Malam mulai merambat pelan, menyelimuti sisa kota Sundapura dalam bayang-bayang dingin. Api unggun kecil menyala di dalam reruntuhan ruang bawah tanah istana, tempat Arsa dan rombongannya bersembunyi bersama Saka—anak kecil pembawa gulungan rahasia.
Mayang membersihkan luka di kaki Saka, sementara Resa Langit memutar seruling lembut untuk menenangkan udara yang tegang. Di sisi lain, Gala berjaga dengan tombaknya, mengamati setiap bayangan yang bergerak dari celah-celah dinding runtuh.
Arsa duduk diam di tengah. Di tangannya terbuka gulungan tua berlapis kain rami. Tulisan kuno berhuruf Pallawa menyambutnya dalam bahasa Sansekerta kuno.
Soma Dipa membungkuk mendekat.
“Ini bukan sekadar catatan,” ucapnya pelan. “Ini... sumpah rahasia kerajaan.”
“Jika darahku terhapus dari singgasana, maka warisan Taruma harus dijaga oleh bayanganku. Bukan raja, bukan prajurit, bukan keturunan. Tapi penjaga cahaya terakhir: **Bayang-Bayang Taruma.”
Penjaga Terakhir
Arsa menutup gulungan dengan wajah berat.
“Saka, siapa yang memberimu ini?”
Saka menunduk. “Ayahku. Ia bukan siapa-siapa. Ia hanya penjaga perpustakaan istana. Tapi sebelum malam pembantaian itu, dia bilang: ‘Kalau semua runtuh, cari orang yang memakai cakra di dadanya. Serahkan ini padanya.’”
Gala memandang Arsa tajam. “Itu artinya kau.”
“Tidak. Itu artinya... siapa pun yang berani memikul warisan ini.” Arsa menggenggam gulungan erat. “Tapi kalau aku yang ditemukan, maka aku harus jadi yang pertama menjaganya.”
---
Jejak Hitam: Mata Tertutup
Sementara di sisi lain kota, di balik reruntuhan menara istana, panglima pasukan "Mata Tertutup" berdiri menghadap reruntuhan, didampingi pasukan berkuda.
Namanya: Mahadaru, pria tinggi berwajah setengah terbakar, mantan jenderal Tarumanagara yang hilang saat perang utara.
Di bahunya tergantung kain hitam bertuliskan lambang mata tertutup dengan dua garis silang—tanda dari sumpah rahasia untuk menghapus darah kerajaan lama.
“Kita terlambat,” gumamnya. “Anak itu sudah bertemu sang pembawa cakra.”
Seorang bawahan bertanya, “Perlukah kita kejar malam ini?”
“Tidak,” jawab Mahadaru. “Biarkan mereka membaca gulungan. Itu akan membuat mereka gentar. Tak lama lagi... sang bayangan akan datang, dan Taruma akan sepenuhnya milik kami.”
Tanda-Tanda Kebangkitan
Kembali di tempat persembunyian, Resa Langit berhenti bermain seruling. Ia berkata pelan, “Reruntuhan ini menyimpan gema. Arwah lama sedang bangkit.”
Mayang menambahkan, “Dan mereka tidak suka keturunan raja kembali ke tanah yang telah ditinggalkan.”
Arsa memandangi langit yang dipenuhi bintang.
“Kita tidak hanya melawan manusia. Tapi juga sejarah yang belum selesai. Dan dalam sejarah itu... kita akan menulis nama kita sendiri.”
Gulungan diselipkannya ke dalam pelindung kayu. Esok, mereka akan mencari Taman Cakra, tempat legenda menyebutkan senjata penjaga kerajaan dikuburkan.
Langkah mereka baru dimulai.
Dan bayangan Taruma... mulai bergerak.
****
Langit pagi menyimpan warna tembaga saat delapan sosok meninggalkan reruntuhan Sundapura, menuju arah barat daya. Udara lembab dan jalan setapak dikelilingi pohon-pohon besar yang diam-diam menyimpan kisah tua.
Di sinilah Taman Cakra pernah berdiri—bukan taman bunga, melainkan kompleks rahasia para resi dan empu, yang katanya menjadi tempat menyimpan pusaka para raja Taruma. Sebuah tempat yang hilang dari peta, tapi hidup dalam bisik legenda.
Arsa menggenggam liontin cakra di lehernya, yang sejak pagi terasa hangat. Seperti memandu langkahnya.
“Kita sudah dekat,” ucapnya.
Gerbang yang Terkubur
Wira Jati berhenti dan menunjuk pohon randu raksasa yang tumbang.
“Di bawah akar ini… ada batu ukir.”
Dengan hati-hati, mereka mulai menggali. Dan benar saja—muncul prasasti batu dengan pahatan lambang cakra dan tulisan tua:
“Dalam diam kami menjaga. Yang layak, akan dibimbing. Yang rakus, akan hilang dalam gelap.”
Mayang Puspa mendekat, wajahnya menegang.
“Ini semacam pintu.”
Arsa menyentuh batu itu dengan liontinnya.
Getaran ringan terasa.
Batu itu bergeser perlahan, mengungkap lorong sempit yang turun ke perut bumi, berisi udara lembab dan aroma damar.
“Turunlah,” bisik suara di kepala Arsa. “Waktumu telah datang.”
Dalam Perut Bumi
Mereka berjalan pelan, hanya diterangi obor Lodra Geni. Dinding lorong terukir relief kisah raja-raja Tarumanagara, dari Purnawarman hingga resi-resi yang namanya telah hilang dari sejarah.
Tiba-tiba lorong terbuka ke dalam ruang bundar, dengan delapan tiang melingkar dan patung raksasa di tengahnya—Dewa Wisnu duduk di atas Garuda, tangan kirinya memegang cakra emas.
Di bawahnya, tertanam peti logam kuno.
Soma Dipa membaca pahatan di dinding:
“Yang berdarah Taruma dan berhati tenang, akan mampu membuka segel pusaka. Tapi jika niatnya gelap, maka peti akan menjadi kutukan.”
Semua menatap Arsa.
Dengan napas dalam, Arsa maju, menyentuhkan tangannya ke peti.
Sesaat tak terjadi apa-apa.
Lalu... klik.
Peti terbuka perlahan. Di dalamnya:
Sebuah cakra emas kecil dengan lima bilah tajam,
Sebuah mantra di daun lontar, ditulis dengan darah,
Dan topeng perak bergambar wajah singa.
Arsa menyentuh cakra emas.
Seketika penglihatannya berubah.
Ia melihat kilasan: Raja Purnawarman berdiri di tengah peperangan, melempar cakra itu dan memisahkan sungai-sungai—Cakra Dharma, senjata legendaris yang hilang.
Tanda Bahaya
Namun sebelum Arsa bisa berkata apa-apa, dari atas lorong...
BOOM!
Ledakan keras mengguncang dinding gua.
Batu-batu runtuh. Lorong masuk tertutup.
Gala Dirga mengangkat tombak. “Kita dijebak!”
Suara langkah mendekat dari kegelapan belakang.
Dari lorong lain, muncul bayangan—pasukan Mata Tertutup muncul satu per satu, dipimpin seorang wanita berkulit pucat dan rambut putih panjang. Ia memegang kipas dari tulang manusia.
“Selamat datang di tempat pemakaman kalian,” katanya.
Arsa menatapnya tajam. “Siapa kau?”
Wanita itu tersenyum. “Aku... Ratna Rukma, mantan tabib istana. Dan kini pelayan setia Mahadaru.”