Irene menggeliat dalam tidurnya, sinar matahari yang masuk dari celah jendela kamar menerpa wajahnya dan cukup mengganggu tidur lelapnya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak guna menormalkan penglihatannya. Sinar matahari itu membuat matanya silau.
Irene berdecak kesal seraya bangun dari posisi berbaringnya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang, lalu memegangi kepalanya yang tiba-tiba sakit.
“Duuh, kepala gue sakit banget,” gumamnya, seraya dia pijit perlahan keningnya. Namun, fokusnya teralihkan ketika tanpa sengaja telinganya menangkap suara lenguhan dari sampingnya. Sontak dia menoleh ke arah sampingnya. Matanya membulat sempurna dengan mulut terbuka lebar ketika menyadari dia tidak tidur sendirian di atas ranjang. Ada sosok seorang pria bertelanjang d**a sedang tidur tengkurap di sampingnya.
Irene geragapan, dia tidak tahu siapa pria itu karena posisinya yang tengkurap membuatnya tak bisa melihat wajahnya. Irene menggulirkan tatapannya ke sekeliling kamar, dia teguk salivanya susah payah ketika menyadari dia berada di kamar yang sangat asing baginya, jelas dia tidak berada di kamar hotel yang disewanya.
“Nggak, apa yang udah gue lakuin?” gumamnya seraya dia pegangi kepalanya. Dia berusaha mengingat-ingat kejadian apa yang telah menimpanya hingga berakhir tertidur di kamar asing bersama seorang pria yang entah siapa.
“Kemarin gue jalan-jalan sendirian, terus... t-terus...” Seketika Irene membekap mulutnya tak percaya ketika akhirnya dia mengingat kebodohan apa yang telah dilakukannya kemarin.
“Ya ampun, gue kemarin minum soju terus gue pasti mabuk. Jadi, selagi mabuk gue... gue...” Irene tak sanggup melanjutkan ucapannya. Kedua matanya tarasa panas dan mulai berkaca-kaca.
“Apa yang udah gue lakuin? Apa gue udah tidur sama cowok itu?” katanya seraya dia gelengkan kepalanya berulang kali. Kini air mata meluncur mulus dari kedua matanya tanpa sanggup dikontrolnya.
“Nggak. Gak mungkin. Gue gak mungkin ngelakuin itu sama cowok yang gak gue kenal ini.” Dia menatap tajam ke arah pria yang tertidur pulas di sampingnya. Tiba-tiba amarah menguasainya, dia ingin tahu siapa pria yang berani memanfaatkan kondisinya yang sedang mabuk semalam.
Dengan kasar, Irene membalik badan si pria membuat posisi tengkurapnya berubah menjadi telentang. Dan seketika Irene kembali membulat sempurna, wajah pria itu sudah tidak asing baginya. Bukan sekadar tidak asing, bahkan dia sangat mengenalinya. Pria itu adalah Reiki, suaminya. Mengetahui itu bukannya membuat Irene lega melainkan semakin bertambah murka.
“Kurang ajar, cowok b******k. Reiki bangun looo!!” teriaknya tepat di depan telinga Reiki seraya dia memukuli Reiki dengan membabi buta. Reiki bangun dari tidurnya dengan raut terkejut yang mendominasi wajahnya.
“Eh, lo kenapa sih? Pagi-pagi gini udah ngamuk gak jelas,” sahut Reiki, sembari dia pegangi kedua tangan Irene yang tak hentinya memukulinya.
“L-Lo jahat banget tahu gak? Lo juga cowok b******n. Lo udah langgar janji lo sama gue. Udah gitu tega banget lo manfaatin kondisi gue yang lagi mabuk.”
“Haah, apa maksud lo?” tanya Reiki, memasang wajah bingung, tak mengerti sama sekali dengan ucapan Irene.
“Lo masih nanya, Haah? Lo semalam udah perkosa gue, kan? Selagi gue gak sadar, lo sengaja ngambil kesucian gue. Lo jahat Rei, gue benci sama lo!” bentak Irene diiringi isak tangis histerisnya.
“Heeh, jangan asal nuduh ya, emangnya siapa yang ngambil kesucian lo? Sembarangan aja kalau ngomong!” Reiki balas membentak, tak terima dengan tuduhan Irene padanya.
“Jadi lo mau nyangkal? Kita berdua tidur di kamar yang sama, terlebih kita tidur satu ranjang. Terus kondisi gue semalam juga lagi mabuk. Jelas lo udah nidurin gue, kan?” Irene menghentakan kedua tangannya sehingga terlepas dari cekalan Reiki. Dia memeluk lututnya dengan air mata yang semakin mengalir deras dari pelupuk matanya.
“Lo jahat, Rei. Lo b******n. Lo udah janji bakalan penuhin syarat yang gue kasih ke lo, tapi nyatanya lo bohong. Lo langgar janji lo sama gue. Lo jahat Rei, sumpah lo cowok paling b******k yang pernah gue kenal. Gue nyesel udah nikah sama lo. Gue nyesel udah percaya sama lo. Cowok macam lo emang gak pantes dikasih kepercayaan,” ucapnya, tanpa jeda. Dia membenamkan wajah di kedua lututnya. Isak tangisnya melengking memenuhi seisi kamar.
Reiki mendesah lelah seraya memutar bola matanya. Dia sebal melihat sikap konyol Irene yang asal menuduhnya tanpa menyelidikinya terlebih dahulu.
“Gue kan udah bilang jangan asal nuduh. Emangnya siapa sih yang nidurin lo? Harusnya lo ngucapin makasih sama gue. Gue udah bawa lo pulang dari restoran tempat lo mabuk-mabukan. Coba deh lo pikir, gimana jadinya kalau gue gak datang kesana terus bawa lo pulang kesini? Mungkin aja kan lo bener-bener ngelakuin hal gila sama cowok gak jelas di luar sana.”
“Emang apa bedanya, toh gue udah ngelakuin hal gila sama lo, kan? Tetep aja hidup gue udah hancur sekarang!” Irene mendongak menatap penuh kebencian pada Reiki. Sedangkan Reiki tetap mempertahankan ekspresi datarnya, tak terlihat iba sama sekali melihat tangisan Irene.
“Lo masih perawan kan, Ren?” tanya Reiki tiba-tiba. Irene melongo mendengarnya.
“Haah, apa maksud lo?”
“ Udah lo jawab aja pertanyaan gue.”
“Ya iyalah, gue masih perawan. Harusnya lo paling tahu, kan? Soalnya lo ... lo udah ....” Irene tak sanggup lagi melanjutkan perkataannya. Dia terlalu sedih menyadari dirinya kini telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga miliknya yang telah dia jaga seumur hidupnya. Kembali dia terisak pilu.
“Sekarang coba lo rasain ada yang berubah gak di diri lo? Kalau lo emang masih perawan harusnya lo ngerasain sesuatu yang beda kalau gue emang udah nidurin lo.” Irene sesenggukan tapi tak ada satu pun kata yang terucap dari bibirnya. Dia sedang memikirkan perkataan Reiki yang jika dipikir-pikir ada benarnya.
Dia memperhatikan dirinya, lalu beranjak turun dari atas tempat tidur. Dia berjalan perlahan bagai balita yang sedang belajar berjalan. Lagi, Reiki memutar bola matanya malas melihat tingkah laku Irene yang berlebihan menurutnya.
Tiba-tiba Irene tersenyum sumringah. Reiki benar, dia tak merasakan perbedaan apa pun pada dirinya. Sepertinya pria itu berkata jujur, dia tidak melakukan tindakan tak senonoh pada dirinya, Irene tentu saja merasa lega.
“Gimana? Lo percaya kan sama gue? Atau perlu gue temenin lo ke rumah sakit buat periksa keperawanan lo?” Irene berjengit kaget mendengar pertanyaan Reiki. Cepat-cepat dia gelengkan kepalanya. Mulutnya sudah terbuka hendak menyahut namun dia urungkan ketika tanpa sengaja ekor matanya menatap pakaiannya yang berserakan di lantai. Masih jelas melekat di ingatannya, kemarin dia mengenakan pakaian itu.
