part 4

901 Kata
Malam menyelimuti Lembah Tapak Raja. Reruntuhan kuil tua kini sunyi, hanya disinari cahaya api unggun kecil yang mereka nyalakan di antara puing-puing batu. Di atas pangkuannya, Arsa memegang mahkota Purnawarman yang baru saja ia rebut. Emasnya berkilau, tapi terasa dingin. Terlalu berat bagi seseorang yang belum siap memikul warisan sejarah ribuan tahun. Di kejauhan, Saka, si bungsu, memandangi Arsa dengan bingung. Ia masih anak-anak, tapi malam itu, ia tahu dunia tidak sesederhana dongeng. Perpecahan yang Diam Para pengikut Arsa mulai terlihat gelisah. Mereka duduk dalam lingkaran: Mayang Puspa diam membelai pisaunya. Gala Dirga berdiri menjauh, menjaga area, tapi sesekali melirik ke arah Arsa dengan sorot curiga. Kirana Paraningrat menggulung perban di tangannya, sesekali mencuri pandang ke arah Lodra. Soma Dipa, yang paling tua, tampak termenung di depan api. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra perlindungan. Lodra Geni sedang menumbuk bahan ramuan, tapi tangannya bergetar. Resa Langit menatap kosong ke langit, seakan bertanya: “Untuk apa semua ini?” Ketegangan yang belum meledak, tapi siap membakar segalanya. Konfrontasi Diam-Diam Gala mendekati Soma Dipa dan berbisik, “Kita bertaruh nyawa untuk seorang anak haram?” Soma memejamkan mata. “Dia membawa pusaka. Dan dipilih oleh Taman Cakra.” “Dipilih oleh pusaka, atau dimanfaatkan olehnya?” desak Gala. “Apa yang membuatnya layak menjadi raja? Karena ayahnya seorang raja Purnawarman?” Mayang Puspa berdiri dari bayangan. “Aku melihat cara dia bertarung. Arsa bukan hanya pewaris darah. Dia pewaris tekad.” Kirana menimpali dingin, “Tapi tekad tanpa kepercayaan? Itu rapuh.” Arsa berdiri perlahan, mendekati mereka. “Aku tidak minta dipercaya. Tapi aku akan tetap berjalan. Siapa yang ingin pergi, pergilah sekarang.” Sunyi. Lalu Saka bangkit dan berdiri di sisi Arsa. “Aku tetap bersamamu, Kakak.” Mayang dan Lodra menyusul. Resa mengangguk perlahan. Gala menggeram pelan, tapi tidak pergi. Panggilan Leluhur Malam itu, Arsa tertidur dengan mahkota di sampingnya. Dalam mimpinya, ia melihat: Sebuah istana di tengah api. Purnawarman duduk di singgasana batu, namun tubuhnya membatu. Di sekelilingnya, bayangan para raja tua melingkar, menunjuk padanya. “Kau anak dari dua dunia: darah istana dan darah rakyat. Mahkota bisa membuatmu raja, tapi hanya jiwa yang akan menentukan apakah kau akan jadi penguasa... atau pemusnah.” “Mahadaru tidak mencari kehancuran. Ia ingin membentuk ulang sejarah. Pertanyaannya: apakah kau cukup kuat untuk mencegahnya?” Arsa terbangun, napas memburu. Di kejauhan, cahaya muncul dari arah utara. Bukan bintang. Tapi obor. Pasukan lain datang. **** Fajar belum pecah ketika suara langkah-langkah kaki berat menggema dari utara. Dari balik kabut, muncul deretan obor yang mendekat pelan, teratur, dan tanpa suara. Barisan itu terdiri dari puluhan prajurit bersenjata, mengenakan pelindung kulit hitam dan perisai dari tanduk kerbau. Di depan mereka, seorang perempuan berjubah putih menunggang kuda hitam. Di dadanya tergantung liontin perak berbentuk matahari terbelah dua. Soma Dipa menegang. “Itu... lambang Klan Watu Lenga.” Arsa belum mengenal nama itu, tapi tatapan para pengikutnya cukup membuat darahnya dingin. Mayang Puspa berbisik, “Mereka adalah penjaga utara Taruma. Dulu setia pada Purnawarman, lalu menghilang... setelah pengkhianatan besar.” Perempuan Bermata Tiga,,, dia duduk di atas kuda dan membuka tudungnya. Wajahnya dingin, dipenuhi garis perak di dahi dan pipi—bekas ritual perdukunan tinggi. Tapi yang paling mencolok: mata ketiga di dahinya, terbuka samar, berwarna abu-abu pucat. “Aku Tirta Rukmi, cucu dari Panglima Watu Lenga. Kami datang bukan untuk tunduk. Tapi untuk menguji.” Arsa maju satu langkah. “Menguji?” Tirta turun dari kudanya, menghampiri Arsa. “Jika kau benar pewaris Purnawarman, maka darahmu akan membuka Gerbang Batu—pintu ke ruang rahasia di Gunung Jayagiri, tempat raja terakhir menyembunyikan Kutukan Taruma.” Gala Dirga menyeringai. “Dan kalau dia gagal?” “Kalau dia gagal,” jawab Tirta dingin, “kami akan mengakhiri garis darahnya hari ini juga.” Gerbang Batu Dipandu pasukan Watu Lenga, rombongan menuju ke kaki Gunung Jayagiri. Di lerengnya, tersembunyi di balik akar dan semak, ada tebing besar berlambang matahari terbelah, sama seperti liontin Tirta. Tirta menunjuk ke lubang kecil di tengah batu itu. “Letakkan darahmu di sini, Arsa.” Tanpa ragu, Arsa menggenggam belati Kirana, menggores telapak tangannya, dan menempelkan darah ke batu. Tak terjadi apa-apa. Beberapa dari prajurit Watu Lenga bersiap menghunus senjata. Namun… Cakra Dharma di pinggang Arsa tiba-tiba bersinar. Batu mulai bergetar. Akar-akar menjauh. Dan perlahan, tebing itu terbuka seperti kelopak bunga batu, memperlihatkan tangga menurun ke dalam bumi. Tirta mengangguk. “Kau diterima.” Ruang Rahasia Taruma Di dalam, lorong-lorong batu membawa mereka ke sebuah ruangan yang sangat luas, berdinding batu berukir sejarah Tarumanagara: kejayaan, pemberontakan, dan akhirnya... kutukan. Di tengah ruangan berdiri patung Raja Purnawarman memegang dua benda: Di tangan kanan: kitab emas—berisi ilmu pemerintahan dan hukum. Di tangan kiri: topeng besi gelap—yang disebut Tirta sebagai Rupa Kegelapan, pusaka yang bisa membangkitkan bayangan para raja mati. “Ini yang Mahadaru cari,” kata Tirta. “Ia ingin menggunakan Rupa Kegelapan untuk memanggil raja-raja terdahulu, memaksa mereka melayani kembali... dalam bentuk roh amarah.” Saat Arsa menyentuh dasar patung itu, matanya membelalak. Ia melihat kembali visi—tapi kali ini lebih dalam: -Purnawarman tua, duduk sendiri, berbicara pada patung dirinya sendiri.- “Aku telah membangun kejayaan, tapi meninggalkan luka. Putraku… jika kau menemukan ini, jangan teruskan warisanku. Tebuslah dosa kami. Jangan jadi raja. Jadilah penjaga.” Arsa jatuh terduduk. Saka memegang bahunya. “Apa yang kau lihat?” “Pilihan... yang tak bisa dibagi. Antara menjadi raja, atau menghancurkan tahta selamanya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN