-12-

1064 Kata
"Rinjani Samita Aruna?" "Iya, Kak." "Asli Surabaya?" "Iya." "Sudah tahu besok harus bawa apa aja?" "Sudah, Kak." "Perlengkapannya sudah punya semua?" "Sudah." "Pacar juga sudah punya?" Lalu terdengar suara-suara jahil, ngeledekin kakak tingkat yang barusan nanya-nanya. Sementara aku cuma diam. Lihatin kating di depanku yang malah senyum-senyum bangga. Emangnya, apa yang bisa dibanggain dari modusin adik tingkat? Apa dengan begitu dia merasa jadi cowok paling keren? "Wah, kalo diem aja berarti punya tuh, Bal! Nggak ada jalan buat kamu!" Aku nggak tahu siapa namanya, tapi jelas kalo kating yang rambut ikalnya diikat itu salah satu teman kating di depanku. "Kayaknya tadi pagi aku sempat papasan deh, kalo nggak salah dia dianterin cowok, tapi pakai seragam hitam putih juga!" sahut yang lain. Aku sama sekali nggak tertarik buat merespon mereka. "Beneran udah punya pacar?" tanya kating di depanku lagi. "Waaah, tatapan matanya nggak nahan bro!" seru yang lain karena aku cuma diam lihatin kating yang sedari tadi nggak berhenti nanyain aku. "Ada turunan bule ya, dek?" "Chinese kayaknya deh!" "Lumayan tuh kalo dapet, bisa memperbaiki keturunan si Iqbal!" "Tapi ngerusak keturunan yang cewek!" Lalu pecah tawa tiga orang di belakang kating yang baru kutahu namanya Iqbal. Kalo aja tadi nggak nekat ke toilet sendiri, mungkin aku nggak akan dikerjain kayak gini. Tapi aku sendiri bukan tipe orang yang harus ada temen sekedar buat ke toilet. Aku nggak keberatan kalau memang harus jalan sendiri ke mana-mana, nggak peduli orang bakal lihat dengan tatapan aneh. "Mau nggak jadi pacarku?" Dan sorakan tiga kating cowok itu makin terdengar nyaring. Selagi aku diam menatap kating bernama Iqbal, pikiranku tiba-tiba tertuju ke Mas Abhi. Apa ... Mas Abhi juga ngomong gini ke Mbak Selomita, atau pacar-pacarnya yang dulu? * * * "Kayaknya baru kemarin kamu masih pakai seragam sekolah." "Maksudnya, Mas lebih seneng aku jadi anak kecil terus?" Mas Abhi tersenyum. Aku diam. Mengamati sosok Mas Abhi yang emang sangat jarang bisa kutemui sejak dia mahasiswa. Bahkan setelah menyelesaikan pendidikan S-1nya, Mas Abhi lanjutin dengan mengikuti semua tahap untuk jadi spesialis, dan sekarang tahun terakhir masa PTTnya, sebelum kemudian benar-benar menjalani pendidikan spesialis. Lebih dari setengah dari waktunya itu, dihabiskan di luar Surabaya ... bareng pacarnya tentu saja. Mulai dari masa Koas, internship, sampai PTT sekarang ini. Dan pacarnya masih sama, Mbak Selomita. Dia pacar Mas Abhi yang paling awet. Mungkin keduanya memang sudah sangat cocok. Mungkin juga keduanya sudah masuk ke jenjang serius, karena beberapa kali aku tahu dari Bia atau Arsa, kalau Mas Abhi sering diajak ke acara keluarga Mbak Selomita. Dira sampai meledekku masih ngarepin calon suami orang. "Gimana rasanya udah jadi mahasiswa?" "Biasa,” jawabku singkat. "Biasa?" Aku mengangguk. Sejak Mas Abhi mengenalkan pacar ketiganya, komunikasiku dengan Mas Abhi memang udah jauh beda. Dengan sengaja aku menarik diri, didukung kemudian dengan kesibukan Mas Abhi, jadinya hubungan kami perlahan juga mengalami perubahan ... makin renggang. Meski kami cukup sering ngobrol di telepon, tapi sangat beda rasanya bicara dengan Mas Abhi yang dulu dengan sekarang. "Esta apa kabar?" tanyanya yang juju raja bikin aku agak kaget. Soalnya jarang-jarang dia nanyain sahabat baikku itu. "Baik." "Masih sering main bareng?" Aku mengangguk lagi. "Kata Papa, dia juga yang antar jemput ke kampus?" Kesekian kali aku merespon pertanyaan Mas Abhi cuma dengan anggukan kepala. Rasanya canggung. Padahal dulu kami sangat dekat. Kami bisa bicara tentang apa saja, dan nggak harus menunggu ketemu, karena kadang orang tua kami membantu menghubungkan via telepon, terutama saat kami masih kecil. Tapi sekarang ... kami seperti kehabisan bahan obrolan. Bagiku, sosok Mbak Selomita seperti dinding tinggi nan terjal yang jadi pembatas dan nggak akan bisa aku lampaui. Menyadari hal itu, aku kemudian milih merelakan perasaanku pada Mas Abhi, meski dalam hati aku masih belum bisa benar-benar ikhlas melakukannya. Masih ada sedikit dari hatiku yang berharap suatu hari nanti keadaan berubah dan hubunganku sama Mas Abhi bisa kembali seperti dulu. Diam-diam aku masih saja kangen Mas Abhi. Diam-diam, aku selalu ingat bagaimana manisnya masa kecil kami. "Mbak nggak nyusul ke sini?" tanyaku basa-basi. Nggak tahu lagi aku harus ngobrol apa sama Mas Abhi sekarang ini. Karena memang aku secanggung itu, sampai nggak punya topik obrolan menarik yang bisa menghubungkan minat kami seperti dulu. "Kami ... baru putus seminggu lalu." * * * "Halah, paling juga nanti gandeng cewek baru lagi." "Adek ih!" "Apa? Omonganku salah? Coba Kakak ingat, sejak Mas Abhi dibolehin pacaran, berapa lama dia betah ngejomblo sehabis putus?" Nggak lama juga, timpalku dalam hati. Faktanya emang gitu. Tiap putus, nggak butuh waktu lama buat Mas Abhi ngenalin pacar barunya. "Kita tunggu coba, sekarang bakalan berapa lama sampai dia ngajakin Kakak makan es krim terus ngenalin pacar barunya." Aku buang nafas panjang dengar ucapan Dira. Lagi-lagi yang Dira bilang emang benar. "Udah deh, mending Kakak sama Mas Esta, atau Mas Tara aja?" "Hush! Sembarangan kalau ngomong!" "Kok sembarangan?" "Esta itu cuma temen, kalau Tara ... udah kayak adek sendiri." "Halah, tadinya Mas Abhi juga kayak Mas sendiri. Ujung-ujungnya juga Kakak naksir!" "Kayak kamu nggak naksir Mas Abhi aja!" "Emang naksir, tapi nggak sampe kayak Kakak, yang nggak mau pacaran karena masih ngarepin Mas Abhi." Lagi ... kata-kata Dira nggak bisa kusanggah. "Lagian ya Kak, Mas Esta atau Mas Tara jelas lebih baik dari Mas Abhi. Maksudku, mereka berdua nggak pernah kan nyakitin hati Kakak?" "Mas Abhi nggak sengaja ngelakuin itu, karena dia nggak tau perasaan kakak," sanggahku masih coba cari pembenaran. Meski aku udah dikecewain sosok yang tengah kubela. "Gimana mau tahu, Kakaknya nggak mau ngaku! Giliran mau dibantuin juga nggak mau! Mau sampai kapan?" Sekali lagi aku buang nafas panjang sambil natap langit-langit kamar. "Ibu aja harus ngambek dulu biar Ayah tahu kalau Ibu cemburu. Ayah juga harus berantem dulu sama Bunda Farah, biar Bunda tahu kalo Ayah sayang sama Bunda nggak lagi sebagai sahabat kan?" Aku refleks tersenyum, gara-gara Dira, aku jadi inget cerita Ayah tentang hubungannya dengan Bunda dan Ibu dulu. Ayah kami, emang pernah cerita salah satu kenangan yang masih kuat tertanam pada kami suatu hari. "Jangan sampe telat, nanti pas Mas Abhi ngenalin cewek barunya, Kakak patah hati lagi, nangis lagi. Kalo kejadian, aku jamin deh ... Dek Cakra nggak bakal diem aja kali ini." "Hah??" Sontak aku noleh ke kanan, lihatin Dira yang berbaring di sampingku. "Dek Cakra sendiri yang bilang, kalo Kakak nangis gara-gara Mas Abhi dan pacar barunya lagi, dia sendiri yang bakal nonjok Mas Abhi." "HAH!?!?" "Dan aku tahu dia super serius," timpal Dira dengan sungguh-sungguh. ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN