Kaki jenjang milik Tiara terus menuruni anak tangga, dengan mata yang mulai mengembun. Pandangannya menjadi semakin tidak kontras, blur dan membayang. Terhalang oleh butiran kelemahan yang siap memburu dari kedua sudut mata. Setiap objek yang ia lihat nampak terbelah menjadi dua. Anak tangga, tiang penyangga di sepanjang lorong kelas, serta pot tanaman hias di setiap sisi tiang. semua nampak terbelah dalam inderanya.
Tak peduli seburam apapun pandangannya, Tiara tetap menapaki anak tangga itu dengan cepat. Tak masalah jika dia tersekat kaki sendiri. Bahkan dia berharap kakinya tergincir, dan membuat tubuh itu jatuh berguling-guling, terbentur, lalu menderita entah itu amnesia ataupun demensia. Melupakan semua kejadian menyakitkan sepanjang hidupnya. Tapi meskipun keinginan untuk terjatuh sangat kuat, tangan Tiara tak sedikitpun terlepas dari pegangan tangga. Ternyata terjatuh di sana bukan keinginan tulus dari dalam hatinya.
Sementara itu, tak jauh dari tangga nampak Bella menatap tajam pada Tiara yang baru saja menuruni anak tangga terakhirnya. Murid cantik dan superior itu tengah meredam perasaan yang bercampur aduk dan hampir meledak disebabkan sosok sok lugu di depannya.
Baru saja dia berniat menyusul Tiara dan Bara ke atas atap sekolah, mencari tau apa yang terjadi. Kini dia bertemu si gadis biang keladi, tanpa harus bersusah payah menaiki anak tangga yang cukup banyak dan curam. Membayangkannya saja sudah membuat Bella merasa letih dan malas.
"Heh! Gadis kotor!"
Suara lengkingan tajam itu mampu menghentikan langkah kaki Tiara. Dia yang hampir tiba di depan pintu ruang kelasnya terpaksa diam mematung. Menunggu si empunya suara menuntaskan maksud panggilan tersebut. Diusapnya sisa air mata kesedihan di wajah. Tak ingin seorangpun mendapatinya tengah menangis seperti itu.
Derap langkah kaki itu terdengar jelas mendatangi Tiara. Tanpa menengok pun ia hafal benar sosok yang sedang berjalan ke arahnya adalah Bela, Kekasih Bara. Gadis superior, bergaya super kece dengan beberapa barang branded menempel di tubuhnya. Jam tangan yang melekat di pergelangan tangan kirinya, parfum mahal yang semerbak, menusuk lubang hidung siapa saja yang dilewatinya. Merelaksasi dengan lembut dan berkelas. Semua nampak sangat pantas dia kenakan, karena ayahnya menjabat posisi yang cukup tinggi di perusahaan besar. Berbeda terbalik dengan tampilan yang melekat pada tubuh Bunga, semua serba sederhana dan seadanya. Apalagi yang Bella inginkan? Tak cukupkah selama ini dia menerima penindasan dan bully-an kasar Bella.
Kini Bella telah berhasil menjajari Tiara, dan ...,
Plak!!
Tanpa arahan apapun, sebuah tamparan mendarat di pipi Tiara. Bella berdiri tepat di hadapan Tiara dengan ekspresi menahan amarah. Tiara menanggapi dengan dingin, sama sekali tak berniat membalas.
Tiara membuang muka ke arah lain. Tak memandang Bella sedikit pun. Rasa panas dan perih yang menjalar di pipi akibat tamparan itu berusaha diabaikannya.
"Gue kira, kabar selentingan itu cuma isapan jempol."Bella mendesis kesal. Egonya yang begitu tinggi tak dapat mentolerir sikap acuh Tiara.
Baru kali ini ada yang berani mengabaikannya. Dia tak habis pikir gadis kotor seperti Tiara bisa bersikap seperti itu padanya! Disaat para murid Laki-laki lain memujanya dan berusaha untuk menarik perhatiannya. Serta banyaknya murid perempuan yang mendekat untuk berteman dengannya. itu terasa seperti penghinaan yang sangat besar untuk gadis Most Wanted seperti Bella.
"Ternyata lo buktiin sendiri, betapa rendah dan kotornya diri lo!" jerit Bella menjatuhkan vonis, tanpa mau mendengar atau memahami perasaan Tiara sedikitpun.
Tiara lah yang harus mengerti posisinya. Bara adalah pacar Bella, satu sekolah tau hal itu.
Tiara masih bergeming, tak ada sepatah katapun meluncur dari bibirnya untuk membela diri. Seolah memberikan kesempatan Bella untuk meluahkan sumpah serapah kasar. Membuat gadis superior di hadapannya itu semakin berapi-api, melontarkan cacian demi cacian kepadanya.
Tiara pun tak pernah meminta orang lain untuk mencoba memahaminya. Biasanya dia cukup pergi dengan menutup rapat kedua telinga. Tak perlu membuang energy untuk semua hal yang dirasa percuma.
"Hey! Kenapa hanya diam gadis jal4ng!! Buka mulut lo kalau gue suruh!" bentak Bella lagi. Amarahnya semakin memuncak melihat sikap Tiara yang masih saja tak perduli.
"Apa yang kamu bicarakan?" Tiara membuka suara dengan nada datar, seolah tidak terjadi apa-apa. Sayangnya, ketenangan itu membuat Bella semakin gerah.
"Oooh, lo mau bilang kalo lo nggak tau Bara itu cowok gue??"
"Bara memang pacar kamu. Masalahnya dimana?"
"Bagus, kalau Lo paham. Lo habis ngapain sama Bara di atas sana?
“Enggak ngapa-ngapain.”
“Lo masih mau ngelak? Mana mungkin kalian sampai pegangan tangan naik ke atas, kalau tidak terjadi apa-apa. Sekali lagi gue tanya, lo habis ngapain sama Bara gue di atas sana??"
"Beneran nggak ngapa-ngapain Bell." Tiara menekan kuat-kuat pada kata ‘nggak ngapa-ngapain'. Berharap membuat gadis manja di depannya itu menerima penuturannya.
"Nggak usah sok lugu sama gue! Semua orang di kantin tau, mereka bilang kalo lo berdua pergi bareng.” Bella menatap Tiara setiap inci dari atas kebawah. “Dan sekarang lihat diri lo, lihat penampilan lo!”
“Aku kenapa?”
“Lo tuh bego atau gimana seh? Nggak bisa ya, main cantik diluar! di hotel, di penginapan, jadi lo nggak ngotorin seragam lo! Gue bahkan malu pake seragam yang sama dengan lo!" Bella menolak bahu Tiara. Menatap sinis ke arah baju Tiara yang kusut setelah berurusan dengan Bara di atap gedung sekolah.
Tiara masih diam tanpa ekspresi berarti. Bahkan kesedihan dan amarah yang Bara ciptakan tadi lenyap tak berbekas, menguap entah kemana. Pandangannya tak sekalipun menatap kearah dimana Bella berada. Dia tak ingin terpancing dan menimbulkan keributan, yang dia inginkan hanyalah pergi ke kelas secepatnya. Malas bergaduh dengan siapapun, karena memang selama sekolah di sana itu yang selalu dia lakukan. Diam dan mengalah.
"Sepertinya kamu salah paham Bell!" Tiara mencoba mengakhiri perseteruan itu. Dia melangkah untuk segera berlalu.Bella menahannya, kerah baju Tiara ditarik dari arah belakang, membuat gadis itu sedikit tercekik, dan harus kembali meladeni Bella yang masih saja melancarkan sumpah serapah.
"Jangan sok cool deh lo! Nggak usah berlindung pada topeng pendiam, pedahal ular berbisa! Semua orang sudah tau, siapa diri lo. Bagaimana keluarga lo!"
Bela mendorong tubuh Tiara ke dinding. Membuat punggung itu terantuk dan menimbulkan suara benturan yang cukup kencang.
Buuk!!
"Aww!" Tiara meringis kesakitan. Tapi ia masih diam, tak ingin membalas. Tak juga menatap Bella. Bella mendecih sebal ke arah Tiara saat mendengar keluhan kecil yang terlontar dari mulut lawannya. Keluhan karena sakit di punggung akibat benturan yang ia ciptakan.
"Lo nggak mau lihat gue?” Bella meraih wajah Tiara dengan kasar. “Lihat, gue disini!! Seharusnya gue yang gak sudi lihat wajah lo! Bahkan menyentuh tubuh kotor lo!"
Tiara masih terdiam, dia berbalik berjalan menuju kelas. Menghiraukan semua sumpah serapah yang terlontar dari mulut Bella. Sedangkan murid-murid lain hanya diam, berkumpul menyaksikan kegaduhan itu. Menikmati suguhan drama gratis di depan mata mereka. Menjadikannya bahan gosip, yang akan memanas beberapa minggu kedepan.
"Apa Ibu lo yang ngajarin kayak gini?! Nggak heran seh!!" Bella melanjutkan serangan mentalnya kepada Tiara.
Tiara menghentikan langkahnya. Kali ini emosinya sedikit terpancing. Dia masih mampu menahan caci maki tentang dirinya, serangan fisik maupun psikis padanya, tapi tidak tentang ibunya. Seperti apapun Ibunya, seburuk apapun pekerjaan Ibunya, dia sama sekali tak rela ada orang yang menjelek-jelekkan malaikat tak bersayap miliknya itu.
Tiara berbalik, menatap tajam Bella. Seperti seekor banteng yang tengah dipancing dengan kain merah oleh sang Matador, bersiap untuk menyeruduk.
"Jangan pernah bawa-bawa Ibuku, dalam pertikaian kita!"
"Kenapa? Nggak terima!? Tapi memang cocok seh, diri lo kayak ini.” Bella tersenyum mengejek. “Ibu lo juga wanita mur4han, yang menjual dirinya diluar sana kan! Berapa? Berapa harga diri lo? Berapa harga Ibu lo? Gue beli semuanya, dan pergi lo semua dari dunia ini! Gue nggak rela dunia ini dicemari orang-orang kotor macam lo semua!!" cecar Bella tak terkontrol.
Amarah Tiara memuncak, dia tak ingin ribut dan bermasalah dengan siapapun. Dia sudah berusaha meredam semua rasa sakit yang dia terima selama ini. Namun kali ini Bella sudah keterlaluan. Tapi Tiara tak ingin mengotori tangannya hanya untuk bergulat dengan Bella.
"Lalu bagaimana dengan orang tuamu?" Tiara mulai membalas serangan Bela. Dilayangkannya senyum penuh cibiran pada Bella.
"Seperti itukah cara orang tuamu mendidik putri kesayangannya? Menjadi penindas, meremehkan orang lain! Pengganggu!"
"Tanpa di remehkan lo sudah rendah, kotor!" sungut Bela.
Tiara tersenyum, melipat lengan di d4da. Berjalan memutari Bella, seolah-olah dialah yang kali ini memegang kartu As milik Bella. Siap untuk dibukanya kapan saja.
"Oke, mari kita lihat sebaik dan seburuk apa orang tua kita! Sebersih dan sekotor apa hidup kita!" tantang Tiara, masih dengan ekspresi wajah setenang mungkin. Meskipun dadanya naik turun menahan amarah yang bergemuruh dan tengah berusaha diredamnya.
"Siapa nama ayahmu? Apa nama perusahaan tempatnya bekerja? Menjabat sebagai apa? Jangan-jangan dia langganan tetap Ibuku!"
Bela terdiam mendengar ucapan Tiara. Giginya bergemeletak, jelas sekali ia nampak tengah berusaha menahan amarah. Mata yang sedikit sipit itu nampak lebih lebar dari biasanya, memerah, seolah siap untuk menerkam Tiara kapan saja.
"Apakah dia dari perusahaan kontraktor yang besar itu? Aku pernah lihat sebuah mobil mahal terparkir dengan pantas di sana, lalu seseorang keluar dari kamar Ibuku. Kau punya foto ayahmu? Mungkin aku bisa mengingat. Kalaupun saat itu bukan ayahmu, mungkin aku bisa mengenalinya jika dia sedang berada disana. Dan aku bisa menyapa, berkata bahwa aku adalah teman sekolah puteri kesayangannya. Bahwa puterinya sangat manis di sekolah. Sehingga dia tak perlu mengkhawatirkan ...,'
Plaak!
Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Tiara. Bella berusaha menyerang Tiara tanpa ampun. Tampaknya satu tamparan saja tidak akan cukup untuk membuat hati Bella puas.
Tiara tersenyum penuh kemenangan, mendapati Bella tak mampu mengawal amarah. Dia terus memancing dengan senyuman, dan permainan mimik di wajah. Membuat Bella kalap dan menyerang tanpa jeda.
pada akhirnya, kegaduhan tak dapat dielakkan, mereka berdua saling dorong, saling jambak dan saling pukul. Murid lain hanya menonton dan bersorak tanpa berniat melerai keduanya.
Rayyan yang baru saja menuruni anak tangga dari atap gedung sekolah, langsung menghambur ke arah perkelahian itu. Mencoba memisahkan, dan menghentikan pertikaian Tiara dan Bella. Rayyan menarik tubuh Tiara, menjauh dari jangkauan Bella.
Tiara yang sudah tak mampu mengawal dirinya, meronta dalam penjagaan Rayyan. Tak rela jika satu-satunya orang yang begitu dia cintai, dihina habis-habisan oleh Bella.
"Biar ku beri pelajaran mulut busuknya, Ray!" jerit Tiara berusaha melepaskan diri dari Rayyan, sedangkan kedua tangannya terjulur berusaha meraih Bella. “Lepas Ray!” pinta Tiara.
"Sudah Ra, nanti ada guru! Kita semua bisa berada di dalam masalah." Rayyan mengingatkan. Belum pernah dia melihat Tiara bereaksi di luar kontrol seperti ini.
Teman Squad Bella-pun baru berani melerai. Mereka berusaha menahan tubuh Bella dari menyerang Tiara. Bella mengamuk habis-habisan. Berteriak histeris tak terkontrol.
Bara hanya menyaksikan tontonan gratis itu dari atas anak tangga, tak berniat sedikit pun menenangkan hati kekasihnya. Dia bahkan menatap penuh ke arah Tiara. Mengagumi keberanian gadis yang baru saja dia lecehkan secara terang-terangan. Rasanya akan sangat menyenangkan jika mampu mengendalikan kucing liar yang imut itu.
“Ada apa ini ribut-ribut!” Sebuah suara menggelegar, membelah kerumunan. Memberikan jalan bagi si empunya suara untuk mendekat, melihat lebih jelas apa yang sedang tejadi, sehingga menimbulkan kerumunan. Matanya terbelalak menangkap sosok Tiara dan Bella yang sudah dalam kondisi sama-sama berantakan.
“Kalian ...!!” Ibu Mita berteriak dengan suara tertahan, tak percaya dua murid perempuan berkelahi di lingkungan sekolah.