidak memiliki euro untuk menyewa kamar. Kini ia datang dengan sambutan ramah. Mendengar Emilie akan datang para karyawan hotel berjajar menyambut kedatangan anak pemilik hotel ini.
"Siapkan kamar yang terbaik!" titahnya.
"Saya sudah siapkan kamar untuk Nona menginap," jawabnya dengan membungkuk hormat.
"Bawa pria ini ke kamar yang sudah disiapkan!" titahnya. Kedua pria bertubuh tegap itu membawa Zahid memasuki lift. Dokter perempuan pun dengan cepat masuk bersama mereka dengan membawa tas besar. Meninggalkan Emilie dan Antoni yang masih berada di lantai dasar dengan sedikit perdebatan.
Seorang pria yang mengenakan seragam hotel itu tercengang saat melihat siapa pria yang bersama Emilie. Ia masih tidak bergeming, ia tidak sadar hanya ada dia yang berada di tempat ini. Pria ini yang telah mengusir Zahid atas perintah atasannya.
Antonie menoleh ke arah pegawai itu.
"Sepertinya kau digaji tidak untuk melamun?" ujar Antonie dengan nada tegas dan dingin. Pria itu terlonjak kaget, ia menoleh ke sisi kanan dan kiri dan tidak melihat siapapun di tempat ini. Pria itu membungkuk hormat dan berlalu.
"Nona kita harus kembali, biarkan medis yang menangani pria asing itu," ujar Antoni.
"Biarkan aku masuk untuk memastikan," jawabnya.
"Tuan akan marah, ini sudah larut malam, Nona."
Emilie tidak menggubris. Ia pergi meninggalkan Antoni sendiri. Ia pergi setelah menanyakan kamar Zahid pada resepsionis.
Emilie adalah anak seorang pengusaha terkaya di Amsterdam. Richard ayahnya pemilik beberapa hotel dan salah satunya, hotel yang sekarang mereka datangi. Saat menginjak bulan Desember. Emilie selalu sibuk dengan kegiatannya. Ia akan berkeliling bersama seorang dokter membantu anak jalanan. Memberikan makan, mantel tebal dan mengobati jika ada yang sakit. Dokter Celia akan membawa banyak alat kedokteran dan obat-obatan. Termasuk Infus. Karena hal itu Richard tidak pernah suka dengan Emilie. Ia menganggap kegiatan sosial yang Emilie lakukan tidak berguna.