Irene mengalihkan tatapannya ke arah tubuhnya sendiri. Dia bekap mulutnya ketika baru saja menyadari bukan pakaian kemarin yang melekat di tubuhnya. Melainkan piyama tidurnya. Irene yakin bukan dirinya yang mengganti pakaiannya karena dia tak mengingatnya sama sekali. Dia memicingkan matanya, menatap tajam sekaligus penuh curiga pada Reiki.
“Apa lagi sekarang?” tanya Reiki, menyadari tatapan menuduh lainnya dari Irene.
“Lo, lo kan yang udah gantiin baju gue? Ngaku aja gak usah ngelak lagi,” tuduhnya sambil memelotot seram pada Reiki.
“Emangnya siapa yang mau ngelak? Denger ya, gue bukan tipe orang yang suka bohong. Kalau emang gue lakuin pasti gue ngaku kok, tapi kalau gue dituduh ngelakuin sesuatu yang gak gue lakuin, gue jelas bakalan ngelak.”
“Terus... jadi lo...”
“Ya, emang gue yang gantiin baju lo. Harusnya lo ngucapin makasih sama gue. Gue kasihan lihat baju lo kena muntahan lo sendiri, jijik mana bau lagi. Gue bela-belain gantiin baju lo, walaupun sebenernya gue gak pengen liat badan lo yang kurus kerempeng itu,” sela Reiki membuat Irene menggeram kesal karena perkataannya disela. Jawaban Reiki yang terkesan menghina tubuh langsing yang amat dijaganya, juga sukses semakin menyulut emosinya.
“Ooh sori, udah buat lo ngeliat sesuatu yang gak pengen lo liat. Harusnya lo cuekin aja gue, biar aja baju gue kena muntahan gue yang bau. Gue gak masalah tidur pake baju kena muntahan gue sendiri,” balasnya, tak terima.
“Ya, lo gak masalah tapi jelas malasah bagi gue. Emangnya lo pikir gue bisa tidur kalau orang di samping gue bau muntahan?” Reiki berujar tak mau kalah.
“Lagian siapa yang nyuruh lo bawa gue ke kamar lo? Kenapa lo gak bawa gue ke kamar gue aja? Gue kan udah sewa kamar gue sendiri.” Reiki menggelengkan kepalanya. Dia kurang tidur semalam karena mengurusi Irene yang mabuk berat. Baru tidur kurang lebih 2 jam, sekarang telinganya sakit mendengar celotehan Irene yang tak ada habisnya.
Reiki turun dari ranjang, dia berniat ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun belum sempat kakinya masuk ke dalam kamar mandi, Irene sudah mencekal tangannya. Menahannya agar tidak pergi.
“Jawab dulu pertanyaan gue tadi? Kenapa lo bawa gue ke kamar lo bukannya ke kamar gue sendiri?” Reiki memijit pangkal hidungnya. Dia pusing menghadapi kecerewetan Irene.
“Gue kan udah bilang kamar ini udah dipesenin bunda buat kita, jadi ya emang seharusnya kita tidur di sini. Udah ya, jangan dibahas lagi. Kepala gue pusing dengerin omelan lo yang gak ada habisnya.”
“Gue juga kan udah bilang kalau lo gak ngadu sama nyokap lo, dia gak bakalan tahu kita tidur beda kamar. Lo aja yang lebay mikirnya. Mana dia tahu kalau gak ada yang ngasih tahu dia.” Reiki menghentakan tangannya yang dicekal Irene. Lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi, tak peduli lagi dengan apa pun yang diocehkan Irene.
“Hei, gue belum selesai ngomong. Denger ya, pokoknya gue gak mau lagi tidur di kamar ini sama lo. Titik gak pake koma. Lo denger kan Mr. Gamer belagu?!” teriaknya kencang.
“Hotel ini milik keluarga Altezza. Sekarang gue harap lo ngerti alasan gue ngotot nyuruh lo tidur disini.” Dan jawaban Reiki itu membuat Irene melongo sepenuhnya. Sulit dia percayai hotel mewah di Seoul yang ditempatinya sekarang ini ternyata salah satu properti milik keluarga suaminya. Oh katakan dia salah dengar barusan. Dia tidak bisa membayangkan sekaya apa keluarga suaminya itu.
Reiki tengah melakukan aktivitas mandinya, sedangkan Irene sibuk memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Dia mengernyitkan hidungnya jijik ketika mencium bau tak sedap dari bekas muntahan di kaosnya.
“Uuh, ternyata emang bau banget,” gumamnya, menyetujui perkataan Reiki tadi. Dia menelisik seisi kamar yang ditempatinya sekarang. Kamar yang katanya sengaja dipesankan sang ibu mertua untuk dirinya dan suami.
Irene berdecak kagum, kamarnya itu dua kali lipat lebih luas dari kamar yang disewanya. Fasilitasnya juga lengkap dan mengagumkan. Televisi berukuran raksasa yang terpasang di dinding dengan sempurna. Kursi dan meja dari kayu yang terlihat mewah. Sangat pantas kamar itu menjadi kamar VIP.
Tatapan Irene kini terjatuh pada alat elektronik yang disimpan di atas nakas. Dia tahu itu peralatan untuk bermain game. Irene melangkah mendekati alat itu, dia pegang alat menyerupai earphone yang sangat dikenalnya. Sebuah alat untuk log in ke dalam game online bernama GHO yang dia promosikan belum lama ini.
“Gila ya, dia tetep bawa game ini padahal lagi bulan madu. Kayaknya hidupnya emang gak bisa lepas dari game. Dasar maniak,” gumamnya pelan, namun masih bisa didengar jelas oleh pria yang tanpa disadarinya sedang berdiri tidak jauh darinya.
“Jangan pegang-pegang peralatan punya gue,” ucap Reiki datar dan dingin. Sontak Irene menoleh ke arah Reiki, namun cepat-cepat dia berpaling ke arah lain dengan wajah merona ketika melihat penampilan Reiki yang nyaris telanjang di depannya. Hanya bagian bawah tubuhnya yang terlilit handuk putih.
“Urat malu lo putus, ya? Gak malu apa nyaris telanjang gitu di depan cewek?”
“Biasa aja. Lagian gue juga udah liat badan lo kok, jadi gue gak keberatan kalau lo mau liat badan gue.” Irene melotot seraya mengepalkan tangannya erat.
“Ternyata lo emang cowok m***m. Semua di diri lo cuma ada sifat-sifat negatifnya aja, gak ada sifat positifnya. Heran gue, ada gitu cowok kayak lo.”
“Ada kan, nih di depan mata lo.” Irene memutar bola matanya malas mendengar jawaban Reiki yang bukannya menyanggah malah mengakui semua kebenaran perkataan Irene.
“Lo jangan pegang-pegang peralatan punya gue. Lo gak denger ya tadi?” tambah Reiki karena Irene masih betah memegangi earphone miliknya.
“Lo aja udah pegang-pegang badan gue kan pas gantiin baju gue? Jadi apa masalahnya kalau gue pegang peralatan punya lo? Pelit amat sih, jadi pengen gue banting aja nih alat,” sahutnya, sembari dia angkat tinggi earphone di tangannya seolah dia benar-benar ingin membantingnya.
Tanpa diduga Irene, Reiki berjalan cepat ke arahnya. Lalu mencekal tangannya yang terangkat tinggi. Dia rebut paksa earphone di tangan Irene, membuat si korban meringis kesakitan karena Reiki terlalu kasar mencengkram tangannya.
“Aduh, sakit b**o!” bentak Irene seraya dia hentakan tangannya agar terlepas dari cengkraman Reiki.
“Salah lo sendiri mau banting NECON gue. Asal lo tahu aja, GHO ini penting banget buat gue.” Irene terdiam, dia baru ingat kalau alat menyerupai earphone itu bernama NECON atau Nerv Conection. Padahal dulu dia yang mengumumkan nama alat itu dalam iklan promosi GHO yang dibintanginya. Dia berdeham untuk menyembunyikan rasa malunya. Untung saja Reiki tidak tahu kalau Irene melupakan nama alat itu, jika dia tahu pasti dia mengejek Irene habis-habisan.
“Haah? Itu kan cuma game online. Gila aja permainan kayak gitu dianggap penting. Kayak gak ada kerjaan lain aja lo,” sindir Irene.
“Lo gak tahu apa-apa tentang gue, Ren. Jadi jangan ngomong sembarangan.” Reiki mengatakannya dengan serius, entah mengapa membuat Irene seketika kehilangan kata-kata untuk menyahut. Dia pun membuang muka, memutus kontak mata mereka. Dia tak nyaman melihat tatapan serius Reiki, sesuatu yang jarang diperlihatkan pria itu. Sejauh ini baru sekarang dia melihat pria itu memasang wajah seserius itu, padahal biasanya dia selalu memasang wajah datar di depan Irene.
Irene jadi bertanya-tanya, memangnya ada apa di game GHO sampai Reiki menganggapnya sepenting itu? Dia tidak marah diomeli Irene sejak pagi tadi, tapi dia langsung marah hanya karena Irene berniat membanting peralatan untuk log in ke dalam GHO.
“Terserah lo,” jawab Irene cuek, sambil dia tendang kaki Reiki dengan kaki kanannya. Sontak Reiki merintih kesakitan karena ulahnya.
“Dasar cewek gila.”
“Pembalasan dari gue, emangnya lo pikir tangan gue gak sakit tadi,” timpal Irene seraya dia menjulurkan lidahnya keluar, mengejek Reiki. Dia pun melenggang cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Irene mendapati Reiki tengah membereskan isi kopernya begitu dia keluar dari kamar mandi. Suaminya itu pun sudah berpakaian rapi seperti bersiap untuk pergi. Irene mengernyitkan dahi, dia bingung melihat tingkah laku Reiki yang berubah-ubah. Di saat dirinya sudah menerima sepenuhnya tidur sekamar dengan pria itu, dia justru berniat untuk pergi. Irene lelah menghadapi keanehan Reiki.
Irene berpura-pura tak peduli meskipun tanda tanya besar sedang bergelayutan di dalam hati dan pikirannya. Dia melewati begitu saja sosok Reiki yang sedang duduk di pinggir ranjang mereka dengan tangannya yang masih sibuk membereskan barang-barangnya di dalam koper.
“Lo juga cepetan beresin barang-barang lo,” ucap Reiki tiba-tiba. Irene semakin mencuramkan kernyitan dahinya.
“Beres-beres? Emangnya kita mau kemana?” tanyanya penasaran.
“Lo sendiri kan yang bilang lo bosen jalan-jalan di Korea? Lo pengen pergi ke tempat lain yang beda. Tempat yang belom pernah lo kunjungi. Gue cuma mau penuhi keinginan lo supaya lo seneng.”
“Emangnya kita mau kemana?” Irene bergidik ngeri ketika melihat Reiki menyeringai di depannya.
“Kejutan, nanti juga lo bakalan tahu. Gue jamin lo pasti suka. Sekarang lo kemasi barang-barang lo. Gue tunggu di luar.” Reiki mendorong kopernya dan melangkah mantap menuju pintu.
“Gue gak mau pergi sebelum tahu lo mau ajak gue kemana. Bisa aja kan lo punya niat jahat sama gue. Gue...”
“Satu jam lagi pesawat kita berangkat,” sela Reiki, Irene melongo dengan mulut terbuka, tak percaya mendengarnya.
“Heeh, seenaknya aja asal pesen tiket. Lo aja gak nanya dulu pendapat gue. Seharusnya lo...”
“Gue juga udah pesen taksi, gue tunggu lo di dalam taksi yang parkir tepat di depan hotel ini.”
Irene menggeram seraya menjambak rambutnya frustasi karena terlalu kesal perkataannya untuk kesekian kalinya disela oleh Reiki. Sedangkan Reiki kini sudah melenggang keluar dari kamar, mengabaikan sepenuhnya teriakan Irene yang mengumpatinya.