-13-

1019 Kata
"Siapa lagi?" "Hah??" "Mas mau ngenalin aku sama siapa lagi?" tanyaku dengan sorot nggak terputus dari Mas Abhi. Jujur aja, aku masih kaget dengan kehadiran mendadak Mas Abhi di kampus. Mungkin dia nanya-nanya Ayah atau Ibu, ke mana harus mencariku kalau lagi di kampus. Karena tanpa menghubungiku sekalipun, Mas Abhi bisa menemukanku yang lagi nongkrong di salah satu cafe dekat kampus buat ngerjain tugas. "Mau ngenalin siapa?" Mas Abhi balik nanya dengan wajah bingung. Aku narik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Kayaknya efek omongan Dira beberapa malam lalu, aku jadi parno gitu Mas Abhi ngajakin ke kedai es krim langganan kami dulu. "Lupain deh Mas omonganku tadi," kataku kemudian. Mas Abhi mengerjap, masih kelihatan bingung. "Lagian aku mau ketemu dosen bentar lagi, jadi nggak bisa ke mana-mana," tambahku. Bukan cari alasan buat hindarin dia, tapi aku emang udah ada janji dengan salah satu dosen setengah jam lagi, setelah beliau selesai mengajar. "Maaf Mas lupa, sibuknya anak sekolahan sama mahasiswa jelas beda ya, Jan?" Aku cuma tersenyum sekilas. "Ya udah, lanjutin ngerjain tugasnya." "Mas sendiri?" "Mmm, kalo nggak keberatan, Mas di sini sampai Jani ketemu dosen nanti." Aku mengedik ringan, lalu kembali ngerjain tugas yang sempat tertunda karena kedatangan Mas Abhi. Dia benar-benar bertahan duduk di depanku. Sambil menikmati minuman yang dipesannya, Mas Abhi cuma terlihat sesekali memegang ponsel, habis itu perhatiannya kembali tertuju ke aku. Bukannya ngarang, tapi emang beberapa kali kami nggak sengaja bertemu pandang. "Jani," panggil Mas Abhi waktu aku meluangkan beberapa detik buat bales pesan si Esta yang baru masuk. "Ya?" tanyaku masih dengan pandangan tertuju ke layar ponsel. "Sudah boleh pacaran belum sama Ayah?" Lihat aku ngerutin kening, Mas Abhi malah tersenyum. “Kan Jani udah besar, udah dapat ijin pacaran dari Ayah?” Aku diam selama beberapa saat, coba nyerna maksud pertanyaan Mas Abhi. “Atau jangan-jangan udah pacaran sama Esta?” “Esta sahabat baikku,” jawabku kali ini lugas. Rasanya aku bosan jawab pertanyaan macam ini, dan Mas Abhi adalah orang kesekian yang nanya tentang hubunganku dan Esta. “Jadi, masih sebatas sahabat?” “Iya, dan nggak lebih.” Mas Abhi malah kembali tersenyum setelah dengar responku. * * * "Kenapa pakai berantem sih, Dek?" "Diajak ngomong baik-baik udah nggak bisa." "Ya tapi nggak terus berantem kan?" "Terus, lapor guru BP? Menurut Kakak dia bakalan kapok kalo dilaporin? Jelas nggak lah!" Aku membuang nafas agak keras. Si bungsu kami hari ini kena skors. Gara-garanya dia ninju dua teman sekolahnya. Kalau dari cerita Cakra, juga Ayah yang tadi ke sekolah buat jemput si jagoan, katanya semua karena Cakra belain temennya yang dibully dan dimintain duit sama dua orang yang dapat tinju Cakra tadi. Salah satu sifat yang sudah sangat kelihatan sejak dia kecil. Baik sih, nolong orang yang lemah, cuma caranya aja yang suka bikin kami gedeg. "Memangnya kamu nggak kasihan sama Ayah Ibu?" "Ya kasihan, tapi kalo aku nggak bantuin temenku, siapa lagi yang bisa bantuin dia? Modelan sok preman gitu bisanya cuma dibikin kapok pakai tinju!" "Kamu juga sok preman," ledekku yang cuma dibalas lirikan malas sama Cakra. "Pulang sana! Aku masih mau main lagi!" Si bungsu ini malah mengusirku, terus dengan cueknya malah balik main basket lagi. Jangan tanya kenapa dia masih bisa keluyuran, padahal hari ini sudah bikin masalah. Cuma Ayah yang bisa jelasin itu. Tapi yang pasti, Ayah jelas belum bilang Ibu kalau Cakra masih diijinin keluar rumah setelah kena skorsing. "Cepet pulang sebelum Ibu datang!" ingatku selagi dia belum jauh mendrible bolanya. "Yo!" Bukan pertama kali, tapi selalu ... aku dibuat geleng-geleng dengan tingkahnya. "Sudah ketemu adekmu?" tanya Ayah begitu aku sampai rumah dan menemui beliau yang sedang mencuci sayuran, untuk makan malam nanti pasti. "Ada tuh di lapangan." Kepala beliau mengangguk. "Lain kali jangan dibolehin main dulu deh, Yah. Nggak bakal ada kapoknya nanti," ujarku sambil mencuci tangan lalu mengambil alih pekerjaan Ayah. "Terus kalo dikurung, dia bakal kapok dan nggak bakalan berantem lagi?" Aku melirik Ayah yang mengeringkan tangan di sampingku. "Like Ayah like Son." Ayah tersenyum dengar kalimat sindiranku. "Like Ibu like daughter," balas beliau lalu mengecup sisi kepalaku dan mengacak lembut rambutku. Nggak ada yang bisa kudebat kalo udah begini. Bakalan susah dan nggak ada hasilnya. "Paling nggak, Ayah telepon dia biar pulang sebelum Ibu datang!" seruku ketika beliau sudah berjalan keluar area dapur. "Kakak pasti udah ingetin kan?" See! Sesantai ini memang Ayah, meski tahu anaknya habis ninju anak orang lain dan diskors. Makanya Ibu sampai capek sendiri ngomong sama Ayah. Tapi aku tau, Ayah nggak benar-benar secuek itu. Diam-diam Ayah sebenarnya sudah marahin Cakra, diam-diam Ayah sebenarnya juga sudah ngingetin Cakra. Dira yang nggak sengaja pernah lihat Ayah marahin Cakra. Dia sampai bilang Ayah nyeremin kalau lagi marah. Tapi memang dasarnya Cakra yang ndableg kalo dibilangin. Maksudku untuk urusan berantem dan bela membela ini. Kalo untuk urusan lain, sudah pasti dia akan langsung patuh. "Ca!" panggil Ayah dari ruang tengah. "Ya, Yah?" "Mas Abhi ke sini nggak malam nanti?" "Mana Caca tahu! Tanya aja langsung sama anak Ayah itu!" Nggak tahu seperti apa reaksi Ayah, tapi biasanya kalo kami ledekin Mas Abhi itu anak Ayah, beliau cuma akan tersenyum. Karena memang sesayang itu Ayah sama Mas Abhi, sampai kadang kami nggak tahu lagi harus nyebut Mas Abhi itu anak Papa Ucha, atau malah anak Ayah. Kata Ibu, mungkin karena dulu waktu kecil Mas Abhi memang lebih nempel sama Ayah ketimbang sama Papa Gama atau Papa Luthfi. Kalau ini aku paham, meski Papa Gama sama Papa Luthfi itu super lucu dan menyenangkan, tapi siapa yang betah berlama-lama sama beliau berdua, kalau setiap saat kami harus siap mental bakalan dijahilin seperti apa lagi. Yang aku ingat, dulu Tara pernah didandanin kayak cewek gara-gara Papa Gama gemes lihat baju dress Mbak Ayik, sementara Mbak Ayik nggak suka dress. Dan tiba-tiba aku ingat pertanyaan Mas Abhi beberapa hari lalu. "Belum boleh ya?" "Kalaupun boleh, aku yang nggak mau pacaran dulu." "Kenapa?" "Mau fokus kuliah." Dia diam mengamatiku. "Ayah udah kerja keras biar aku bisa kuliah. Jadi prioritasku kuliah, pacarannya nanti aja kalo udah kerja." Usai mengatakan itu, Mas Abhi malah tersenyum sambil mengulurkan tangan dan membelai puncak kepalaku. Efek putus cinta yang aneh. ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN