bc

Sahabat Kok, Nikah?

book_age16+
3.0K
IKUTI
28.1K
BACA
drama
comedy
sweet
like
intro-logo
Uraian

Kania terpaksa menikah dengan sahabatnya sendiri. Azka. Atas permintaan sang ayah karena Radit, laki-laki yang seharusnya menjadi suaminya memilih pergi dengan wanita lain di hari pernikahannya.

Sementara Karin, adik Kania yang jatuh hati pada Azka, hanya bisa menyaksikan pernikahan sang kakak dengan hati yang terluka.

Persahabatan Kania dan Azka kini berubah menjadi permusuhan di antara keduanya setelah menjadi suami istri.

chap-preview
Pratinjau gratis
Pernikahan Impian
"Kenapa harus kamu yang menjadi suamiku?" Air mataku bercucuran setelah resmi menjadi istri dari Azka---sahabatku sendiri. Seharusnya hari ini adalah hari pernikahanku dengan Radit, lelaki yang sangat aku cintai. Dua bulan yang lalu, kami begitu semangat untuk mempersiapkan semua impian pernikahan ini, tetapi kini semua telah hancur. Apalagi yang bisa aku pertahankan? Hati ini pun telah hancur berkeping-keping. Radit---kekasih yang aku puja selama dua tahun, begitu tega mengkhianati janji setianya. *** "Maaf Kania," ucap Radit lirih. Aku hanya bisa menggenggam kedua tanganku dengan erat, bersandar di dinding agar badan ini tidak jatuh ke lantai. "Radit, aku mohon jangan lakukan ini padaku." Aku berusaha sekuat tenaga menahan tangan Radit, agar ia tidak pergi. "Aku harus pergi." Ia melepaskan tanganku begitu saja. Pergi tanpa permintaan maaf. Semua ini karena wanita itu, ia datang tanpa diundang dan mengatakan pada semua orang, bahwa ia tengah mengandung anak dari Radit. Sekarang aku kehilangan calon suamiku karena ia lebih memilih pergi dengan wanita itu dibandingkan diriku. *** "Aku hanya mengikuti apa keinginan orang tuamu, aku tidak bisa menolak. Situasinya terlalu rumit saat itu." Azka mencoba menjelaskan. Akan tetapi, aku tidak peduli. Bagiku ia hanyalah seorang sahabat tidak lebih. Apalagi adiku---Karin, telah lama mencintai Azka dan selama ini gadis manis itu selalu menceritakannya kepadaku. Jadi bagaimana bisa aku menjadi istri dari lelaki yang dicintai adikku sendiri? "Untuk apa Azka? seharusnya kamu menolak saja saat itu, serumit apa pun situasinya saat itu ... kamu tidak ada hak membuat keputusan untuk menikahiku!" seruku frustrasi. "Apa kamu seegois itu? Kamu tidak melihat bagaimana ibumu pingsan? Lihatlah ayahmu yang mencoba tetap tegar dan harus memohon padaku untuk menjadi suamimu. Adikmu menangis karena ibumu tidak kunjung sadar. Lalu aku ...? Apa menurutmu aku biarkan saja semua situasi itu hanya karena Radit yang meninggalkanmu? Apakah kamu seegois ini?" Azka menatapku dengan nanar lalu pergi begitu saja dari dalam kamar. Aku menatap diri sendiri di depan cermin, teringat pujian Radit, bahwa aku begitu cantik mengenakan kebaya putih dengan manik-manik keemasan ini. Namun, kenapa ia malah menghancurkan semuanya? Aku tidak mampu lagi menahan rasa sesak di d**a ini, menangis sepuas hati menjadi sebuah pilihan. Sampai tiba-tiba seseorang membuka pintu kamar dan mendekatiku. "Mba, waktunya ganti pakaian," ucap Karin datar. "Banyak tamu yang sudah menunggu di luar ingin bertemu dengan mempelai wanita," lanjutnya. Aku mencoba mencerna setiap perkataan Karin, tetapi tidak berani menatap wajahnya. Saat itu tiba-tiba saja ia mendekat dan langsung memelukku erat dan kami menangis bersama. Haruskah sepedih ini jalan hidupku? "Karin, Ibu bagaimana?" tanyaku lirih setelah kami lebih tenang. "Ibu, sudah sadar Mba, sekarang sedang menyambut tamu yang samakin ramai berdatangan." Karin melepaskan pelukannya, ia terlihat berusaha baik-baik saja. Aku tahu itu. Aku mengangguk mengerti, apa pun yang terjadi hari ini, aku tidak akan bisa menghentikan ataupun menghindarinya. *** Setelah Karin membuatku bersiap-siap, kami keluar bersama menuju halaman rumah yang disulap begitu indah menjadi sebuah pelmainan. Ah ... aku tahu acara ini akan berlangsung lama sampai jam sembilan malam nanti dan selama itu ... kami semua harus tersenyum penuh dengan kepalsuan. "Tatap matanya dan senyum. Oke, satu, dua, tiga." Fotografer memberi arahan, tidak jarang juga membenarkan pose kami yang terlalu kaku. Harusnya ini menjadi waktu paling bahagia antara aku dan Radit, tetapi sekarang Azkalah yang ada di sini menggantikannya. "Kania, fokus." Suara fotografer itu membuyarkan lamunanku. "Lebih merapat lagi, jangan malu-malu. Sekarang kalian telah resmi menjadi suami istri. Peluk pinggang Kania, Azka," titahnya "dan Kania rebahkan kepala di bahu Azka." Lagi-lagi kami harus mengikuti perintah dan arahan fotografer. "Aduh!" keluh Azka seraya mengangkat kakinya. "Maaf, maaf, aku gak