Aku menekan bel rumah orang tua Radit berkali-kali karena tidak ada yang membukanya. Saat aku hendak melangkah pergi tiba-tiba saja pintu itu terbuka.
"Nona Kania, ada apa, Non?" tanya asisten rumah tangga yang tampak heran melihatku.
"Raditnya mana, Bi?" tanyaku sambil berusaha melihat ke dalam rumah.
"Den Radit, dari kemarin gak pulang non," jawabnya tanpa ragu.
"Gak pulang?"
Aku heran, apa mungkin Radit kawin lari dengan wanita itu? Rasa benci dan marah lagi-lagi menyelinap ke dalam hati. Air mata ini ingin meluncur begitu saja. Namun, aku harus kuat untuk menahan semua derita yang Radit tinggalkan.
Harusnya aku mengutuk Radit saat ini, agar karma datang menghampirinya dan menyiksanya sampai ia mati.
"Kalau Bapak sama Ibu, ada gak, Bi?" tanyaku lagi.
"Ibu ada di rumah saudaranya, Non. Baru berangkat tadi pagi, kelihatannya Ibu stres, makanya Bapak menyuruh Ibu buat menginap beberapa hari di kampung saudaranya. Sementara Bapak, ada di kantor, Non." Penjelasan asisten rumah tangga itu, membuatku tidak begitu puas.
Lalu di mana Radit? Apa dia menghilang di telan bumi atau ia tengah menikmati masa indah bersama wanita yang tidak tahu malu itu. Pupus sudah harapanku hari ini untuk bertemu dengannya.
Aku memacu motor hingga membawaku berhenti tepat di depan toko buku, di mana dulu aku dan Radit senang menghabiskan waktu bersama untuk mencari buku yang kami inginkan.
Aku tahu tidak akan mudah untuk lepas dari bayangan Radit, walau hati ini terluka, tetapi aku tidak bisa menghapus ia dari hati ini begitu saja.
Langkah membawaku masuk ke toko buku itu, entah mengapa aku membeli buku yang sebenarnya tidak kuinginkan?
Aku memutuskan untuk pulang karena jam tanganku menunjukan pukul 17:05 WITA.
***
Sesampainya di halaman rumah, aku melihat Azka tengah duduk di teras sembari menatapku tajam.
"Dari mana?" Azka berdiri dari kursi saat aku tiba di teras.
"Bukan urusanmu!" kataku dan meninggalkannya yang masih berdiri menatapku.
Azka masuk ke kamar saat aku tengah meletakan buku-buku yang tadi aku beli di atas meja. Ia lalu berjalan mendekat ke arahku.
"Kania, kamu dari mana?!" Nadanya kali ini lebih sedikit keras.
"Sudah aku jawabkan, bukan urusanmu!" Aku tak kalah keras menjawab pertanyaan Azka.
"Bukan urusanku?"
"Iya, bukan urusanmu. Lagi pula aku tak pernah meminta kamu masuk dalam hidupku." Aku berdiri di hadapan Azka, sambil memandang kedua matanya tajam.
"Aku masuk dalam hidupmu, memang bukan kamu yang meminta, tapi ayahmu yang meminta hal itu padaku."
"Kalau begitu, urusin aja urusan ayahku!" Aku terduduk di tepi tempat tidur, aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa menghadapi semua ini, bahkan jika aku mati pun aku akan tetap terluka.
"Bisakah kamu tidak perduli padaku, bersikap saja seperti biasa dan jangan coba urusin urusanku," lanjutku lagi.
Azka mulai mendekat ke arahku dan menekuk lututnya hingga membuat tinggi kepala kami sejajar saat ini.
"Kania, bisakah kamu juga mengerti saat ini aku adalah suamimu." Azka meraih kedua tanganku dan mengegamanya.
"Lepasin!" ucapku, aku tidak suka Azka menyentuhku.
Azka melepaskan tanganku perlahan dan mulai berbicara dengan lembut.
"Kania pahamilah kalau hubungan kita sekarang sudah tak lagi sama seperti dulu, saat ini aku adalah suamimu. Jika terjadi apa-apa padamu itu adalah tanggung jawabku, jika kamu merasa tertekan akulah tempat pelampiasan amarahmu, dan aku jugalah tempat bersandarmu saat ini Kania." Azka meraih bahuku dan mencoba memelukku, tapi aku meronta agar dapat lepas dari pelukan Azka, "aku adalah sahabatmu, bukan musuhmu. Maka berbagilah denganku," bisiknya di telingaku.
Aku hanya bisa menangis saat ini bahkan tanganku tak lagi berdaya untuk melawan pelukan dari Azka, aku hanya ingin menangis saat ini, berbagi luka yang tengah aku alami. Aku pasrah menenggelamkan wajahku pada d**a bidang Azka.
"Aku tahu Kania, ini berat untuk kamu. Tapi aku berjanji kita akan hadapi ini bersama." Azka berbisik lembut di telingaku, ada apa denganku? Antara perasaan iba atau perasaan yang lain akupun tak mengerti. Hanya saja aku selalu melemah saat Azka ada di dekatku. Aku menangis, menumpahkan rasa kecewa di hati yang coba aku tahan seorang diri.
"Kenapa Azka? Kenapa Radit begitu? Apa kesalahanku sampai dia melakukan semua ini padaku?" Aku melepaskan diri dari pelukan Azka, dan terduduk lemah di lantai, Azka juga jadi berjongkok di hadapanku saat ini.
"Ini bukan salahmu Kania, Raditlah yang bersalah, dia yang meninggalkanmu demi wanita lain, dan itu bukan salahmu." Perkataan Azka hanya membuatku merasa menjadi wanita yang harus dikasihani.
"Aku hampir ingin mengakhiri hidupku hari ini, karena aku sadar aku gak bisa kehilangan Radit. Dua tahun aku dan dia telah bersama, tapi kenapa dia begitu tega padaku? Kenapa di saat aku dan dia akan diikat dalam pernikahan, dia memilih pergi dengan wanita lain? Lalu aku dianggap apa? Apa aku tak berharga sedikit pun untuknya?"
Bisakah Azka mengerti dan memahami rasa sakit yang kini tengah aku rasakan.
"Kania, lupakan Radit. Anggaplah dia hanya bagian masa lalumu."
"Aku gak bisa Azka, aku terlalu mencintai Radit." Aku tahu aku tidak akan bisa melakukan hal itu.
"Kania, ingatlah hidupmu jauh lebih berharga, lupakanlah Radit." Azka mencoba menasehatiku.
"Aku gak bisa!" Kugelengkan kepalaku berkali-kali.
"Kania, kamu bisa! Hanya saja kamu yang gak mau melupakan dia!" seru Azka padaku, mungkin ia tak tahan dengan sikapku ini.
"Kamu gak pernah tahu rasanya mencintai, dan kamu pikir semudah it--"
Tak tahu kenapa Azka melakukan ini. Kini Azka mencium bibirku. Azka menatap bola mataku yang mungkin sekarang terlihat membulat sempurna karena terkejut, tetapi aku juga tak menolak ataupun berusaha mendorong Azka. Ada perasaan hangat dan tenang menjalar ke dalam hatiku saat ia menciumku.
"Mba ...." Karin membuka pintu kamar dan melihat adegan kami saat ini. Ku lihat Karin langsung menutup rapat pintu kamar dan berkata, "Ibu menyuruh kakak dan mba Kania makan, dan maaf Karin gak sengaja mengganggu."
Langkah kaki Karin terdengar semakin menjauh dari pintu kamar.
Apa ini? Kenapa Karin harus melihat ini? Karin pasti berpikir aku mulai mencintai Azka. Aku berdiri cepat, membuka pintu kamar dan melangkahkan kakiku menuju ke kamar Karin.
Kania, ayo makan dulu!" pinta Ibu saat melihatku berjalan melewati ruang makan.
"Nanti bu, biar Azka dulu saja." Aku menuju kamar Karin sementara Azka kini sudah duduk di kursi ruang makan bersama Ibu.
Kubuka perlahan pintu kamar adik kesayanganku itu. Karin tengah menatap ke luar jendela kamar, ia terlalu fokus sehingga tak menyadari ke beradaanku di kamarnya saat ini.
"Karin." Aku melangkah mendekati Karin.
"Karin, kamu sedang apa?" Aku bertanya lagi pada Karin, tetapi adikku itu tiba-tiba saja terjatuh pingsan ke lantai.
Bersambung.