Moving
Hai semua. Ini cerita kedua saya. Terima kasih karena sudah setia membaca cerita pertama saya hingga tamat. Meski ada kesamaan nama, cerita ini sama sekali nggak ada hubungan sama cerita yang sebelumnya ya.. Dan saya kembali minta dukungan kalian ya ,dengan LOVE dan komen kalian. Terima kasih..
***
Marissa membuka jendela kamarnya dengan lebar, menghirup udara segar yang akan sangat dirindukannya. Memutar lagu dari ponsel kuno miliknya sambil mengepak barang yang akan dibawanya pindah ke ibukota.
Laptopnya memberitahukan bahwa sebuah email telah masuk untuknya. Email yang berisikan surat registrasi Agency yang memanggilnya ke ibukota. Tentu saja selain melanjutkan kuliahnya yang sempat terhenti.
Ponselnya berdering
" Halo, kak...Iya. Baru saja aku buka."
" Baik kak. Makasih sebelumnya."
Marissa lalu beralih pada laptopnya dan mengisi formulir registrasi itu. Mengisinya, mengupload foto dirinya dan selesai. Ia nampak girang dan kembali mengatur barangnya.
Tok Tok
" Masuk aja"
" Udah selesai Ris?" tanya Yana, ibu angkatnya. Orang yang merawat Marissa sejak beberapa tahun lalu. Yana adalah sahabat ibunya. Seorang wanita berusia 35 tahun yang telah berpisah dari suaminya.
" Udah Ma. Tinggal buku sama laptop Risa aja kok. Mama udah?"
" Udah selesai. Kalau kamu udah selesai, kita makan dulu yuk. Trus siap-siap ke terminal" Marissa mengangguk dan tersenyum pada wanita yang dipanggilnya Mama.
Marissa lalu mempercepat gerakannya dan membersihkan barang yang akan ditinggalkannya.
Meninggalkan rumah yang telah ditempatinya bersama sang ibu yang telah lebih dulu meninggalkannya. Ayahnya? Ayahnya telah menikah lagi bahkan sebelum ibunya meninggal. Mereka bercerai sejak Marissa masih kanak-kanak.
Kini mereka telah bersiap menunggu jemputan sahabat Marissa yang juga akan berkuliah di ibukota. Raffa adalah teman Marissa sejak duduk di sekolah menengah atas. Marissa kurang bisa bergaul dengan orang lain. Meski ia sebenarnya adalah seorang gadis yang baik dan lurus,namun ia selalu nampak malu dan angkuh di saat yang bersamaan, hingga membuat orang lain enggan mendekatinya. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya sok cantik. Ya, Marissa memang cantik. Tubuhnya tinggi langsing cenderung kurus. Dengan kulit putih dan rambut lurus kecoklatan sepanjang pinggangnya. Matanya pun berwarna coklat terang ,turunan dari nenek Marissa dari mendiang ibunya yang memang memiliki darah Turki, dengan bulu mata lentik alami. Dan jangan lupakan lesung pipi di kedua sudut bibir kecil namun terlihat penuh itu, yang terpahat sempurna di rahang indahnya. Bila di kampungnya gadis seumuran dirinya sudah akan dinikahkan, terlebih dengan wajah secantik itu, namun tidak dengan Marissa. Ia mempunyai mimpi sendiri. Ia ingin kuliah, dan ia tetap ingin menjalankan hobbynya menjadi seorang model terkenal. Ia ingin menunjukkan pada ayahnya bahwa ia tidak memerlukan bantuannya hanya agar bisa sukses.
**
Marissa menyandarkan kepalanya pada jendela kaca bis yang akan membawanya menuju ibukota. Kota dengan sejuta impian. Kota yang konon tidak pernah tertidur. Marissa hanya merencanakan akan berkuliah atas beasiswa yang diterimanya dan bekerja paruh waktu sebagai model seperti yang ditawarkan dan tentu saja pekerjaan paruh waktu lainnya.
Bibirnya sedikit tersenyum saat membayangkan suatu hari ia akan dapat berjalan di atas di atas catwalk dengan pakaian indah yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya.
Segala hal telah ia rencanakan dengan rapih. Ia memejamkan matanya sesaat untuk menebus rasa kantuk yang sejak semalam belum di bayarnya.
Baru sekitar dua jam ia tertidur, namun Marissa kini terbangun saat bis yang ditumpanginya menepi pada sebuah rest area yang memang biasanya disinggahi oleh bis dari daerah.
Raffa berdiri dari kursi di seberang Marissa dan Yana lalu mengajak mereka untuk turun sambil sedikit meregangkan tubuh. Marissa mengambil tas ransel kecilnya lalu turun mengikuti Raffa dan Yana.
Marissa pamit pada Yana dan Raffa yang tengah memesan makanan untuk membeli minuman di sebuah kedai kopi global dengan logo berwarna hijau itu. Ia ingat ia dan Raffa pernah meminumnya saat mereka sedang study tour dulu.
Marissa lalu berdiri dalam antrian yang cukup ramai menunggu gilirannya sambil membaca menu yang ada di balik para pelayan yang terlihat sedang sibuk.
Saat Marissa memesan Caramel Java Chip nya, ia lalu mencari tempat duduk sambil menerima telepon dari Yana.
" Iya Mama makan aja. Aku lagi nunggu minuman. Bentar lagi selesai. Oke. Bye"
Marissa lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas ransel kecil yang ia letakkan di atas meja dan ikut merebahkan kepalanya di sana.
" Kak, Raffa. Atas nama kak Raffa " teriak seorang pelayan.
Ah, Marissa ingat. Itu minumannya. Ia sengaja memakai nama Raffa, karena terakhir kali ia memesan minuman dengan namanya di sebuah mall di Bandung, beberapa orang yang tidak ia kenal malah ikut menyapanya.
Marissa langsung berdiri untuk mengambil minumannya. Bajunya kaosnya sedikit terangkat saat ia meraih minuman yang pelayan itu ulurkan.
" Makasih" ucapnya sambil berjalan menuju mejanya tadi.
Ia lalu menyambar tasnya dan menggantungkan satu tali ke lengan kirinya. Dan ternyata ia belum menutup tasnya saat memasukkan ponselnya tadi. Membuat isi didalamnya hampir tertumpah. Marissa lalu mengangkat lutut kirinya untuk memudahkan menarik restleting tasnya. Membuat pinggul bagian kirinya sedikit terekspos dan menampilkan tiga tahi lalat yang berjejer rapih itu terlihat. Tanda lahir unik yang dimilikinya.
Selesai. Ia lalu kembali berjalan santai meninggalkan kedai kopi itu dan menyusul Raffa yang ternyata telah berjalan ke arahnya.
Marissa sama sekali tidak merasa bahwa beberapa pasang mata sedang memperhatikannya. Barangkali mungkin sejak ia memasuki kedai kopi itu. Rambut panjang indahnya selalu saja menarik perhatian orang-orang terlepas dari wajah cantik yang juga dimilikinya.
Bahkan sepasang mata milik seorang pria sejak tadi menatapnya intens seolah setiap gerakan yang Marissa lakukan diputar dengan mode Slowmotion. Ia bahkan dapat menangkap dengan jelas tiga tahi lalat Marissa di pinggul kiri bagian depannya. Dan kini ia hanya bisa menyaksikan wanita itu tengah berjalan memasuki sebuah rumah makan.
" Maaf pak, saya sudah selesai mengisi bensin. Kalau bapak mau, kita bisa jalan sekarang" ucap Arya, asisten pribadi sekaligus sopirnya.
" Lain kali jangan seperti ini. Pastikan bensin kamu penuh sebelum berangkat." Lalu ia berdiri dan berjalan menuju mobil mewahnya.
Christian Javier Moreno, pria dengan sejuta pesona. Aura yang mengintimidasi namun sangat memikat. Usianya 37 tahun namun masih sangat tampan. Tubuh tinggi atletis, kulit putih namun tidak mengurangi aura kelaki-lakiannya,otot yang pas, rahang tegas dengan bulu halus memikat, alis tebal, hidung mancung dengan bibir tipis menggoda disertai rupiah yang melimpah. Siapa saja tentu akan dengan sukarela membuka pahanya untuk bisa menikmati pria sesempurna itu. Namun tidak ada yang sempurna di dunia ini. Christian adalah seorang playboy kelas kakap. Ia tidak berniat menikah lagi setelah bercerai dengan istrinya beberapa tahun lalu. Bukan karena ia masih mencintainya, namun ia tidak lagi ingin terikat dengan pernikahan dan hanya berganti pasangan one night stand sesuka hatinya. Meskipun ia juga telah memiliki kekasih yang merupakan seorang mantan model. Christian menyayanginya, karena itulah hubungan mereka telah berjalan 2 tahun lamanya. Meski mereka lebih banyak melakukan hubungan jarak jauh, namun mereka tetap mempertahankan hubungan itu walaupun mereka sama-sama tahu hubungan itu tidak akan berujung pada pernikahan.
Ponsel Christian berbunyi, menampilkan nama Anna pada layarnya.
" Halo An..."
" Halo sayang, udah sampai?" tanya Anna yang sedang berada di Singapura.
" Belum. Tadi Arya kehabisan bensin. Terpaksa mampir sebentar. Kamu lagi apa?"
" Aku lagi mau melukis. Ya sudah. Kalau gitu kamu hati-hati ya"
" Baik. Nanti aku telepon lagi. Bye sayang"
Lalu Christian menekan tombol merah pada ponselnya. Ia tahu saat Anna melukis, ia akan sangat berkonsentrasi. Christian lalu menutup matanya agar bisa beristirahat untuk sesaat.
**
Berpuluh mil disana, Anna kekasih Christian selama 2 tahun ini sedang berada di dalam apartemennya. Sedang melukis untuk sekedar menjalankan hobinya yang kini menjadi pekerjaan tetap untuknya. Yang tidak Christian ketahui adalah, saat Anna melukis, ada dua buah tangan pria yang tengah menangkup p******a milik kekasihnya dari belakang. Anna terlihat serius duduk di atas pangkuan pria itu yang entah sejak kapan telah melepaskan kemejanya. Tangannya asik meremas daging empuk itu dan sesekali meraba belahan paha dari balik roknya.
Meski begitu, Anna selalu hanya sebatas saling b******u dengan pria lain. Mereka tidak pernah saling berhubungan s*x. Karena Anna hanya akan merasakan puncak klimaksnya saat bersama Christian.
Hal yang tentu saja selalu Christian lakukan bersama wanita lain.