Seorang Intelijen

1943 Kata

. Dalam lima menit, dia sampai di ruangan Jouska. Ruangan dengan desain interior yang sama persis dengan ruang kerja Angkasa. Napasnya masih diburu. Cukup terengah-engah dengan wajah seperti dibasuh air. Keringatnya deras meluncur dari pelipis. Tangannya menahan daun pintu Jouska tetap terbuka sementara ia sedang mengatur ulang napasnya.             “Angkasa?” sapa Jouska heran. Dia hampiri Angkasa dengan langkah cepat dan penuh tanda tanya. Hampir tak pernah lelaki nomor dua di Benang Merah itu berkunjung ke ruangannya. Angkasa merentangkan kelima jemarinya sebagai tanda meminta waktu mengambil jeda. Dia mulai berdiri dengan tegap, mengambil napas dalam-dalam sepanjang mungkin. “Aku punya ide sekaligus permintaan kepadamu,” ucap Angkasa ------------------------------- Naviza sedang

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN