part 1
Kabut belum juga mengangkat wajahnya dari lereng Gunung Salak. Embun menetes perlahan dari ujung dedaunan hutan, seperti bisikan pagi yang belum selesai menyampaikan rahasianya. Di tengah sunyi, suara langkah-langkah ringan menyusuri jalan setapak tanah basah. Seekor kijang melintas sesaat sebelum lari menjauh, terganggu oleh suara kayu dipatahkan.
Di bawah pohon rasamala tua, seorang pemuda duduk bersila. Pakaiannya sederhana: kemeja putih dari kain kasar dan ikat pinggang coklat tua. Di tangannya tergenggam tongkat kayu hitam mengilap—Nagawulung, tongkat tua peninggalan pertapa yang telah lama wafat. Di lehernya tergantung liontin berbentuk cakra, simbol Dewa Wisnu, memantulkan kilau samar ketika tertimpa cahaya pagi.
Namanya Arsa. Umurnya baru tujuh belas tahun, tetapi di matanya telah tinggal kedalaman yang jarang dimiliki orang seusianya. Seperti danau tenang yang menyimpan pusaran di bawahnya.
"Guru Resi Soma sudah tiada. Aku tinggal sendiri di gunung ini," gumamnya, menatap matahari yang perlahan muncul dari balik awan. "Tapi kenapa hati ini belum tenang?"
Dari balik rimbun bambu, terdengar suara langkah mendekat. Seorang lelaki bertubuh kekar dengan luka bekas bakar di bahunya muncul. Di punggungnya tergantung tombak bambu.
"Arsa!" panggilnya. "Sudah waktunya."
Arsa menoleh, tersenyum tipis. "Sudahkah Gala memutuskan ikut?"
"Untuk seorang yang mengajariku membaca dan tidak memukul saat aku bodoh? Tentu saja ikut. Dan... aku tak sendiri."
Dari balik pohon, satu demi satu mereka muncul: Mayang Puspa dengan mata tajam seperti kucing malam, Resa Langit yang meniup seruling kecil dari tulang kijang, Kirana Lintang dengan busur di punggung dan mata awas, Wira Jati membawa tas kulit berisi besi kecil dan api tersembunyi, Soma Dipa dengan jubah pertapanya, serta Lodra Geni, yang entah dari mana datang, berdiri sambil mengayunkan obor.
Arsa berdiri. "Kenapa kalian datang?"
Mayang menyeringai. "Karena kita tahu sesuatu yang besar akan terjadi. Dan itu dimulai darimu."
"Putra Raja Purnawarman," kata Gala Dirga. "Kau bisa menyangkal, tapi darah dalam tubuhmu tak akan bohong."
Arsa menunduk. Ia tahu hari ini akan datang. Hari ketika ia tak lagi bisa bersembunyi sebagai anak pertapa. Hari ketika sejarah mulai menagihnya kembali.
"Kalau begitu," katanya perlahan, "kita turun ke lembah. Ke Taruma. Ke tempat takdir kita menunggu."
Dari kejauhan, bayangan Kota Sundapura—ibu kota Tarumanagara—masih tertutup kabut. Tapi langkah pertama telah diambil.
Dan sejarah pun mulai menulis kembali kisahnya.
***
Angin dari dataran rendah membawa aroma asap dan tanah basah. Jalanan menuju lembah Taruma kini menjadi jalur perenungan yang sunyi. Di kiri dan kanan, pohon-pohon randu dan kapuk berdiri seperti penjaga bisu atas tanah yang pernah jaya.
Arsa berjalan paling depan, tongkat Nagawulung di tangan kirinya, liontin cakra tergantung di leher, memantul samar sinar mentari pagi. Di belakangnya, ketujuh pengikutnya berjalan dengan langkah yang berbeda: Gala sigap dan siap bertempur, Mayang waspada seperti bayangan, Kirana tenang dan anggun, Resa Langit memutar seruling kecil, Soma Dipa melantunkan doa-doa halus, Wira menatap tanah seperti membaca jejak, dan Lodra... berjalan sambil bersiul nyaring.
Setelah setengah hari perjalanan, mereka tiba di puncak bukit yang menghadap ke lembah besar.
Dari sana terlihatlah sisa-sisa kota Sundapura, bekas ibu kota Tarumanagara. Dulu dikenal sebagai kota penuh cahaya, dengan istana berlapis batu putih dan alun-alun tempat rakyat menari dalam festival musim panen. Kini, yang tersisa hanya reruntuhan. Pilar-pilar batu berdiri setengah patah. Gerbang utama roboh, ditumbuhi ilalang. Dan bendera kerajaan tak lagi berkibar.
“Sudah hancur…” gumam Kirana.
“Tidak,” jawab Arsa pelan, “masih ada sesuatu di sana. Sesuatu yang belum selesai.”
Suara Ledakan dari Dalam Kota
Tiba-tiba, suara ledakan kecil mengguncang udara. Burung-burung beterbangan panik. Dari balik reruntuhan istana, asap hitam mengepul.
“Ada orang di sana,” kata Wira Jati, menunjuk dengan mata tajamnya.
“Mungkin bukan hanya orang,” bisik Mayang. “Mungkin musuh.”
Tanpa menunggu aba-aba, Arsa melangkah cepat menuruni bukit, diikuti yang lain. Di pintu gerbang yang hancur, mereka menemukan jejak kaki—bercampur dengan bekas roda besi dan... darah.
Lodra jongkok, menyentuh tanah. “Darah baru. Dua jam lalu, mungkin kurang.”
Dari kejauhan, suara teriakan terdengar:
“Tangkap anak itu! Jangan biarkan ia kabur ke sisi barat!”
Arsa dan kawan-kawannya bersembunyi di balik tembok roboh. Mereka mengintip. Di halaman tengah istana, sekelompok tentara berpakaian hitam berlogo “Mata Tertutup” sedang mengepung seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun.
Anak itu memegang gulungan kertas, lari tergopoh-gopoh ke arah sumur tua.
“Dia membawa sesuatu penting,” bisik Gala.
“Aku turun. Lindungi dari atas,” jawab Arsa.
Tanpa suara, Arsa melompat turun dan bergerak cepat. Gala dan Kirana menarik busur. Mayang menyelinap dari arah berlawanan.
Saat salah satu prajurit hendak menyabet anak itu, tongkat Nagawulung menghantam keras ke pundaknya. Pria itu terlempar dan pingsan seketika.
Arsa berdiri di depan anak itu.
“siapa namamu?” tanyanya singkat.
“Saka, Tuan...” anak itu terengah. “Mereka membunuh semua penjaga istana. Gulungan ini... dari mendiang Raja.”
Mata Arsa terbelalak. “Raja?”
“Bukan Purnawarman... tapi pengganti bayangan yang ditinggalkan. Katanya... dia bukan keturunan raja, tapi penyimpan rahasia.”
Arsa merasakan napasnya berat.
Sementara itu, suara terompet terdengar. Pasukan berseragam Mata Tertutup mulai bergerak menuju pusat kota.
Dan dari puncak reruntuhan, Mayang berteriak, “Arsa, mereka tahu kau di sini!”