Seleksi basket Gibran semakin dekat. Sudah lama rasanya terakhir kali Saira menghabiskan waktu berdua dengan pacarnya itu. Bahkan Saira sudah lama tidak menelepon, atau sekedar bertukar pesan. Ia merindukan Gibran, namun tidak ingin mengganggu konsentrasinya.
Saira melihat kalender. Seleksi akan diadakan tepat setelah pelaksanaan Ujian Nasional yang diadakan oleh masing-masing sekolah, sebagai syarat kelulusan.
Saira ingin mengajak Gibran untuk ziarah ke makam ayah. Meskipun Saira sendiri belum pernah bertemu dengan ayah di kehidupan nyata, ia ingin Gibran tau kemana ia harus mencari Saira jika ia tidak bisa ditemukan dimana pun.
Saira: kalau Saira ganggu kamu weekend ini gimana?
Gibran lama tidak membalas. Saira sudah mulai terbiasa dengan jawaban lama dari Gibran. Sejak Gibran memberikan medalinya pada Saira, lelaki itu memang menjadi benar-benar sibuk.
Gibran: kemana kita?
Saira: ke makam ayah. Mau?
Gibran: ok. Jam 10 saya ke rumah kamu
Kemudian sudah, tidak ada kelanjutan dari percakapan mereka. Saira tidak ingin mengganggu Gibran. Sungguh, hari-hari seperti ini sangat membosankan bagi Saira, dan ia sangat merindukan Gibran.
Beruntunglah Saira memiliki Aliyyah, Bian, dan Adnan. Mereka sering kali meramaikan telepon genggam Saira. Mulai dari percakapan di group mereka, dan juga telepon-telepon di group mereka. Dan kehadiran Adnan membuat hubungan Bian dan Aliyyah tidak begitu kaku.
Bian: guys
Adnan: yes
Aliyyah: knp bi?
Saira: whatsup
Bian: keluar yuk
Saira: kapan?
Bian: pas anak kelas 3 ujian aja
Adnan: kemana?
Bian: gatau
Aliyyah: terus?
Bian: yg penting main
Saira: h-1 AN, gue gabisa
Adnan: knp?
Saira; mau ziarah
Bian: kita anterin, ziarah ke ayah ya?
Saira: iya, tp mau sama gibran
Bian: pacaran teruuuus
Adnan: yaudah next, ajak kita ziarah juga, ya
Saira: kemana?
Adnan: ke makam ayah lo
Aliyyah: iya, kyknya aku blm pernah ke makam ayah saira
Saira: next, ok deh
***
Di hari Minggu pagi, Saira bersiap-siap untuk pergi ziarah ke makam ayahnya bersama Gibran. Ia sangat merindukan keduanya. Ayahnya, dan Gibran. Sudah lama ia tidak mendengar candaan-candaan Gibran, juga tidak menengok makam ayahnya. Mungkin sekarang makam ayah sudah sedikit kering dan dipenuhi dengan rumput liat. Saira berniat membersihkannya juga hari ini.
Sebentar lagi Gibran akan tiba untuk menjemputnya. Gibran bilang ia akan meminjam motor tetangganya, sehingga ia tidak membuang waktu lama di perjalanan.
Saira mempersiapkan makanan yang ingin ia berikan pada Gibran. Beberapa buah donat kentang dan pastel. Ia siapkan khusus sejak tadi malam, untuk Gibran dan Ibu Dewi.
“Saira, Gibran dateng, nih,” suara bunda dari luar membuat Saira tersadar dan segera menutup kotak makan untuk Gibran. Ia buru-buru berlari dan membawa dua kotak.
“Hai, cantik,” sapa Gibran begitu ia melihat Saira berlari ke arahnya. Untung saja bunda sudah masuk ke kamar dan Fatih sedang tidak ada di rumah.
“Gibs! Lama banget Saira gak ketemu kamu,” kata Saira. Ia langsung memberikan tas berisi kotak makan pada Gibran. “Ini untuk kamu dan ibu, ya.”
Gibran mengambilnya, “Tapi saya gak bawa apa-apa. Soalnya tadi buru-buru dan ibu lagi sibuk…”
“Udah, udah. Saira gak minta kamu bawa apapun juga,” kata Saira. Ia segera pamit pada bunda dan menarik lengan Gibran menuju ke luar rumah.
Saira dan Gibran sampai di makam ayah tidak begitu lama. Jalanan kosong di Minggu pagi dan Gibran melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Saira berpegangan erat.
“Gibs, lain kali kamu jangan ngebut gitu, ya. Bahaya,” kata Saira khawatir.
“Iya, sayang. Thank you ya udah khawatir,” kata Gibran narsis.
“IH,” sahut Saira tidak terima.
Di depan pusara ayah, Saira mendoakan banyak untuk ayah. Ia berdoa agar ayah dilapangkan kuburnya, dimasukkan ke dalam surge firdaus tanpa hisab, diampuni dosa-dosanya, dijauhkan dari siksa kubur dan siksa api neraka, dan Saira berdoa semoga apa yang ia lakukan di dunia tidak membuat ayahnya harus menanggung dosanya. Ia akan mengusahakan yang terbaik.
Namun kadang Saira berpikir, jika ia bersikap seperti Aliyyah, tidak pacaran, tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahrom, dan menutup auratnya sebaik Aliyyah, mungkin ia benar-benar tidak akan memberatkan ayahnya.
“Assalamualaikum, Ayah!” kata Saira setelah selesai berdoa. Gibran berada di sampingnya hanya diam mendengarkan Saira. “Ayah, Saira bawa teman. Namanya Gibran. Saira pernah cerita tentang Gibran ke Ayah, kan?”
Pusara ayahnya tentu saja diam dan tidak menjawab.
“Assalamualaikum, Om. Saya Gibran, temannya Saira,” kata Gibran memperkenalkan diri tanpa disuruh.
“Ayah, Gibran minggu depan mau seleksi masuk universitas. Gibran itu kapten basket, Yah. Gibran itu hebat, Yah. Gak kayak anak Ayah,” kata Saira.
“Apaan sih, kamu,” sahut Gibran tidak suka.
“As always, Saira yang minderan,” kata Saira.
“Ayah gak akan suka denger anaknya minderan kayak gitu,” kata Gibran. “Om, Saira itu anaknya hebat. Bunda sudah serba cukup,tapi Saira sekarang udah bisa cari uang sendiri. Dia jual brownies dan browniesnya enak banget. Gak ada yang gak suka brownies buatan Saira.”
“Thanks, Gibs,” kata Saira berterima kasih.
“You’re welcome, babe,” jawab Gibran sambil memegang puncak kepala Saira.
“Bye, Ayah. Saira sama Gibran pulang dulu, ya,” kata Saira.
Saira kemudian meminta penjaga kubur untuk membersihkan makam ayahnya dan Saira menaburkan kelopak bunga di makam ayahnya. Ia juga membasahi makam itu dengan air bunga mawar, dibantu dengan Gibran.
Sebelum mereka pulang, Saira sempat mendengar Gibran berkata pada makam ayahnya dengan suara berbisik, namun cukup kencang untuk Saira bisa mendengarnya.
“Om,” kata Gibran. “Saya janji akan jaga anak Om. Saya janji gak akan kurang ajar dan nyakitin perasaan Saira. Minggu depan saya seleksi beasiswa, setelah itu saya janji akan berjuang lebih keras lagi supaya bisa layak untuk anak Om, dan untuk keluarga Om. Makasih ya Om, sudah memiliki anak yang cantik hati dan fisiknya seperti Saira. Assalamualaikum.”
Saira terenyuh mendengar janji Gibran pada pusara ayahnya. Ia tau, itu hanya janji seorang anak SMA di depan pusara yang tidak bisa menjawab, dan mungkin tidak bisa mendengar. Saira pernah diberi tahu oleh Aliyyah, bahwa orang yang sudah meninggal tidak memiliki hubungan dengan orang-orang di dunia, kecuali soal tiga amal yang tidak terputus.
“Ayuk,” ajak Saira. Gibran menoleh. Ia mengangguk.
Saira dan Gibran berjalan pulang dalam diam. Mereka tidak membahas apapun. Masing-masing dari mereka tau bahwa mereka hanya perlu bersabar sedikit lagi dan setelah itu semuanya akan baik-baik saja.
Kenapa ya, dua orang yang sama-sama baik, dan tidak berniat menyakiti satu sama lain, harus terlihat begitu berbeda hanya karena salah satunya tidak selevel di mata manusia? Kenapa ya, seluruh perbedaan Saira dan Gibran, yang menurut Saira dan keluarga biasa saja, bisa membuat Gibran merasa begitu rendah? Mengapa Gibran harus bersusah payah, mengapa ada rumor, padahal Saira tidak mempermasalahkan tentang keluarga Gibran?
***
“Kak Gibs…..” – Saira