“Dasar bocah gemblung!”
“Kaka kecewa!”
“Kamu bener-bener gila, Ane!”
Luapan kekecewaan Riana tak henti keluar dari bibirnya. Mata Riana sudah bengkak karena seharian ini menangis belum lagi kedua tangannya tak henti memukuli tubuh adiknya.
Riana kejam. Tapi tepatnya bukan kejam, Riana memukul Ane tidak sampai gadis itu sampai berderah-darah.
Riana hanya memakai kedua tangannya dan itu itu tidak keras, tapi cukup membuat adiknya meringis sama sekali tidak protes. Ane diam pasrah seolah sudah menyiapkan semuanya.
Entah sejaka kapan tangan kecil Riana tak berhenti memukuli tubuh adiknya, lebih pastinya setelah Ane tidak bisa menjawab pertanyaan darinya. Ane masih bungkam sekalipun Riana mengatakan kalau adiknya itu sudah tidak perawan lagi.
Ane memang belum mengaku dan juga Riana belum mendengarkan penjelasaan langsung dari Ane.
Tapi dari ekspresi wajah Ane yang seperti ini, pasrah, tak berani menatap Riana dan terus menunduk membuat Riana semakin yakin kalau Ane memang sudah menyerahkan kesuciannya pada pria tua.
“Jujur kaka kecewa Ane. Kecewa!” seru Riana keras.
“Ane minta maaf ka,” kata Ane lirih, tanpa mengangkat wajahnya.
Riana menarik napas dalam-dalam setelah tangannya berhenti memukul tubuh adiknya.
Dadanya masih bergemuruh bersatu dengan rasa kecewa, menyesal karena selama ini Riana tidak ada komunikasi dengan adiknya dan juga malu yang bercampur menjadi amarah Riana pada adik satu-satunya.
Hening…
Riana tidak bersuara dan kedua tangangnya masih mengepal erat saking tidak bisa menahan amarahnya semenatara Ane ikut diam menunggu sang kaka mereda baru ia menjelaskan alasannya.
“Ane minta maaf ka…”
Ane masih takut-takut untuk mengangkat kepalanya untuk menatap Riana, Ane tahu Riana kecewa padanya.
Ane meraih tangan sang kaka yang mengepal erat. Jangan di tanya sejak tadi diamnya Riana itu, dia masih menangis. Air mata kaka nya masih berjatuhan.
“Ane salah ka…”
“Ane tahu kaka kecewa sama Ane—” kata-kata Ane menggantung.
Ia menarik napas sejenak untuk menjelaskan semuannya pada Riana.
“Ane memang sudah nggak perawan lagi dan Ane benar. Ane Sugar Babby.”
Tangan Riana mengerat bahkan mencengkeram tangan kecil yang mengenggamnya. Sorot mata Riana semakin tajam seolah hendak menguliti hidup-hidup adiknya.
Ane yang sudah terlanjut menatap kaka nya pun memberanikan diri untuk menatap kaka nya sekalipun Ane tahu kakanya marah dan entah apa lagi yang akan di lakukan kaka nya padanya.
“Ane nggak punya pilihan ka!”
Riana menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan, ia masih menjaga kewarasaanya jangan sampai kelewat marah Riana bisa-bisa membunuh adiknya sendiri saking kecewa dan marahnya.
Adiknya sudah tidak perawan dan dia menjadi Sugar Babby alis simpanan Om-Om.
Mau Riana tidak percaya, tapi Adiknya sudah mengakuinya sendiri. Ane sudah jujur padanya.
“Ane waktu itu bingung ka. Bulek Tati tenyata sakit jantung ka dan itu sudah cukup lama sekali.
"Ane nggak punya pilihan saat Mas Dimas kesulitan harus mencari biaya oprasi pemasangan ring jantung ka. Ane merasa nggak berguna dan bahkan selama tiga tahun di sini Ane banyak nyusahin Bulek Tatik.”
Ane menjada ceritanya. Riana masih diam mendengarkan cerita adiknya sekalipun Riana syok mendengarkan kalau Buleknya itu sakit jantung.
“Di saat Bulek Tatik lagi di rawat dan menunggu uang buat oprasi, Bulek yang sakit pun masih memikirkan nasib Ane ka. Uang semester Ane sudah lama nunggak, bahkan uang karyawisata Ane ke Jogja pun belum di bayar sama sekali.
"Bulek masih memikirkan hal itu, sampai Bulek berpesan sama Mas Dimas tetap jaga Ane dan jangan sampai tahu kalau mereka selama ini lagi kesulitan keuangaan.”
Saat itu Ane nggak sengaja menguping pembicaraan Bulek Tatik dengan putranya. Mereka selama ini diam dan tidak memberitahu Ane kalau Bulek sakit keras.
Riana merasa tertampar dengan kebaikan Bulek Tatik dan juga Dimas putra. Mereka yang bukan sedarah saja masih bisa memikirkan nasib adiknya yang ikut tinggal dengannya.
Hanya keponakan, tapi Bulek Tatik seolah menganggap Ane adalah putrinya sendiri, benar-benar bertanggung jawab sekalipun mereka dalam kesusahan, sedangkan Bapak dan Ibunya?
Riana menarik napas pelan jawabannya, ENTAH.
Mereka kedua orang tua Riana dan Ane, tapi mereka seperti orang lain yang tidak peduli dengan keadaan dua putrinya itu.
Kedua orang tuannya sama sekali tidak bertanggung jawab, yang membuat Riana kesal di sini kenapa Buleknya dan Dimas tidak menghubunginya untuk membicarakan masalah ini, masalah Ane. Bahkan kesulitan apapun mereka diam dan mencari solusinya sendiri.
Riana lagi lagi menarik napas panjang, ia marah dan bahkan benci pada bapak dan ibunya yang selama ini menerima uang hasil keringatnya dan ada sebagain uang untuk sekolah adiknya yang selama empat tahun ini tidak sampai pada adiknya sendiri.
Uang untuk biaya sekolah Ane raib di pakai poya-poya dan judi sementara putrinya di sini telantar bahkan sampai menjual diri demi uang. Sungguh miris.
“Ane nggak mau kehilangan Bulek, selama ini Bulek yang baik sama Ane. Bulek melebihi Ibu Ane sendiri Ka.”
Itu memang kenyataan, Riana pun merasa begitu. Bulek Tatiklah yang selama ini peduli dengannya dan juga adiknya sekalipun mereka tinggal jauh. Ibunya yang super sibuk entah kesibukan apa di luar sana sampai mengabaikan putri-putrinya.
Air mata Riana semakin merebak. “Ane tau yang Ane lakuin ini salah, tapi kata Ane tadi. Ane nggak punya pilihan.”
“Apa kamu nggak punya kaka buat tempat kamu mengadu semua kesulitan kamu hah? Kamu anggap kaka itu apa? Kenapa kamu selama ini diam saja Ane.
"Kaka kecewa. Kamu nggak cerita kalau bapak sampai menjual kamu buat hutang judinya. Kamu sampai kesusahan buat cari biaya sekoah dan juga bulek yang sakit. Kenapa kamu nggak cerita dan nggak kasih tau kaka, Ane. Kenapa?” cecar Riana, kesal.
“Kamu itu adek aku Ane! Seharusnya apapun kamu ada masalah harusnya kamu cerita sama kaka. Ngadu sama kaka, bukan ke orang lain apa lagi sampai berbuat seperti ini!”
Ane menarik napas pelan. “Ane nggak bilang sama kaka karena Ane tahu kaka di sana pun sama, nggak mudah cari uang buat memenuhi keinginan bapak sama ibu.
"Apa lagi mereka selalu menekan kaka. Aku tahu nggak gampang cari uang di negeri orang ka.”
Kenyataanya memang seperti itu, tidak mudah mencari uang di negari orang.
Tapi Riana bekerja pun untuk mereka setidaknya Riana merasa jadi bagian keluarganya kalau adiknya itu mengadu karena uang jajan atau uang buat beli parfum kurang atau apalah adiknya meminta sesuatu.
Tapi kenyataanya tidak. Riana dan Ane jarang komunikasi dan itu salahnya Riana sebagai kaka kurang dekat dengan adiknya sendiri.
“Ane selama ini pura-pura nggak tahu kalau Bulek sakit parah ka. Mas Dimas nggak cerita sama Ane, tau-tau kasih uang.”
“Terus cara kamu buat nolong mereka apa? Gimana? Mereka jelas nggak akan menerima uang pemberian kamu kan? Dan pastinya mereka tanya kamu dapet uang dari mana?”
Bila Ane pura-pura tidak tahu, seperti apa yang dikatakan itu. Lalu bagaimana adiknya bisa membantunya.
“Frans. Aku meminta tolong sama Sugar Daddyku!” kata Ane.
Mendengar kata ‘Sugar Daddy’ Riana kesal setengah mati.
“Aku meminta tolong pada Frans dan dia mau menolong Ane dengan cara Mas Dimas kerja di perusahan Frans dan itu ceritanya pajang. Nanti Ane cerita sama kaka.”
Memang Riana butuh penjelasaan dari adiknya itu.
Riana menghapus air mata yang jatuh di pelupuk matanya lalu sekian detiknya menarik napas dalam-dalam lagi.
Seharian ini Riana sudah syok di paksa menikah dan kini Riana harus kembali terkejut dengan pengakuan adiknya. Dalam sehari ini Riana tak berhenti menangis karena kecewa, amat kecewa.
“Kamu melakukan itu nggak hanya buat nolong Bulek Tatik kan?”
Ane diam sejenak memanatap Riana.
“Alasan utama Bulek, alasan kedua karena uang sekolah yang sudah Frans bayar dengan lunas, bahkan Frans menguliahkan aku ka.”
“Ck! Bangga sekali lo di kasih semua kebaikan tapi lo kehilangan kesucian!”
“Huuh…” Ane menghembuskan napas berat.
“Aku bukan orang yang munafik. Gadis seusiaku pasti banyak keinginan ka. Remaja sepertiku ini terlalu banyak mimpi yang terlalu indah meski kenyataan perih.
Ane membaringkan tubuhnya yang terasa nyeri sembari memandangi langit-langit kamarnya.
“Aku ingin merasakan seperti teman-temannku, di antar jemput pake mobil bagus. Entah mau di antar sama supir, mau di antar bapak sama ibunya. Ane ingin hal itu, meski sayang nggak mungkin!”
Riana ikut merebahkan diri di samping adiknya setelah lelah menangis seharian. Ia pun ikut memandangi langit-langit kamar adiknya yang mulai rapuh.
“Apa kaka pernah merasakan hal yang sama denganku saat dulu kaka menjadi seorang remaja?”
Ane menoleh memandangi kaka nya.
“Aku ingin seperti mereka ka. Aku ingin terlihat modis, seragam mereka sehari-harinya selalu ganti nggak lusuh dan usang kaya punya Ane yang sudah nggak muat baru minta beli atau kenaikan kelas baru Bulek Tatik beli sama yang baru.”
“Parfum temen-temen Ane wangi sekali sampai harumnya itu nempel, parfum Ane Cuma harga sepuluh ribuaan. Belum lagi tas yang sering mereka pakai itu ganti-ganti dan harganya mahal-mahal selalu keluaran terbaru brand ternama dunia.”
Ane menoleh ke samping di mana tas ransel berwarna merah itu itu di gantung, tas ransel yang selama empat tahun itu baru di ganti dengan yang baru yang lebih modis dan juga harganya cukup mahal dan tas hitam kulit itu tas mahal yang Frans belikan untuknya.
“Sepatu mereka semuanya bagus-bagus ka dan setiap harinya ganti-ganti. Akesoris yang mereka pakai dan jam tangan mahal yang mereka pakai itu bukan kw-kw melainkan original dengan harga selaingit.”
Riana pun dulu merasakan hal itu, ia pun sama pernah cemburu social bahkan minder sendiri kalau sudah berteman dengan kebanyakaan teman-temannya orang kaya.
“Handphone mereka setiap ada keluaran terbaru pasti ganti sedangkan Ane… baru ganti dan dibeliin sama Frans!”
Astaga, nama itu orang yang sudah merebut kesuciannya kembali di agungkan membuat Riana semakin geram sendiri.
Kenapa Ane begitu percaya sekali pada pria berengsek kaya gitu?
“Mereka tiap pulang sekolah nongkrong dulu di café sementara Ane langsung jualan keliling.”
“Kamu boleh cemburu sama temen-temen kamu, tapi nggak dengan cara jual diri seperti ini, Ane!” seru Riana langsung membuat Ane bungkam.
“Yang kamu lakukan itu salah. Kamu masih muda, tapi kamu sudah jual diri demi uang sama pria yang lebih tua dari usai bapak kamu sendiri!” tekan Riana.
“Seharusnya pria itu jadi bapak kamu bukan malah jadi pria berengsek yang sudah merenggut kesucian kamu dalam keadaan kamu lagi butuh duit!”
Ya harusnya seperti itu. Tapi di Zaman seperti ini mana ada yang mau gratisan ngasih uang apa lagi. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Nggak ada. Ane butuh uang untuk oprasi Bulek Tatik dan juga untuk Pendidikan sekolahnya.
Ane butuh biaya sehari-harinya untuk pergi ke sekolah. Ane butuh beli perlataan sekolah yang udah usang dan Ane tidak mau meminta sama Mas Dimas.
“Semiskin-miskinnya kaka hidup di negeri orang. Kaka nggak senista kamu harus jual diri demi uang An. Kaka lebih baik bekerja keras buat cari uang bukan jalan pintas kaya kamu!”
Lagi lagi Ane diam, ia tau ia salah. Tapi Ane tidak seperti kaka nya, mereka saudara kandung dan juga satu darah tapi cara pemikiran, sikap mereka pastinya beda-beda. Ane buntu dan semua ini pun Ane terpaksa karena tidak punya pilihan lain.