"Pak," Nafla memanggil pelan sambil menatap tangannya yang bertaut dengan tangan kukuh milik dosennya. Tampaknya Asgaf tidak berniat melepaskan Nafla barang sedikit saja mengingat sejak tadi ia tak berhenti menggenggam tangan gadis itu. "Hm," sahutnya tak menjawab. Menatap lekat Nafla yang akhir-akhir ini selalu tertekan. "Apa yang kamu pikirkan?" "Keluarga Bapak," jawabnya lemah lalu menunduk. "Saya takut mereka nggak mau terima saya." "Na, yang mau menikah itu saya bukan keluarga saya dan yang menjalani pernikahan ini juga saya bukan mereka. Saya percaya kalau kamu itu jauh beda dengan kakak kamu. Saya mempertaruhkan hidup saya untukmu, Na, dan yang perlu kamu lakukan adalah setia sama saya." Asgaf melirik pemandangan patung kuda putih yang di kelilingi oleh bunga. "Jangan pernah han

