Bab 1. Kuserahkan Semua Milikku Padamu.
"Aku serahkan diriku seutuhnya malam ini, Dito," engah Via seraya menikmati sapuan bibir Dito, kekasihnya, di leher jenjangnya. Tidak ada jawaban apa pun dari bibir Dito, hanya napas pria itu yang terdengar memburu. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk memulai inti permainan ranjang mereka.
"Dito, kamu janji ya setelah ini kamu jangan ninggalin aku," ucap Via seraya menahan d**a Dito dengan kedua telapak tangan. "Janji?" ucapnya kembali penuh harap.
"Hmmm." Hanya itu yang keluar dari mulut Dito dan tanpa membuang-buang waktu, dia melanjutkan aksinya menggerayangi seluruh tubuh polos Via yang berada di bawah kungkungannya.
"Aah!" erang Via saat dia merasakan ada sesuatu yang merangsek di antara kedua pahanya. Terasa begitu nyeri, tapi bercampur dengan gairah yang begitu membara. Dito benar-benar tidak memberi Via waktu untuk mempersiapkan diri saat dia bergerak memasuki inti tubuh gadis itu.
Hembusan napas yang memburu, erangan demi erangan, lenguhan, serta desahan memenuhi kamar hotel bercat putih itu. Kedua pasang manusia itu tenggelam dalam lautan gairah yang sepertinya tak akan pernah surut.
"Ditoo!" teriak Via memanggil nama kekasihnya seraya memeluk erat tubuh polos dengan otot-otot yang kokoh itu, seiring dengan gelombang kenikmatan yang mendesak dan meledak. Keduanya terkulai lemah di atas ranjang empuk berbalut sprei putih yang telah basah oleh hasil penyatuan mereka.
"Dito," panggil Via dengan suara serak.
"Apa, Sayang?" Dito yang terbaring lemas di samping Via menjawab dengan mata tertutup.
"Kamu janji kan nggak akan ninggalin aku?"
"Iya, aku janji."
Bibir Via menyunggingkan senyum penuh kelegaan. Rasanya dia tidak menyesal telah menyerahkan miliknya yang paling berharga malam ini pada kekasih yang begitu dia cintai. Dito pasti akan menikahinya, jika dirinya ternyata nanti hamil. Kecemasan Via pun menguap seiring dengan kantuk yang mulai menyerang.
Via terbangun dengan perlahan dari mimpi indahnya yang dipenuhi dengan aroma mawar merah. Sinar mentari pagi yang lembut menyentuh wajahnya, membuatnya memejamkan mata. Namun, ketika membuka mata, realitas pahit menerpa dirinya. Di sisi tempat tidur yang dingin dan kosong, tak ada sosok Dito yang biasanya ada di sana. Via meraih ponselnya dengan harapan menemukan pesan darinya, tetapi layar hanya menampilkan notifikasi yang terabaikan.
Hati Via terasa berat. Dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dan kebingungannya. Semalam, mereka berdua merayakan malam panas di kamar hotel mewah ini. Cinta mereka dipenuhi dengan tawa dan canda, dengan janji-janji manis tentang masa depan. Namun, sekarang Dito telah menghilang begitu saja.
Tak ingin merasa putus asa, Via mengirim pesan lewat aplikasi pesan, memperhatikan setiap detik yang berlalu dengan gelisah. Tetapi, setiap detik yang berlalu semakin jelas menunjukkan bahwa kekasihnya menghindarinya. Via merasa terpukul, pikirannya dipenuhi dengan spekulasi tentang alasan di balik tingkah laku Dito.
Berusaha untuk mengalihkan perhatian dari masalah ini, Via berjalan menuju kamar mandi. Air dingin menyirami tubuhnya dan memberikannya kelegaan sesaat dari beban pikiran yang menghantuinya. Namun, ketika matanya bertemu dengan cermin di depannya, sosok yang terlihat di sana adalah seorang wanita rapuh yang patah hati.
Melangkah keluar dari kamar mandi, Via mengambil ponselnya lagi. Kali ini, dia mencoba menelepon Dito langsung. Namun, suara dering yang berulang-ulang hanya menunjukkan bahwa panggilan itu tidak dijawab. Via merasa semakin putus asa dan kecewa. Dia tidak bermaksud untuk terus memaksakan kehendak, tetapi dia ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Setelah mempertimbangkan seluruh pilihan yang ada, Via memutuskan untuk pergi ke apartemen Dito. Dia melompat keluar dari tempat tidur, mengenakan pakaiannya yang berceceran di lantai dengan hati yang sedikit berdebar. Air mata tersemat di sudut mata dan dia berusaha keras untuk menahannya, bertekad untuk tetap kuat di hadapan Dito.
Tiba di depan pintu apartemen Dito, Via menarik napas dalam dan menekan bel. Satu, dua, tiga kali. Tidak ada reaksi. Pintu tetap tertutup rapat. Ketakutan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya membayangi pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Dito?
Dengan langkah penuh ketidakpastian, Via mulai memikirkan langkah selanjutnya. Sudahkah ia harus menyerah pada cinta yang telah dia bangun dengan Dito selama ini? Atau ada kemungkinan bahwa ini hanya kesalahpahaman yang bisa mereka selesaikan?
Namun, saat dia bersiap untuk pergi, pintu apartemen itu tiba-tiba terbuka dengan perlahan. Dito muncul di balik pintu, wajahnya datar. Ekspresi tak terduga itu menghentikan langkah Via. Saking terkejutnya, dia benar-benar lupa tentang segala perkataan yang siap dia lemparkan padanya.
"Kamu mau ngapain ke sini?" tanya Dito dingin.
"Mau ngapain? Kamu ninggalin aku di hotel sendirian tanpa pamit. Malah kamu pulang kemari!"
"Sorry, aku ada urusan tadi."
Via melongo. Sikap Dito menjadi sangat dingin padanya. Ada apa dengan kekasihnya itu. "Tapi nggak seharusnya kamu ninggalin aku tanpa pesan. Lagi pula kita kan bisa pulang bareng."
"Via, sebenarnya aku mau ngomong sama kamu."
"Mau ngomong apa?"
Dito menghela napas dalam-dalam. "Sepertinya aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita."
Petir seakan menyambar kepala Via saat mendengar ucapan Dito yang tak dia duga sama sekali. "Apa maksudmu, Dito?"
"Via, aku mau putus."
"Putus? T-tapi kenapa? Semalam kita ...."
"Maafin aku ya, Via."
"Tapi semalam aku sudah menyerahkan semuanya untuk kamu ...."
Dito menggeleng pelan, kemudian menutup pintu tepat di depan wajah Via. Hati gadis itu mencelos. Rasanya dia tidak lagi menginjak tanah. Apa yang diucapkan oleh Dito membuat jantungnya seakan-akan tidak lagi mampu memompa darah di dalam tubuhnya, sehingga Via merasakan seluruh anggota badannya tak berfungsi dengan baik.
Napas Via sesak dan tersengal-sengal. Dia berdiri di depan pintu yang tertutup, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Perasaannya terombang-ambing di antara kekecewaan dan kebingungan. Dia tidak mengerti mengapa Dito tiba-tiba berubah dan bertindak seolah-olah Via adalah seorang asing baginya. Air mata Via mencucur deras tanpa bisa ia tahan lagi.
Dengan hati yang berat, Via berbalik meninggalkan apartemen Dito. Setiap langkah yang diambil terasa seperti sejuta ton beban yang harus ia pikul. Berjalan di jalan yang sepi, pandangan Via kabur dan terpusat pada perasaan hampa yang melanda dirinya. Rasanya seolah-olah seluruh dunia mendadak berubah menjadi abu dan rasa bahagia yang pernah ada telah menguap begitu saja.
Di tengah perjalanan pulang, Via teringat betapa indahnya malam yang telah mereka habiskan bersama. Bagaimana Dito bisa mengabaikan semua momen bahagia itu dan memperlakukannya dengan dingin? Via berusaha mengingat hal apa yang bisa menjadi penyebab perubahan sikap Dito, tetapi tak ada satu pun yang bisa dia temukan. Semua tampak begitu mendadak dan membingungkan.
Sampai di rumah, Via tergeletak di atas tempat tidur, menangis dengan penuh penyesalan. Hatinya remuk, tak kuasa menerima kenyataan bahwa cinta yang ia bangun begitu rapuh dan hancur dalam sekejap. Dia merasa seperti pecahan kaca yang sudah tak bisa diperbaiki lagi.