Putus! Kapan Jadian?

1251 Kata
Pagi ini setelah salat Subuh dan mandi, aku memilih duduk di kursi ruang tengah, membuka lembar demi lembar sebuah buku yang telah lama terbeli. Namun, baru sempat membacanya hari ini. "Kania siapkan sarapan suamimu dulu." Suara Ibu membuatku menoleh ke arah dapur. "Kania sibuk Bu, mau berangkat kuliah." "Azka juga harus kuliah Kania, tapi saat ini kamu kan, istrinya, jadi ini sudah tanggung jawab kamu sebagai seorang istri." Aku menghela napas saat mendengar ucapan Ibu. Seakan-akan tertampar oleh kenyataan jika saat ini Azkalah suamiku, tentu saja ia masih kuliah dan bahkan belum bekerja. Namun, sudah berani mengambil keputusan untuk menikahiku. Lain halnya jika Radit yang menjadi suamiku, laki-laki mapan yang telah bekerja di perusahaan terkenal. Gajinya saja lebih dari cukup untuk memberi nafkah setiap bulannya. "Kania!" seru Ibu lagi. Aku bergegas menuju dapur, berdiri di ambang pintu, memperhatikan Ibu yang sedang membuat secangkir teh dan menyiapkan sarapan pagi. "Ini roti dan teh berikan pada suamimu dulu," titahnya sambil menyodorkan nampan kecil padaku. Aku menerima nampan kecil dari Ibu, meninggalkan dapur dan menuju ke kamar. "Nih, sarapan." Aku letakan nampan itu di atas meja dekat tempat tidur. "Terima kasih istriku," ucapnya seraya menyisir rambut di depan cermin. Kata-kata Azka membuatku terkejut. Kupasang muka jutek agar ia paham bahwa aku tidak suka mendengar ucapannya itu. "Kenapa?" tanyanya sambil mengangkat alis. "Ingat ya Azka, kita memang sahabat. Aku tahu kamu mau menolongku kemarin, tapi aku gak pernah setuju dengan apa yang kamu lakukan ini. Ini adalah kemauan ayahku dan kamu, bukan aku. Ingat itu!" seruku tegas. "Ya, ya, ya, terserah kamu." Azka lalu duduk di tepi tempat tidur, meraih cangkir dari meja dan meminum teh hangat yang Ibu buat. "Aku mau berangkat sekarang." "Mau kemana?" tanyanya heran seraya meletakan kembali cangkir di meja. "Mau ke kampus, kemana lagi?" jawabku cuek sambil memasukkan beberapa buku ke tas. "Yakin siap ke kampus?" tanyanya. "Siap juga hadapi anak-anak, aku yakin berita kemarin pasti sudah menyebar di kampus." Ucapan Azka seakan-akan ingin menunjukkan, bahwa aku tidak akan mampu menghadapi kenyataan ini. "Aku gak pe-du-li!" cetusku dan pergi begitu saja dari kamar. Bagaimana aku bisa menjalani hubungan seperti ini bersama Azka? Laki-laki itu bahkan sedikit pun tidak peduli kepadaku. Bukankah seharusnya dia berusaha mencegahku pergi ke kampus hari ini? Namun, ia tidak melakukan hal itu dan hanya bicara omong kosong. Sementara jika aku tetap berada di rumah, melihat Ayah dan Ibu yang berusaha agar tampak baik-baik saja saat melihatku. Itu hanya membuat hati ini semakin terluka. *** Tiba di kampus para mahasiswa yang mengenalku memandang dengan tatapan aneh, jujur aku sangat risih melihat tatapan mereka seperti itu. Apakah aku yang salah dalam keadaan ini? Seseorang menepuk bahuku, aku yang terkejut segera menoleh ke belakang. Gadis dengan jilbab bewarna hitam itu tersenyum lalu berjalan di sampingku "Kenpa gak libur aja?" tanyanya. Aku tidak menjawab pertanyaannya dan sibuk menundukkan wajah. "Udahlah, cuek saja. Apa juga peduli kita pada mereka. Seiring waktu semua juga akan kembali normal," ucapnya ketika melihat sikapku. Aku berusaha mengabaikan tatapan mereka yang terus memandang ke arahku dan berbisik satu sama lain. "Oh, iya, Azka mana?" tanya Fitri sambil melihat ke sekeliling. Aku mengangkat bahu. "Oh, Tuhah, apa kalian bertengkar? Kalian bahkan baru menikah kemarin," ucapnya mendramatisir. "Kania, Azka saat ini telah menjadi suamimu, harusnya kamu tahu dia ada di mana saat ini." Aku menghentikan langkahku. "Suami ...? Fitri, aku gak pernah meminta dia buat nikahain aku, dia memang sahabat kita, tapi aku jadi kesal karena dia sok menjadi pahlawan buatku." "Kania, kamu sadar gak sih, situasi kemarin seperti apa? Seharusnya kamu bersyukur Azka mau menolong kamu, kalau nggak, aku gak tahu gimana saat ini keadaan orang tua kamu." Kata-kata Fitri menusuk hatiku. Sakit. Akan tetapi, apa ia paham aku lebih sakit karena semua ini? Fitri berjalan lebih dulu ke kelas, aku mengikutinya dari belakang dan seperti biasa aku memilih untuk duduk di samping jendela kaca. Aku mencoba membaca buku, tetapi yang terlihat di buku itu hanya wajah Radit yang tengah tertawa bahagia. "Selamat ya Kania, akhirnya kamu jadi nikah." Aku mendongak melihat siapa pemilik suara itu. "Tapi sayang mempelai prianya kabur bersama wanita lain," lanjutnya lagi sambil menutup buku yang sedang aku baca. Nina dan dua temannya yang sok cantik itu tekekeh kecil. Senang sekali mengejekku. Aku berusaha mengabaikan mereka dan membuka bukuku lagi. Namun, Nina terlihat tidak puas karena aku tidak menanggapinya. "Kasihan, ya, baru mau nikah ternyata calon suaminya sadar bahwa pilihannya tidak tepat. Itu mengapa ia memilih melarikan diri dengan wanita lain," ledeknya lagi dan mengambil paksa buku dariku. Aku menatap tajam ke arah Nina dan dua dayang-dayangnya itu. Apakah rasa sakit orang lain adalah lelucon baginya? "Perkenalkan aku suami Kania, jadi ucapkan saja selamat padaku!" Suara itu sukses membuatku melihat ke arah pintu. Azka berdiri di ambang pintu dengan style keren seperti biasanya, kedua tangan ia masukkan ke saku celana sambil menggendong tas punggungnya. Untuk beberapa saat mata kami saling beradu, ia lalu tersenyum sembari mengedipkan mata. Aku segera memalingkan wajah ke arah Fitri. "Azka ...!" teriak Nina. Nina memicingkan mata dan menghentakkan kakinya dengan kesal. "Kenapa Nina? Apakah kamu gak mau ucapkan selamat untukku? Saat ini aku telah resmi menikah dengan Kania," ujaranya sembari mendekat ke arah kami. Azka berdiri di hadapan Nina, melipat tangan di d**a sambil tersenyum. Membuat gadis berambut panjang itu mundur beberapa langkah ke belakang. "Enggak! Enggak mungkin. Kamu pasti cuma mau bikin aku cemburukan Azka," ucapnya seperti biasa penuh dengan rasa percaya diri. Selama ini Nina tidak pernah menyerah untuk mengejar cinta Azka dan menganggap laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya itu juga mencintai dirinya. Konyol sekali dia. "Aku gak bohong Nina, cek i********: kamu sekarang, pasti teman-teman yang hadir di acara pernikahanku kemarin sudah memposting foto pernikahan kami." Azka menantang Nina. Teman Nina yang tingginya seperti Cinta Laura itu dengan cepat membuka ponsel dan menunjukkan pada Nina. Wajah Nina berubah menyeramkan seketika. Matanya mendelik saat menatap layar ponsel. Plaaak! Tamparan keras mendarat di pipi kiri Azka, membuatnya meringis menahan sakit sembari mengelus pipi. "Kamu jahat Azka, mulai saat ini kita putus!" serunya. Putus ...? Kapan jadiannya? Aku dan Fitri saling pandang. Pasalnya bagaimana tiba-tiba mereka bisa putus jika jadian saja tidak pernah terjadi. Gadis itu sepertinya banyak berhalusinasi karena selama ini terlalu menyukai Azka. "Sakit gak?" Fitri bertanya pada Azka. Laki-laki berkaos putih itu lalu menarik kursi di depanku dan duduk. "Lumayan," jawabnya sambil memandangku. Aku memandang ke arah jendela kaca seolah-olah tidak melihat bahwa Azka tengah memandangku saat ini. "Pulang nanti mau kemana?" tanya Azka padaku tiba-tiba. "Ke rumah," jawabku cuek. Azka sepertinya mengerti bahwa saat ini aku sedang marah padanya. Ia lalu memutuskan untuk bangkit dari kursinya dan pindah ke belakang. Siapa juga yang meminta dia sok menjadi pahlawan, akhirnya kena tampar 'kan. Sudah tahu Nina cewek aneh yang terlalu percaya diri di kampus ini masih saja diladenin. Apakah tidak cukup sok menjadi pahlawan di hadapan orang tuaku saja? *** "Kania, kamu pulang bareng aku kan?" Azka mengikuti langkahku sampai ke parkiran motor. "Lihat gak nih aku bawa motor sendiri!" jawabku ketus. Semakin Azka mendekat maka semakin membuatku mengingat semua kejadian kemarin. Aku memasang helm dan menyalakan mesin motor. Tanpa peduli apa ekspresi wajah Azka saat ini, aku segera melaju meninggalkan tempat parkir. Aku harus bertemu Radit hari ini untuk meminta penjelasan padanya. Walaupun orang lain akan menganggapku tidak waras karena masih berusaha mencari laki-laki itu, aku tidak peduli. Aku mau tahu kenapa dia tega menghancurkan impian pernikahan kami? Sejak kapan ia mengkhianatiku? Kenapa ia begitu tega melakukan semua ini? Aku mau tahu semua itu, agar aku bisa memulai hidup tanpa bayang-bayangnya lagi. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN