“Kenapa Ka Ririe janjin bapak mau menikah dengan Juargan Doso! Apa kaka sudah nggak waras!” seru Ane di dalam kamar.
Riana diam menundukan pandanganya dengan kedua tangannya yang memeluk kedua lututnya.
Riana tidak punya pilihan selam menyutuji permintaan bapaknya untuk menikah dengan Juragan Doso dari pada harus melihat Bulek Tatik dan adiknya itu kesakitan karena dirinya.
Untuk menolongnya saja, Riana hampir mencelakakan kedua wanita itu sementra ibu kandungnya sendiri sama sekali nggak mau menolongnya. Dia hanya diam di bersembunyi di belakang pepohonan.
Sungguh miris sekali hidup Riana kali ini, dan kejadian tadi beruntung ada Diman putra tunggal Bulek yang langsung menopang tubuh gempalnya, kalau sampai buleknya jatuh ke tanah kering yang tingginya dua meter itu, penyesalan Riana semakin menjadi.
Apa lagi kejadian malam tadi malah membuat Dimas harus berkelahi dengan bapaknya. Miris sekali.
“Ka… jangan diam saja dong…” bujuk Ane.
“Kaka nggak punya pilihan lain,” jawab Riana seraya menghela napas panjang lalu menghembuskan pelan. Riana pasrah.
“Kenapa kaka nggak pinjam uang saja sama bos kaka. Pasti bos kaka mau menolong kaka.”
Meski benar begitu, tapi Riana nggak mau. Melanie di sana tengah depresi berat atas kepergian Revano, boro-boro Riana mau cerita masalahnya orangnya saja udah kaya mayat hidup.
Riana nggak mau menyusuhkan bosnya itu.
“Ka…” panggil Ane seraya menggoyangkan tubuh kakanya itu agar mau bicara dan mencari cara agar perjodohan ini batal.
“Bos kaka lagi ada masalah An. Dia baru saja dapat musibah, suaminya pergi begitu saja dan sampai sekarang ini belum ketemu di mana suaminya berada.
"Bos kaka itu lagi depresi berat. Bos kaka itu udah kaya mayat hidup gimana kaka ngomongnya?”
Akhrinya Riana bercerita pada adiknya itu mengenai kondisi Melanie sekarang ini, jauh menyedihkan dari pada dirinya.
Ane langsung ikut diam duduk di samping kaka nya yang menatap langit malam.
“Ane nggak rela kalau kaka sampai menikah dengan Juragan Doso. Sumpahnya, Ane nggak rela. Jadi istri keempat dari pria yang usianya udah enam puluh lima tahun lebih tua dari kakanya empat puluh tahun itu. Mana lagi wajahnya—”
Ane menjeda kalimatnya sejenak untuk menarik napas yang sesak ini.
“Sudah item, gendut, perutnya buncit. Ya kalau, kaya sugar daddy versi internasional sih oke-oke saja. Ini kan—”
Lagi lagi Ane membuang napas berat, hanya membayangkan tubuh kakanya di bawah Juragan Doso, kaka tua yang memiliki sepuluh cucu itu membuat Ane bergeridik ngeri. Apa lagi nanti bila semua itu kenyataanya.
Husssh… hussshhh… jangan sampai jadi.
Amit-amit, Ane yang sebagai adiknya saja nggak rela melihat kaka nya di sentuh-sentuh kaya gitu.
Riana langsung menaikan wajahnya saat suara cerewet adiknya menghilang. Riana mendengus kesal karena sang adik menyebalkan itu selalu membayangkan hal yang tidak-tidak.
“Ck! Apa kamu membayangkan kaka mu ini berada di bawah aki aki tua itu?” seru Riana.
Ane berikan cengiran lalu mengangguk pelan. Entah kenapa imajinasinya begitu saja kuat membayangkan hal kaya gituan sekalipun Ane ngeri sendiri.
“Sudah nggak usah di bayangkan, kenapa sih. Kurang kerjaan apa?”
“Ihh, galak banget sih ka!”
Riana mendengus pelan lalu pandangi langit hitam di mana di atas sana tak nampak satu bintang pun.
“Kaka harus kemana untuk mencari uang segituh banyaknya? Apa iya kaka harus merampok bank? Atau pergi ke dukun buat memenita kesugiahan?” kata Riana lirih namun di dengar oleh Ane.
“Gadein rumah butut bapak nggak akan laku dan juga nggak ada akte tanah mana laku!” sambungnya.
Mata bulat Ane semakin membulat lebar-lebar seolah ia menemukan solusi terbaik untuk kakanya itu.
“Ahhah… aku punya solusi terbaik untuk kaka,” kata Ane penuh semangat.
“Apaan?”
“Bagaimana kalau kaka jadi simpanan pria kaya raya atau Om Om gitu?”
Mata Riana melebar menatap tajam pada adiknya.
“Di sini itu banyak ka yang cari buat jadi simpanan. Lagi musim juga bukan ka?” saran Ane.
“Ck! Itu bukan solusi tapi malah nambah masalah. Kaka nggak mau jadi pelakor!” seru Riana.
“SOLUSI KAMU ITU GILA! Kaka nggak mau!” tolak Riana.
Ane mendengus pelan menatap kaka nya yang terlihat marah. Ane belum selesai ngomongnya tadi kaka nya sudah marah duluan. Huuuhh memang susah ngomong sama perawan tua.
“Dengerin Ane cerita ka, baru kaka baru coment. Belum juga selesai,” keluh Ane.
Riana membuang napas berat.
“Lagian kamu itu cari solusi nggak bener. Kaka nggak mau. Apa-apan nyaranin kaka mu ini jadi pelakor. Ogah! Jadi pelakor itu hidupnya nggak tenang tau! Seumur hidup jauh-jauh deh dari wanita nggak bener!”
Riana menjeda sejenak lalu menarik napas sedangkan Ane mengusap dadda pelan harus bisa sabar menghadapi kaka nya itu. Susah rasanya menghadapi kaka nya yang keras kepala.
“Kaka masih waras, nggak mau cari masalah!”
“Ih, pengen Ane sentil deh ginjal kaka biar kaka nggak terus nyercocos ngomong terus. Ane itu belum selesai ngomongnya. Terus Ane mau jelasin gimana kalau kaka ngomong terus!” protes Ane.
Riana terkesiap kaget. Apa tadi adiknya bilang?
Mau sentil ginjalnya?
Lagi lagi Riana menggeleng tak menyangka adiknya sama kejamnya. Riana menatap cembuerut pada Ane.
“Apah!” seru Riana meminta Ane untuk menjelaskan mengenai solusi terbaiknya.
Ane berdehem sejenak untuk menteralkan Susana yang semakin panas.
“Nggak semua pria di sini punya pasangan ka. Ada juga di sini yang berstatus duda tapi umurnya di atas kaka sedikit bahkan setengah dari kaka…”
Riana langsung menganga, Ane langsung membekap mulut kaka nya agar perkataanya tidak selalu di potong-potong.
“Emang kebanyakan Om Om di sini punya ciri khas tersendiri punya perut besar dan bisanya orang-orang sini panggilnya ‘g***n’ karena secara wajah mereka local.
"Tapi yang aku mau sampain itu. Aku mau bantuin kaka carin pria kaya bukan Om-Om yang berperut buncit yah ka. Tapi ini versi import ‘Sugar Daddy’ pria bule. Ganteng pokoknya,” kata Ane menjelaskan. Tapi ini Ane belum selesai menjelaskannya.
Riana terkesiap kaget, matanya mendelik saat mendengarkan penjelaan adiknya.
Tunggu… tunggu… apa Riana nggak salah dengar kalau adiknya mau cariin ia ‘Sugar Daddy’
Riana menatap adiknya yang begitu luwes menjelaskan maksud dari solusi terbaiknya itu. Ia sempat berpikir kalau adiknya itu gadis yang polos yang lugu. Tapi ternyata Ane tidak sepolos dan lugu yang Riana pikir.
Gadis yang beranjak umur enam belas tahu itu begitu lengkap menjelaskan maksudnya membuat Riana berasumsi kalau adiknya itu lebih luas pergaulannya sampai tahu ‘g***n’ dan ‘Sugar Dady’ versi Ane sendiri.
Sumpahnya, Riana kalah sama bocah ingusan yang kelas 3 Sma itu. Adiknya akan mengenalkan pria Bule kaya raya yang tadi Ane katakan ‘Sugar Daddy’ yang berstatus duren.
Sumpahnya Riana bosan melihat bule-bule bertebaran di negeri singa.
Empat tahun Riana tinggal di sana, apa adiknya nggak berpikir kalau kaka nya itu bosen ngelihatin kulit putih mulus bule?
Riana menatap curiga, adiknya itu masih menjelaskan maksud dari solusinya itu. Dari segi adiknya bicara, Riana tahu kalau adiknya itu tak sepolos yang Riana pikir. Bocah enam belas tahun itu dunia seperti itu.
“Mau nggak?”
“Aku cariin yang duda single ini bukan yang punya istri? Di jamin kaka nggak akan kecewa,” bujuk Ane.
“Wait…”
“Apa lagi?”
“Jangan bilang sama kaka kalau kamu sudah jebol?”
Ane terkesiap kaget.
“E-enggak ka…”
Riana mendengus pelan, menatap sedih pada adiknya bila hal itu terjadi.
“Kamu nggak mungkin sampai tahu sedetail itu mengenal ‘Sugar Daddy’ kalau kamu bukan ‘Sugar Baby’ nya. Ngaku lho!” tekan Riana pada Ane.
“Ka… aku…”
“Ngaku Ane!”
“Hmm…”
Ane memandangi sekiling kamarnya yang sempit.
“Aneeee…” teriak Riana, habis kesabaran untuk membuat adiknya buka mulut.
Riana tau dari bungkamnya adiknya itu, ia memukul pelan tubuh adiknya dengan tangan sampai Ane mengadu sakit. Air mata Riana kembali berderai membuat seseorang langsung mengetuk pintu lalu masuk secara mendadak.
“Apaa-apaan ini Rie?” seru Dimas.
"Ka Dimas kita baik-baik saja. Ka Dimas keluar saja," pinta Ane.
Bahaya kalau Dimas sampai tahu semua ini, Ane masih ingin melihat dunia. Ane nggak mau di gantung sama Dimas yang sudah kaya kakanya sendiri.
"Beneran nggak apa-apah? Itu kakamu menangis?"
Ane langsung menarik tangan Dimas untuk lekas pergi dari kamanya, Ane ingin berduaan untuk menjelaskan semuanya pada kaka nya.
'Duh gara-gara ini bibir,' keluh Ane dalam hati.
"Ya sudah kalau begitu. Ka Ririe jangan di ajak ngobrol terus An, sudah malem kalian tidur saja."
Ane mengangguk secepat kilat lalu mendorong Dimas agar cepat keluar sebelum kaka nya kembali mengamuk.
"Goodnight ka... bye..."
Ane buru-buru menutup pintu dan menguncinya.
Ia hampiri kaka nya dan duduk di samping Riana.
"Ka..."
"GILA KAMU ANE!"
Ane menghela napas pelan.
"Kaka belum dengerin penjelasanku sudah main marah-marah."
Riana mengusap air matanya lalu duduk tegak untuk mendengarkan penjelasan adiknya itu.
"Jelaskan semuanya Ane."
"Ya..."
"A-aku... sebenarnya..."
"SINTING!"