sengaja," ucapku lirih. Azka hanya diam tanpa merespon perkataanku. Ia menoleh sebentar lalu duduk di kursi pelaminan ketika fotografer meminta kami beristirahat. "Bisa gak, kamu sedikit lebih hati-hati," bisiknya tepat di telingaku, setelah aku duduk di sampingnya. "Aku kan, gak sengaja," jawabku pelan. Namun, sepertinya para tamu mengartikan bisikan Azka di telingaku adalah ucapan cinta. Terlihat dari cara mereka memandang ke arah kami dengan senyuman penuh arti. "Hey, Bro selamat ya, selamat kania." Dika tampak terkejut karena melihat Azka sebagai pengantin mempelai pria. Aku dan Azka berdiri menyambut Dika. Berusaha untuk tersenyum setiap kali bersalaman dengan tamu yang hadir. "Makasih, Bro." Azka menyambut tangan Dika. "Buruan nyusul kami ya Kania, aku udah punya dua, kalian harus bisa balap kami." Dika tertawa renyah, sementara wanita di sampingnya tersenyum malu karena ucapannya. Dua anak Dika memang sangat imut dan manis. Tanpa sadar aku menghela napas. Mungkinkah ...? karena tidak mungkin aku akan mengandung dan melahirkan anak Azka. Bukankah aku dan Radit sudah berencana kita akan memiliki lima orang anak, tetapi kini laki-laki itu malah memilih pergi meninggalkanku demi wanita yang telah mengandung buah cintanya. Kania sungguh menyedihkan impian pernikahanmu ini! "Oke-oke, makasih," jawab Azka. Dika dan istrinya lalu turun dari pelaminan dan tamu undangan yang lain bergantian naik untuk bersalaman dengan kami. Mereka mengucapakan selamat dan doa untuk pernikahan ini. Andai kami memang pasangan bahagia hari ini, maka kami akan sepenuh hati mengaminkannya. *** Jam sembilan malam tamu mulai sepi, di luar masih ada beberapa kerabat dan orang tua Azka yang sedang mengobrol dengan orang tuaku. Sedangkan siang tadi orang tua Radit telah meminta maaf padaku dan orang tuaku sebelum mereka pulang. Maaf ...? Tidak semudah itu, Radit benar-benar telah menghancurkan hidupku. Bagaimana bisa dia pergi meninggalkanku di saat seharusnya ia mengucapkan ijab kabulnya? Semudah itu ia menghancurkan semua impian dan harapanku hanya karena wanita yang membawa benih cinta di dalam rahimnya, hidupku saat ini telah mati. Radit tega membunuhku untuk membuat hidup barunya dengan wanita lain. *** "Lepas, bajumu!" Azka tiba-tiba mengagetkanku dengan perkataannya. Aku segera menyilangkan tangan di atas d**a dengan kuat. "Kenapa?" Azka terlihat heran. "Jangan pikir karena aku sudah menjadi istrimu, aku mau melakukan hal itu denganmu." Aku mendelik menatapnya sedangkan ia hanya mengerenyitkan dahi saat mendengar itu. "Kamu ingin tidur mengenakan pakaian pengantin itu, ya silahkan saja. Aku mengantuk dan lelah. Aku ingin tidur!" Azka segera berbaring di tempat tidur dan membelakangiku. "Keterlaluan!" Dengkusku kesal. Aku mencoba melepaskan gaun pengantin sambari sesekali melihat ke arah Azka. Takut saja jika ia tiba-tiba melihat ke arahku lalu berbuat macam-macam. Saat gaun hampir terlepas, Azka dengan tiba-tiba membalikan tubuhnya, membuatku terkejut lalu terjatuh karena menginjak ujung gaunku sendiri. Aku yang tertelungkup di lantai menahan nyeri di tangan, hanya bisa menengadah melihat sahabatku itu memandangi dari atas tempat tidur. "Kenapa?" tanyanya datar. "Kamu gak lihat aku jatuh?!" jawabku ketus. "Sini aku bantu." Azka turun dari tempat tidur, berdiri di hadapanku dan mengulurkan tangannya. "Gak usah sok perhatian!" tolakku. Azka kembali ke atas tempat tidur dan berbaring di sana dengan nyaman sembari memunggungiku. Menyebalkan! Tidak ada sedikit pun sifat empati terhadap wanita. Dia kan, bisa memaksa untuk menolongku. Malam semakin larut, setelah selesai memakai baju tidur aku mencoba memejamkan kedua mata, tetapi tidak sanggup rasanya. Ketika mata mulai terpejam kejadian akad siang tadi seolah tampak dengan jelas. Kususun guling di tengah tempat tidur untuk pembatas antara kami. Setidaknya hatiku masih memiliki belas kasihan jika harus menyuruhnya tidur di lantai. Azka juga pasti lelah setelah semua kejadian hari ini. Aku menatap langit-langit kamar, air mata ini terus saja mengalir, Radit dan Radit kepala ini rasanya ingin pecah karena terus saja mengingatnya. Dua tahun bersama tidak ada arti apa-apa untuknya, aku hanya debu yang tertiup angin, tidak berharga sama sekali. Jika saja aku tidak mengingat Ayah dan Ibu, rasanya aku ingin mati saja. Untuk apa bertahan hidup? Jika harus mengenang luka ini sepanjang usia. Saat aku hendak memejamkan mata, Azka tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya. Bersambung.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
198.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook