Ruang bawah tanah bergemuruh oleh langkah-langkah musuh. Api dari obor Lodra menyala gelap di dinding-dinding batu yang mulai retak. Di tengah, Arsa berdiri memegang Cakra Dharma—pusaka kecil berbentuk cakra emas dengan bilah menyala samar, seakan bernapas.
Di hadapannya, Ratna Rukma menatap dari balik kipas bertulang.
Wajahnya putih seperti bulan mati. Matanya tajam, namun kosong. Di ujung lidahnya, racun mengalir seperti puisi.
“Berapa lama aku menunggu kesempatan ini,” ucapnya. “Anak yang membawa warisan sang raja, terkunci di dalam gua... bersama aku.”
Mayang Puspa mencabut dua pisau lengkung dari pinggangnya. “Kalau kau pikir ini akan jadi mudah, kau salah.”
Ratna tersenyum miring. “Aku tidak pernah suka yang mudah.”
Serangan Bayangan
Tanpa aba-aba, Ratna mengibaskan kipasnya. Asap hitam melesat keluar, membentuk bayangan makhluk-makhluk berkaki empat, tanpa wajah, dengan gigi dari duri. Mereka melompat ke arah Arsa dan rombongannya.
“Ilusi!” teriak Soma Dipa. “Tapi bisa melukai!”
Gala Dirga menerjang ke depan, menghantam salah satu bayangan dengan tombaknya. Makhluk itu meledak menjadi uap beracun.
“Jangan hirup asapnya!” seru Resa Langit, menutup hidung Saka dan menariknya mundur.
Ratna bergerak cepat, seperti angin dingin. Ia menyerang dari bayangan ke bayangan, menyatu dengan kegelapan, muncul dari balik tiang batu dan menyerang dengan jarum-jarum racun.
Kirana Paraningrat memutar selendangnya, menangkis satu jarum ke dinding. “Dia bukan manusia lagi…”
Cahaya Sang Cakra
Arsa mengaktifkan liontin cakra di dadanya. Cakra Dharma di tangannya mulai bersinar—putaran perlahan yang membentuk lingkaran cahaya keemasan.
Mantra dari lontar tua terngiang di telinganya:
“Cakra bukan hanya senjata. Ia adalah penjaga ruang jiwa. Jika musuhmu datang dari bayangan, terangilah ia dari dalam.”
Arsa melempar cakra ke udara.
Cahaya menyebar dalam lingkaran, membelah semua bayangan palsu.
Makhluk-makhluk kegelapan meleleh seperti lilin terkena fajar.
Ratna berteriak marah, tubuhnya mulai berubah—kulitnya mengelupas, menunjukkan lapisan sisik gelap di bawahnya.
“Aku sudah menelan tujuh racun suci untuk hidup abadi! Kalian tidak akan bisa—”
WHUUSSH!
Mayang melompat dari belakang, menyarangkan belatinya ke tengkuk Ratna. Lodra Geni melemparkan bola api kecil yang meledak tepat di bawah kaki Ratna.
Tubuh wanita itu terbakar—menjerit, meronta, lalu runtuh menjadi debu beracun.
Jalan Keluar
Setelah semua tenang, tiang utama di tengah ruang bundar bergetar dan bergeser. Sebuah jalan terbuka ke arah timur, membawa mereka keluar menuju sebuah gua yang menghadap sungai besar.
Saka menunjuk ke kejauhan. “Itu... sungai Citarum.”
Arsa memandangi air yang mengalir tenang. “Tempat asal kerajaan. Dan tempat segalanya akan berakhir, atau dimulai kembali.”
****
Pagi menyapa dari timur, memantulkan sinar keemasan di permukaan Sungai Citarum. Arsa dan rombongannya menyusuri tepi sungai menuju hulu, mengikuti petunjuk dari mantra daun lontar yang dibawa dari Taman Cakra.
Di tangan Arsa, Cakra Dharma kini tampak lebih bersinar—respon terhadap medan spiritual kuno yang makin kuat di sepanjang sungai.
"Di tempat air lahir dari batu, Di mana tiga puncak menghadap timur, Di situlah mahkota sang raja tersembunyi, Bersama dosa yang tak pernah ditebus."
Itulah kutipan terakhir dari lontar.
Soma Dipa menunjuk ke arah bukit-bukit di kejauhan. “Itu dia. Tiga puncak: Gunung Jayagiri, Tangkuban Parahu, dan Bukit Lemahabang. Titik tengahnya... adalah Lembah Tapak Raja.”
Lembah Tapak Raja
Lembah itu seperti cekungan besar di tengah bentang alam, dikelilingi tebing dan pohon tinggi. Di dasarnya, mereka menemukan reruntuhan bangunan batu: makam raja-raja tua, termasuk sebuah gapura dengan lambang Taruma.
Namun di sana... mereka tidak sendiri.
Terdengar langkah kaki.
Pasukan hitam bersenjata tombak dan panah, berseragam lambang Mata Tertutup, muncul dari balik pepohonan.
Dipimpin langsung oleh: Mahadaru
Mahadaru turun dari kudanya—tinggi, kulit gelap, dan setengah wajahnya hangus terbakar. Di matanya ada bara dendam.
“Kau akhirnya datang, Arsa Wijaya.”
Arsa menggenggam Cakra Dharma. “Kau tahu siapa aku?”
Mahadaru menatapnya tajam. “Kau adalah kegagalan yang tidak dibunuh ibumu.”
Semua diam.
Arsa menegang. “Apa maksudmu?”
Rahasia Berdarah
Mahadaru berjalan mendekat. “Ibumu bukan siapa-siapa. Ia adalah dayang istana yang mencuri perhatian Purnawarman. Kau dilahirkan di luar pernikahan. Disembunyikan. Bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah.”
Semua menatap Arsa.
“Kau pikir raja akan mengakui anak dari darah rakyat jelata? Tidak. Maka dia menitipkanmu pada penjaga perbatasan. Menyuruh semua orang melupakan kau ada. Tapi aku tahu. Aku ada di sana.”
Mayang Puspa mencabut pisaunya. “Cukup!”
Arsa mengangkat tangan, menghentikan.
“Aku tidak peduli siapa ibuku. Aku tahu siapa yang kubela.”
Mahadaru tertawa rendah. “Bagus. Karena yang akan kau bela... akan segera runtuh.”
Mahkota Purnawarman
Dari dalam kuil tua, Mahadaru mengangkat mahkota emas Tarumanagara—bertatahkan batu safir dan ukiran gunung serta sungai.
“Ini yang kau cari? Mahkota yang hilang? Ini bukan lambang kebesaran. Ini lambang pengkhianatan. Raja terakhir Taruma memakai ini ketika ia membiarkan rakyatnya mati demi mempertahankan istana.”
Arsa melangkah maju.
“Letakkan mahkota itu. Kau tidak layak menyentuhnya.”
Mahadaru tersenyum dingin. “Kalau begitu, rebutlah.”
Pertempuran Terbuka
Pertempuran pecah.
Gala Dirga bertarung satu lawan tiga dengan tombaknya.
Kirana Paraningrat menggunakan belatinya untuk menangkis panah dan senjata ringan.
Lodra Geni melemparkan bom kecil dari ramuan api.
Mayang dan Saka bekerja sama mengaktifkan rune tanah yang menahan pasukan musuh.
Arsa dan Mahadaru saling berhadapan, cakra emas melawan pedang api hitam milik Mahadaru, yang dibakar oleh sihir gelap.
Dua kekuatan bertabrakan.
Tanah retak. Mahkota jatuh.
Arsa menangkapnya—tangan nya berdarah, dan mata nya penuh cahaya.