BAB 51 - HADIAH PERTAMA SAIRA

2143 Kata
“Kamu nanti ada kerja kelompok sama Adnan?” tanya Gibran sambil mencicipi jus melonnya, sementara matanya melirik pada Saira. Gibran dan Saira saat ini sedang menghabiskan waktu mereka di kantin sekolah sebelum Gibran mulai latihan basket. Asesmen Nasional akan diadakan beberapa hari lagi, namun Gibran semakin fokus pada latihan basket karena itu berarti pertandingan untuk seleksi masuk Universitas Pelita Mulia semakin dekat. “Saira, ada tugas sama Adnan tapi nanti ada Bian dan Aliyyah juga kok,” jawab Saira. Sebenarnya urusan dia hanya dengan Adnan, namun karena Saira tidak ingin membuat Gibran kesal, maka ia mengajak Aliyyah dan Bian untuk bergabung. Memaksa lebih tepatnya. “Kelompok kamu gak ikut?” tanya Gibran. Ia pasti sudah hafal bahwa Aliyyah dan Bian adalah anggota kelompok Adnan, bukan dirinya. “Enggak. Ais lagi persiapan olimpiade,” jawab Saira berbohong. Ais memang sering izin untuk persiapan olimpiade. Namun kali ini Saira tidak tau. “Oh, terus dua orang lagi?” “Mereka kayaknya sibuk,” jawab Saira. Gibran tersenyum. “Kamu ajak Bian dan Aliyyah karena saya ya?” Saira membeku. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Harusnya dia tau bahwa tidak akan mudah untuk berbohong pada Gibran. Lelaki itu sudah mengenalnya lebih dari satu tahun, dan Saira sangat amat jarang berbohong padanya. “Bukan kok.” “Are you sure?” Saira mengangguk ragu. “Iya. Kamu jangan marah, ya.” Gibran tersenyum tipis. “Saira, saya gak bermaksud kamu jadi kaku main sama temen-temen kamu. Kamu boleh main sama siapa aja. Justru dengan kamu ajak Bian dan Aliyyah, saya jadi gak enak,” kata Gibran. Saira memandang mata lelaki di depannya dan terlihat perasaan bersalah di sana. Namun, Saira ingat bahwa waktu itu ia juga melihat mata yang kecewa saat ia dan Adnan terlalu dekat. “Saira cuma… gak mau kamu marah,” jawab Saira jujur. “Saya gak berhak marah.” “Kenapa?” “Ya emang gak berhak marah.” Saira diam. Ia tidak tau maksud Gibran. Ia hanya tau lelaki di depannya itu sedang sangat sensitif. Semua itu terjadi karena seleksi beasiswa perguruan tinggi semakin dekat. Saira tau seleksi itu satu-satunya kesempatan Gibran. “Kuliah di PTN pun saya dan ibu gak mampu bayar,” kata Gibran suatu kali. “Yaudah. Kita fokus sama seleksi kamu aja gimana? Nanti kamu latihan, udah makan?” tanya Saira mengalihkan pembicaraan. “Udah. Tadi ada sisa jualan di kantin ibu. Jadi saya abisin aja,” jawab Gibran. Tampaknya ia juga tidak ingin memperpanjang pembicaraan yang menyebalkan ini. “Kamu semangat, ya,” kata Saira. “Iya, sayang. Kamu juga…,” Gibran tidak melanjutkan kata-katanya. Ia terlihat ragu. “Juga apa?” “Juga semangat ngerjain tugasnya. Semoga lancar. Jangan minder sama kelompok Adnan. Kamu pinter dan such a good leader. I know it,” kata Gibran dengan cara yang menyenangkan. Saira tersenyum. Kemudian Gibran melihat jam tangannya dan menyadari bahwa ia terlambat akan sesuatu. “Kamu udah mau mulai latihan ya?” tanya Saira. “Saya ada konsultasi dulu sama couch,” jawab Gibran langsung membuka kemeja putihnya dan menggantinya dengan jaket. Beruntung, Gibran memakai kaus putih polos sebagai dalamannya. “Oke. Saira setelah ini ke perpustakaan ya. Kerja kelompoknya di sana,” kata Saira memberi tahu. “Kalau kamu mau ketemu Saira…,” belum selesai Saira berbicara, Gibran sudah pergi dan pamit. “Dah Saira,” kata Gibran. Saira tidak yakin Gibran mendengarkan kata-katanya barusan. Adnan: Sar, kita udh di perpus Saira: Ok Saira menarik napas panjang dan membereskan barang-barangnya di atas meja kantin. Ia mengeluh karena Gibran yang belakangan menjadi sensitif soal Adnan, soal basketnya, dan terkadang Saira merasa bersalah karena itu. Saira juga sering merasa bersalah karena Gibran selalu merasa bersalah. Semua ini seperti benang kusut yang sulit diurai. Saat Saira yakin bahwa ia sudah membereskan semua barangnya, Saira menemukan sebuah kotak berwarna hitam berukuran 10x10cm. Di atas kotak tersebut terdapat sebuah kertas yang ditempel dengan double tape. Saira tau tulisan di kertas ditulis oleh Gibran. Untuk Saira. Ih norak bnaget sih Gibran. Kalau gue gak engeh dan kotaknya malah ditemuin sama orang lain kan malu, kata Saira dalam hati. Saira membuka kotak hitam itu dan terlihat sebuah medali berwarna emas dengan gambar siluet seorang yang sedang bermain basket, dan di pinggiran medali tersebut tertulis, “Winner of Basketball Friendly Match.” “Ini apa?” tanya Saira pada diri sendiri. Di atas medali itu Saira menemukan sebuah kertas putih yang menempel pada bagian belakang penutup kotak. Hai Saira., this is your Gibs. I’m sorry that we have to go through this. I’m sorry that you have to be part of these difficulties. But, honestly, I’m glad you’re here. Please don’t give up on us. I promise to give my best so that we’ll have no reason to break apart. I apologize for my jealousy, misbehaved, overprotective, and all things that make you hate me. I do really love the way we are now. Please be more patient. You have no idea how much I’m glad we are together. Start from today, I will be very busy, managing myself for the tournament. This is my chance, this is my only way to be with you. In advance, I’m sorry that I will not be able to talk to you, to accompany you, and so on. So, please wait ‘till the time I’m a decent BF. Until that day, please keep this medal. This is the newest I have. Sincerely, Gibran Radu Saira selesai membaca pesan dari Gibran di atas kertas dan sadar bahwa tidak ada amarah sama sekali yang tersisa di dirinya sekarang. Tiba-tiba saja, ia tidak marah karena Gibran mengabaikan kata-katanya tadi, dan ia tidak marah karena Gibran sibuk, atau cemburu meskipun ia dan Adnan tidak ada hubungan apa-apa. Saira tersenyum dan memasukkan kotak medali, lengkap dengan isinya ke dalam tas. Ia kemudian beranjak menuju perpustakaan sambil memegang kalung berbandul biru dari Ibu Dewi masih menggantung di lehernya. Adnan: buruan Membaca pesan Adnan yang menyebalkan pun tidak mengapa bagi Saira saat ini. Ia terlalu senang untuk merasa kesal. “Dari mana aja? Perasaan Gibran udah jalan dari tadi,” kata Bian begitu Saira membuka pintu perpustakaan dan memasuki Area 3 di perpustakaan, area yang digunakan untuk meeting. “Maaf ya, guys,” jawab Saira sambil tersenyum. Biasanya ia akan marah jika disalahkan seperti itu, tapi kali ini tidak. Suasana hatinya sedang terlalu bagus. “Udah gak apa-apa,” kata Adnan membela Saira, membuat Saira bingung karena ia belum pernah dibela oleh Adnan. Lebih tepatnya, Adnan bukan tipe orang yang suka membela. Mereka kemudian memulai kerja kelompok biologi. Tentu saja, Bian dan Adnan lebih banyak memberi saran dan memiliki seribu ide saat Saira tidak tau apa yang mereka bicarakan. Ia merasa payah sekali. “Kalo kata aku, kita buat materi pribadi aja. Tapi, karena kalian lebih pintar, materi kalian aja yang dijadikan baku, terus bisa buat anak-anak sekelas. Nanti dipresentasiin dulu sama Bian. Gimana?” kata Aliyyah memberi saran. Saira tidak tau bahwa Aliyyah sekarang menjadi sangat menyukai biologi. Apakah karena ia satu kelompok dengan Bian, atau karena ada hal lain? Tapi di sisi lain, Saira juga sering sekali melihat Aliyyah masih menjaga jarak dari Bian. “Sar, gue invite Adnan ke group kita ya?” kata Bian di sela-sela percakapan mereka membahas tugas kelompok biologi. “Hah?” tanya Saira kaget. Ia memang selama ini merasa Adnan semakin dekat dengan dirinya, Bian, dan Aliyyah. Tapi… “Iya, biar Bian ada temennya,” kata Aliyyah. “Emang kamu bukan temen?” tanya Bian menanggapi kata-kata Aliyyah. “Kan lebih dari temen,” timpal Adnan menggoda dua temannya. “Apaan sih,” jawab Aliyyah merajuk, namun Saira bisa melihat Aliyyah sedikit salah tingkah. Saira tertawa pelan, ia merasa tau bagaimana sebenarnya perasaan Aliyyah pada Bian. “Gue sih, oke aja,” jawab Saira. Tapi jangan sampai ketahuan Gibran, tambah Saira dalam hati. Sebenarnya Saira bukannya tidak menyukai Adnan, hanya saja ia tidak ingin membuat Gibran tidak enak hati. Ia tau betul bahwa Adnan memang orang yang baik, dan tidak ada niat jahat. Tapi tetap saja. Adnan dan Bian terus berbicara soal tugas kelompok dan Aliyyah memperhatikan dua lelaki itu dengan serius. Perempuan berkerudung panjang itu terlihat sangat antusias dengan percakapan mereka. “Lo udah tau mau ngambil jurusan apa, Sar?” tanya Adnan. Saira yang tiba-tiba ditanya seperti itu, kaget. Tentu saja ia belum tau mau mengambil jurusan apa. “Belum,” jawab Saira jujur. “Konsultasi sama Bu Lisbet aja,” saran Adnan. “Kalian, udah tau?” tanya Saira pada semua temannya. “Gue harus ambil bisnis sih,” jawab Bian langsung tanpa pikir panjang. “Harus kenapa, Bi?” tanya Adnan. “Ya harus aja. Gue ada janji sama orang,” jawab Bian. Saira merasa Bian sempat melirik Aliyyah saat mengatakan itu. Bian janji pada Aliyyah? tanya Saira dalam hati. “Kamu, Al?” tanya Saira. “Aku… mau kedokteran,” jawab Aliyyah. “Hah? Kok kedokteran?” tanya Saira. Bukan karena ia meremehkan Aliyyah, namun ia tau temannya itu tidak punya keinginan menjadi dokter saat mereka pertama kali kenal. Kenapa sekarang berubah begitu cepat? “Iya,” sahut Aliyyah tanpa menjelaskan. “Kalo lo, Nan?” tanya Saira. “Gue mau jadi polisi,” jawab Adnan. “Cocok banget, Nan,” kata Bian sambil menunjuk rambut cepak Adnan. Ia meledek. Adnan tidak menjawab candaan Bian dan hanya melirik dengan ketus. “Sorry,” kata Bian tanpa terlihat bersalah sama sekali. “Gue mau kuliah film, tapi males jauh-jauh,” kata Adnan. Saira tau temannya itu menyukai fotografi dan film. Sekarang pun Adnan adalah anggota ekskul film dan fotografi. “Gue mau di Indonesia aja.” “Jadi?” tanya Saira. “Lo mau masuk jurusan apa?” Adnan balik bertanya. “Gue mau masak aja sih. Jadi kayaknya kuliah apa aja deh, yang penting kuliah,” jawab Saira asal. “Kok gak tata boga?” tanya Adnan. “Mungkin,” jawab Saira sekenanya. “E…, Sar,” panggil Aliyyah. “Kenapa Al?” “Kamu jutek banget sama Adnan,” kata Aliyyah perlahan. Saira kaget. Benarkah? “Masa sih?” tanya Saira. Tiga temannya tidak ada yang menjawab, “Sorry, ya.” “Gak apa-apa,” jawab Adnan serius. Keadaan menjadi canggung. Saira bingung harus apa. Kenapa belakangan ini ia sering sekali merasa canggung di depan Adnan. Ia sering tidak sengaja ketus pada Adnan, atau menjauh dari Adnan. Apakah hubungannya dengan Gibran perlahan menjadi toxic? Atau hanya dirinyalah yang tidak terlalu berlebihan menanggapi Gibran, padahal Gibran tidak pernah melarangnya berteman dengan siapa pun. Setelah semua urusan kerja kelompok biologi selesai, Saira, Aliyyah, Bian dan Adnan merapihkan tas masing-masing dan berjalan menuju pintu keluar perpustakaan. Sekolah sudah sepi dan sudah sangat sedikit siswa-siswa yang terlihat masih belum pulang. Bian, yang kini sudah resmi menjadi ketua OSIS mengaku ada agenda rapat yang tidak bisa ditinggalkannya. Ia pamit pada teman-temannya menuju ruang OSIS. Kadang Sair merasa Bian terlalu terobsesi dengan prestasi. Ia sudah menjadi anggota inti basket, ikut semua event di sekolah, memenangkan lomba esai, menarik hati guru, menjadi ketua kelas, dan kini menjadi ketua OSIS. Sementara Aliyyah pamit untuk segera pulang karena abi sudah menjemputnya, lengkap dengan ummi dan Aisyah. Kini tinggal Saira dan Adnan yang berjalan bersama menuju pintu gerbang. Namun, untuk menghindari jalan berduaan dengan Adnan, Saira mencari alasan. “Nan, gue mau ke ruang tata boga dulu. Lo duluan aja.” “Mau ditungguin?” “Enggak.” “Oke. Tapi, tunggu deh, Gue titip ini, ya untuk Mas Salman. Cuma waffle maker kok,” kata Adnan sambil memberikan dua buah kotak dengan gambar waffle maker di sisi depan dan belakangnya. “Kok ada dua?” “Satu lagi buat lo,” jawab Adnan. “Loh kok?” tanya Saira bingung. Hadiah apa ini? “Iya kan lo suka masak. Jadi, gue beli ini sekalian. Yang satu buat Mas Salman dan istrinya. Soalnya gue kembarin gak sempat kasih kado pas mereka nikah,” kata Adnan. “Oke,” sahut Saira bingung. “Makasih, ya.” Adnan mengangguk dan berjalan begitu saja menuju parkiran motor. Lelaki itu tidak tersenyum, tidak juga terlihat mengatakan sesuatu yang berarti. Bagi Saira, Adnan terlalu aneh. Kebaikannya yang tiba-tiba sering membuat orang salah mengartikan, namun sikap kaku dan ketusnya sering membuat ornag berpikir negative. Saira menarik napas dan membuangnya seketika. Ia tidak ingin menyakiti hati Adnan sebagai teman. Adnan sama sekali bukan ancaman bagi hubungannya dengan Gibran. Nanti, setelah Gibran sudah lolos seleksi, Saira akan mengatakan semuanya pada Gibran. Saira memandangan dua kotak pemberian Adnan. Satu kotak adalah miliknya. Ia kini memiliki dua hadiah. Hadiah yang ia dapat dari Gibran, dan kini ia mendapat hadiah dari Adnan. Untuk pertama kali dalam hidup Saira, Saira mendapat hadiah, bukan dari seorang laki-laki, melainkan dari dua orang laki-laki sekaligus. Dan Saira tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. *** “Ayah, Saira bawa teman. Namanya Gibran.” – Saira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN