"Sakit apa?"
"Nggak tahu, cuma bilang pusing, terus mau tidur dulu."
Aku diam, meniti sisa anak tangga sambil membawa nampan, ditemani Bia.
Sampai di depan kamar Mas Abhi, Bia membantuku buka pintu lalu pamit.
Suasana kamarnya temaram, karena lampu di kamar padam. Untungnya ada tirai yang masih terbuka, jadi ada sedikit bantuan penerangan dari luar.
"Mas," panggilku pelan setelah duduk di pinggiran ranjang dan meletakkan nampan di atas nakas.
"Mas Abhi," panggilku lagi karena nggak ada tanda-tanda dia bangun.
Sengaja aku memberi jeda beberapa saat, sebelum kemudian memanggilnya lagi.
"Masih pusing?" tanyaku ketika mata Mas Abhi akhirnya terbuka.
"Hmm," sahutnya dengan suara parau.
"Bangun bentar ya? Aku bawain makan sama obat."
Mas Abhi nggak langsung jawab.
Dia mengerjap beberapa kali kemudian meregangkan badan. Perlahan dia bergerak, dengan posisi duduk dan bersandar ke headboard.
"Makan sendiri bisa kan?"
Mas Abhi ngangguk sambil mengulurkan tangan. Aku segera ambil segelas air biar dia minum lebih dulu, baru ambil piring di atas nampan.
"Kalau nggak bisa, aku bisa suapin,” kataku sambil berdiri buat buka tirai lebih lebar biar cahaya yang masuk lebih banyak, habis itu balik duduk lagi.
Mas Abhi tersenyum. "Sama siapa ke sini?" tanyanya sambil mengaduk nasi dan sup ayam sebelum kemudian menyendoknya.
"Dianterin Esta tadi."
Dengar jawabanku, Mas Abhi sontak menatapku selama beberapa detik. "Dia di bawah?"
"Nggak, langsung pulang tadi."
Dia diam dan mengunyah makanan dalam mulutnya.
"Mas kurang istirahat ya?" tanyaku memecah kesunyian yang sempat terasa beberapa saat.
Responnya kali ini cuma tersenyum.
"Atau telat makan?" tambahku.
Lagi-lagi dia cuma tersenyum. Membuatku nggak tahu mau nanya apalagi.
Kecanggungan di antara kami jelas masih terasa.
Karena nggak mungkin aku lihatin dia makan, akhirnya aku milih mengarahkan pandangan ke lemari kaca, tempat Mas Abhi memajang mainan koleksinya sejak kecil. Posisinya ada di samping meja kerja. Kalau dari posisiku duduk sekarang, aku harus menoleh 90 derajat ke kanan.
"Jani udah makan?"
"Udah," jawabku sambil menoleh sekilas, terus kembali memperhatikan koleksi Mas Abhi.
"Di kampus?"
"Iya."
"Sama siapa?"
Kali ini aku menoleh kembali ke arah Mas Abhi. "Esta, tadi kuliah dia kosong, jadinya main ke kampusku."
Mas Abhi diam, tangannya mengaduk nasi yang baru berkurang sedikit.
"Esta baik sama Jani?" tanyanya lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulut.
"Baik," timpalku sambil ngangguk.
"Jani suka?"
Kali ini aku yang diam, nggak tahu apa maksud pertanyaan Mas Abhi.
"Jani suka punya teman Esta?"
Ooh, maksudnya teman.
Kali ini aku mengiyakan tanpa ragu. Tatapan Mas Abhi jatuh ke arah tangannya yang memegang sendok dan kembali mengaduk-aduk nasi.
Selama beberapa saat, suasana kembali sepi. Cuma terdengar suara denting sendok beradu dengan piring.
"Lebih suka ditemani Esta atau Mas Abhi?"
Tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Apalagi Mas Abhi menatapku lekat.
Butuh hampir semenit buatku menguasai diri. Sampai ketika aku siap membuka mulut untuk menjawab, sebuah suara dari arah pintu menghentikanku.
"Bhi!"
Mbak Selomita ... berdiri di depan pintu kamar Mas Abhi dengan wajah khawatir.
Dan aku kembali mengatupkan bibir.
*
*
*
"Kemarin, kenapa nggak pamit sama Mas?"
"Papa Gama keburu, lagian takut ganggu juga."
"Ganggu?"
Aku tersenyum tipis, dengan pandangan tertuju ke deretan judul novel yang ada di rak. Yang aku maksud tentu saja tentang keberadaan Mbak Selomita di kamar Mas Abhi. Aku nggak mau ganggu mereka berdua.
"Padahal Mas mau anterin Jani pulang, tapi pas turun kata Bia malah udah pulang."
Aku nggak jawab, meski nyimak yang Mas Abhi bilang, tapi aku memilih fokus baca sinopsis di sampul belakang sebuah novel.
"Jani marah?"
"Marah kenapa?" Kali ini aku tanya balik sambil ngerutin kening dan menatap Mas Abhi yang sebenarnya masih terlihat agak pucat.
Mas Abhi nggak langsung jawab. Dia cuma diam tanpa melepas kontak mata kami, seperti sedang memastikan sesuatu.
Setelah menimbang-nimbang, aku memutus kontak mata kami lebih dulu dan meletakkan novel yang kupegang, lalu mencari-cari judul lain.
"Mas banyak lewatin waktu sama Jani ya?"
Aku diam. Tapi detak jantungku justru makin cepat.
Soalnya Mas Abhi mengikis jarak di antara kami, berdiri lebih dekat di samping kanan, satu tangannya berada di puncak kepalaku dan membuat gerakan membelai pelan.
"Padahal Mas udah janji bakalan nemenin Jani, selalu ada buat Jani juga, tapi Mas malah sibuk sendiri."
"Aku tahu," sahutku menoleh sekilas tapi dengan cepat kembali mengarahkan pandangan ke deretan novel, karena ternyata Mas Abhi sedang memperhatikanku dengan cermat. "Sibuknya mahasiswa beda dengan anak sekolah. Apalagi jurusan yang Mas ambil juga lebih susah dari aku sekarang. Jadi ... aku bisa maklum kok kalau Mas nggak lagi punya waktu sama aku atau adek-adek."
"Tapi harusnya Mas tetep bisa luangin waktu meski bentar, iya kan?"
Aku kembali diam.
Dulu aku memang sempat ingin protes begitu, tapi nggak pernah kusampaikan. Karena posisi Mbak Selomita waktu itu sepertinya sudah jadi prioritas Mas Abhi, bukan lagi aku atau Mbak Ayik seperti selama ini.
"Tapi Jani kayaknya baik-baik aja ya?"
Baik-baik aja?
Maksudnya??
"Kayaknya Esta gantiin Mas dengan baik."
Gantiin?
"Karena itu Jani nggak kehilangan Mas ya?"
Seketika aku menoleh dengan kepala mendongak, menatap Mas Abhi.
Sejujurnya di kepalaku sudah berderet pertanyaan buat dia, tapi kontak mata kami lagi-lagi membuatku seolah nggak bisa bersuara.
Semua tertahan dan hanya berputar di benakku sendiri.
"Sekarang, Jani lebih suka Esta daripada Mas kan?"
*
*
*
"Kenapa?"
Mendengar suara yang datangnya dari ambang pintu, bikin aku segera mengeringkan air mata yang membasahi wajah.
Untungnya posisiku tengah membelakangi pintu, jadi ada kesempatan untuk melakukannya.
"Kak?"
"Kok udah pulang?" tanyaku lalu bangkit dan duduk di tepian ranjang.
Bukannya jawab, sosok yang sudah berdiri di depanku malah menghembuskan nafas ... kesal terukir jelas di raut wajahnya.
"Siapa yang musti kutonjok?"
"Apaan sih dek!" protesku sambil mendongak, karena Cakra memilih buat tetap berdiri dengan ekspresi menahan marah.
"Terus, nangis gara-gara apa?"
"Siapa yang nangis?"
Pertanyaan balik dariku malah diresponnya dengan menjulurkan tangan.
"Terus ini basah kenapa? Keringet? Atau kehujanan?"
Sindiran Cakra membuatku refleks mencebik.
"Kata Bunda Deli, Kakak sakit. Nangisnya karena sakit?"
"Nggak sakit kok, cuman pusing."
"Pusingnya separah apa sampe nangis?"
Aku langsung bungkam.
Kenapa adik-adikku kalo nanya-nanya ngalahin interogator kepolisian.
"Siapa yang bikin Kakak nangis?" ulang Cakra dengan wajah kembali serius.
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Apa iya, aku harus ngaku kalau nangis gara-gara Mas Abhi?
Padahal baru beberapa hari lalu aku dibuatnya deg-degan. Apalagi waktu di toko buku. Tapi tadi siang, pas kami makan siang bareng, Mas Abhi malah bilang kalo baru balikan sama pacarnya.
Saat ingat perkataan Dira kapan lalu, seketika aku batalin niat buat ngaku ke Cakra. Bisa-bisa dia bakalan bener-bener nyari dan nonjok Mas Abhi.
Si bungsu ini nggak pernah main-main buat urusan bela membela, apalagi kalau udah ada hubungannya sama Kakak dan Mbaknya.
"Mas Abhi ya?"
"Hahh??"
Aku meneguk ludah susah payah setelahnya, menyesali reaksi spontanku yang bikin Cakra makin tajam menatapku.
"Kenapa jadi bawa-bawa Mas Abhi?"
Aku mencari alasan buat mengalihkan perhatian Cakra dari Mas Abhi.
"Aku tadi dari rumah Papa Ucha, terus lihat Mas Abhi sama pacarnya."
Mas Abhi dan pacarnya ... rasanya seperti ada yang mencubit hatiku.
"Perasaan, kemarin aku dengar Kakak sama Mbak lagi curhat-curhatan tentang Mas Abhi kan?"
Oke ... menyangkalpun, Cakra nggak akan lagi percaya. Toh kemarin dia memang sedang ada di sekitar kami waktu aku dan Dira sedikit cerita-cerita tentang Mas Abhi. Jadi, besar kemungkinan Cakra emang denger semuanya.
"Tahu gitu, kutonjok Mas Abhi tadi!"
"Adek! Nggak baik ah main tonjok-tonjok!"
"Habisnya, dia bikin Kakak nangis gini!"
"Bukan salah Mas Abhi kalau Kakak nangis, kan dia nggak tahu juga."
"Makanya kutonjok aja dia, biar tahu kalo kelakuannya itu udah nyakitin Kakak! Jadi kalau mau pacaran, putus, pacaran lagi, nggak usah pakai ngasih tahu Kakak! Memangnya Kakak semacam reporter infotainment, yang musti tahu kapan dia pacaran, kapan putus, kapan pacaran lagi?"
Cakra mengomel panjang lebar, dan aku nggak berani menyela.
"Serius deh ... biar kutonjok dia!"
***