" Sudah bangun Ris?" tanya Rosa, nenek Marissa. Ibu kandung ibunya.
" Udah Oma. Ini Rissa siap-siap mau ke kampus" Rissa memasukkan buku kedalam tas ranselnya.
" Ya udah. Oma sudah ngasih tahu sama pihak kampus kalau kamu cucu oma. Biar nggak ada yang jahilin kamu. Anak-anak kota kadang keterlaluan. Kalau udah selesai, ayo sarapan."
"Iya oma" Marissa lalu menggandeng tangan nenek tersayangnya.
" Oma masakin makanan kesukaan kamu loh"
" Oh ya? Emang oma tahu aku suka makan apa?"
" Rendang. Masa iya makanan kesukaan cucu satu-satunya nggak tahu."
Marissa terkekeh " Iya iya. Rissa makan. Oh ya, mama mana sih?" tanya Marissa yang sejak tadi tidak melihat kehadiran Yana.
" Mama kamu lagi interview di rumah sakit. Kebetulan ikut sama tante Widya - sepupu ibu Marissa-- sebelum ke kantor." jelas Erna.
" Owh, ya udah. Rissa udah selesai oma. Kalau kebanyakan ntar aku ngantuk di kampus. Aku berangkat ya oma. Raffa katanya udah dekat" Setelah mencuci tangannya, Marissa lalu mengambil tas dan mencium tangan dan pipi omanya.
" Udah siap Ris?" tanya Raffa. Pria bertubuh gempal itu telah berada di atas taksi online yang dipesannya.
Marissa mengangguk " Langsung jalan aja yuk". Dan ia langsung duduk di kursi penumpang.
" Udah semua Ris?" Raffa menoleh ke belakang untuk melihat Marissa yang nampak membuka map yang dibawanya.
" Kayaknya udah Raf"
**
Mereka berada di ruang administrasi melengkapi persyaratan pengajuan beasiswa mereka. Beruntung Marissa adalah seorang yang cerdas. Nilainya selama bersekolah selalu melebihi nilai rata-rata. Sejak kecil, ibunya selalu menggemblengnya agar menjadi anak yang rajin dan pandai. Marisaa tidak begitu suka bergaul dengan teman sebayanya, ia lebih suka menghabiskan waktu bersama ibunya ataupun membaca. Ia pun tidak terpengaruh dengan pergaulan disekitarnya sehingga ia semakin kurang teman karena di anggap tidak asik. Hal inilah yang menjadi persamaan antara Marissa dan Raffa.
Mereka lalu memasuki kelas pertama yang akan mereka ikuti. Nampak sudah banyak mahasiswa yang memenuhi ruangan besar itu. Marissa duduk pada barisan kedua dari depan karena sederetan itu masih nampak kosong. Mahasiswa lain nampak memperhatikan mereka berdua yang baru pertama kali berada dalam kelas ini.
Ada yang nampak berbisik-bisik. Ada beberapa pria yang terlihat jahil. Ada yang melihat mereka sinis meremehkan. Dan ada pula yang bersorak " Barang baru"
Marissa nampak sama sekali tidak terganggu dan hanya membuka tasnya.
Marissa tipikal remaja yang minim ekspresi. Ia hanya akan memasang wajah acuhnya pada setiap orang. Seolah memang tidak ada orang di sekitarnya. Membuatnya terlihat tidak ramah.
Seperti saat ini, tiga orang remaja tengah membicarakannya dengan tatapan sinis namun toh tidak dipedulikannya.
" Anak baru kayaknya. Style nya nggak banget deh Zar".
" Paling juga dari kampung. Nggak penting. Eh gimana party nya nanti? Jadi kan?" Tanya Zara pada kedua sahabatnya.
" Jadi dong sayang" Tiba-tiba sebuah pria merangkulnya.
" Apaan sih." Ia mendorong wajah Willy yang ingin menciumnya. Zara dan Willy adalah pasangan sejenis FWB. Dan seluruh kampus bahkan sudah mengetahui itu. Terlebih dengan sepak terjang mereka berdua yang sangat menyukai hubungan tanpa status itu.
Mereka terhenti saat dosen mereka telah memasuki ruangan dan mulai akan mengedarkan.
" Sepertinya kita ada tambahan mahasiswa. Selamat datang untuk kalian." Dosen cantik itu tersenyum pada Marissa dan Raffa yang di balas dengan senyum dari mereka berdua pula.
" Saya yakin kalian bisa segera beradaptasi dan mengejar ketinggalan. Nilai kalian luar biasa." dan langsung disambut riuh oleh seisi kelas.
" Baiklah, kalian bisa kenalan nanti. Sekarang kita mulai belajar saja kalau begitu"
**
Marissa melangkahkan kakinya tanpa peduli bahwa sekelompok remaja perempuan tengah membicarakannya.
" Oh itu anak baru yang tadi di omongin. Biasa aja deh" ucap salah seorang.
" Biasa aja gimana. Itu sih cantik banget." bantah seorang lagi.
" Tapi nggak banget deh orangnya. Sombong banget. Anak beasiswa aja belagu." Bantahnya lagi.
" Ya sombong karena pinter kali. Kan dia beasiswa prestasi."
Zara mengikuti arah pandang mahasiswa fakultas lain yang terdengar sedang mengomentari seseorang. Marissa yang nampak serius membaca catatannya tadi dengan earphone yang menempel di kedua telinganya, nampak tak peduli dengan keadaan sekitarnya.
Menikmati makan siangnya sendirian di sebuah kursi di taman kampus. Nampak dua orang pria mencoba duduk di dekatnya, membuat Marissa langsung meraih tasnya dan beranjak dari sana. Zara tersenyum dan sedikit kesal karena salah satu dari pria itu adalah pria yang sejak dulu diincarnya namun tidak pernah merespon Zara.
" Wow, menarik" bisiknya Zara pada diri sendiri.
" Apaan Zar?" tanya Tania, sahabat Zara.
" Ah? Nggak. Bukan apa-apa"
" Eh Zar, Jeff tuh" tunjuk Tania pada seorang pria tampan yang sedang mendekati mereka.
Zara berdiri dan langsung menyambut pelukan Jeff, sepupunya.
" Kangen tauukk" ucap Zara.
" Juga. Mama titip salam. Katanya jangan bandel" Jeff lalu melepaskan pelukannya.
" Aku nggal bandel Jeff. I am a b***h" dan Zara tertawa atas ucapannya sendiri.
" Dasar"
Marissa berjalan di hadapan mereka tanpa menoleh sedikitpun, bahkan nampak berjalan dengan tatapan lurus ke depan.
Zara melihatnya dengan sinis dan senyum mengejek.
Jeff menaikkan satu alisnya melihat tingkah Zara.
" Siapa?" tanya Jeff
" Anak baru. Sok banget" jawab Zara dengan memutar matanya.
" Tumben insecure " ejek Jeff.
" Excuse me???!!! Me? Insecure???" Zara menunjuk hidungnya dengan jari telunjuk. Membuat Jeff mengulum senyumnya. Ini pertama kalinya ia melihat Zara yang selama ini nampak percaya diri dan tidak terpengaruh oleh apapun, kini terlihat seperti melihat seseorang yang akan mencuri popularitasnya.
" Iya iya...Nggak insecure. Just a little bit jealous"
" Sialan loe! Ayok ah". Mereka lalu berjalan menuju kantin dimana teman-teman mereka menunggu. Namun sekali lagi Jeff melihat gadis berambut panjang itu yang sedang nampak berbicara dengan seseorang melalui earphonenya.
**
Marissa POV
Aku dan Raffa memasuki kelas pertama kami di hari pertama. Dan saat kami memasuki ruangan itu, beberapa orang langsung menatap kami dengan pandangan yang tidak bisa kujelaskan. Bahkan dengan jelas kudengarkan ada yang berucap "barang baru atau mainan baru", entahlah. Aku tidak peduli. Beberapa melihat kami dengan jelas bahwa mereka tidak menyukai kami. Aku tidak peduli.
Dan saat kelas telah selesai. Aku berjalan menuju taman yang terdapat di ujung fakultas ku sambil menunggu Raffa yang sedang mengurus kartu perpustakaan.
Aku kembali melihat mereka sedang membicarakanku, aku yakin itu. Aku kembali tidak peduli. Memasang earphone ku adalah langkah terbaik yang selalu kulakukan untuk menghindarkan telingaku dari omongan para anak orang kaya ini. Dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin belajar dengan baik. Membantu mama dan oma ku. Membuat mereka bangga padaku.
Aku langsung mengambil tas ku saat kulihat dua orang pria yang ingin duduk di bangku taman yang kini kududuki. Entahlah, aku hanya tidak ingin berurusan dengan mereka. Setelahnya aku langsung berjalan tanpa tujuan tepat disaat ponsel ku berbunyi dan Raffa menyuruh ku untuk menyusulnya ke perpustakaan.
Baiklah, meski aku tidak tahu dimana tempatnya, setidaknya aku bisa melepaskan diri dari tatapan aneh di sekitar ku. Ya meskipun aku tidak peduli.
Saat aku berjalan menuju perpustakaan, aku bertanya kepada beberapa orang untuk memudahkan ku.
" Tadi katanya belok kiri dekat toilet. Tapi kok nggak ada" tanyaku pada diri sendiri.
Aku terkejut saat seseorang menepuk pundakku.
" Sorry, kesasar ya?"
Seorang pria bertubuh tinggi, bermata indah dan tentu saja luar biasa tampan itu sedang berbicara padaku. Ah, aku ingat. Ia yang tadi berpelukan dengan seorang gadis di taman tadi. Aku tidak pernah begitu memperhatikan wajah pria disekitar ku, bahkan aku tidak tertarik. Entahlah, tapi pria ini terlihat begitu manis.
" Ehhmm...Are you okay?" ia mengibaskan tangannya di depan wajahku. Membuatku gelagapan.
" Ah? Ya, I'm okay. Sorry saya cuma kaget aja" . Aku menarik napas perlahan.
" Mm... Maaf kamu tahu dimana perpusatakaan?"
" Tentu saja. Mau saya antar?"
" Nggak perlu. Trima kasih. Cukup arahnya saja" ucapku menunduk.
" Oke. Di depan kamu belok kiri. Terus aja sampai kamu ketemu gedung aula. Kamu belok kanan sedikit dan itu dia perpustakaannya. Bangunan besar warna putih. Jelas?"
" Iya. Jelas. Makasih. " Aku lalu berjalan namun ku dengar ia masih berkata
" Saya Jeff"
Aku tersenyum lalu menoleh padanya.
" Marissa" lalu kembali berjalan mengikuti arahannya tadi.
Entah mengapa aku tadi tersenyum padanya. Hal yang sangat jarang kulakukan pada orang lain. Dan sekarang aku merasa seperti orang bodoh.