"Selamat pagi, Pak Bagas...," sapa Lessa dengan riangnya.
Bagas, satpam sekolah yang masih berkepala tiga itu langsung menoleh menuju asal suara yang sudah tidak asing lagi dalam waktu satu minggu ini.
"Pagi juga, Lessa," jawab Bagas sangat ramah.
Lessa tersenyum senang. Di sepanjang langkahnya menuju kelas, anak itu menyapa siapa pun yang berada di dekatnya. Walaupun ini hari pertama Lessa sebagai murid resmi SMA Amarilis, tapi siapa juga yang tidak mengenali Lessa? Namanya sudah tersohor se-antero sekolah. Khususnya para murid baru.
"Lessa ...!"
Yang dipanggil namanya menoleh. Senyuman di bibirnya melebar, menampilkan sederet gigi putihnya yang kecil-kecil dan tertata rapi. Ara, salah satu teman kelasnya berlarian kecil menghampiri.
"Pagi, Ara," sapa Lessa saat teman satu kelasnya itu sudah berada di sebelahnya.
"Pagi juga, Les!" jawab Ara sedikit menunduk karena tinggi badan Lessa hanya sebatas bahunya.
"Udah berapa orang lo ucapin selamat pagi?"
"MMM..." Lessa terlihat mengingat-ngingat. Bahkan kesepuluh jarinya mulai bersiap untuk menghitung. Hampir dua menit anak itu menarik turunkan jarinya dan akhirnya menjawab, "Enggak tahu Ara. Lessa lupa."
Ara tertawa renyah. Kepalanya menggeleng kecil melihat temannya itu. Tidak membutuhkan banyak tenaga untuk melangkah, keduanya kini telah sampai pada pintu ruang kelas.
"Selamat pagi ...." sapa Lessa pada seluruh teman kelasnya yang belum penuh.
"Selamat pagi, Lessa ...." Seisi kelas kompak menjawab salam dari gadis super ceria dari masa MOS.
Lessa tersenyum senang, lantas duduk di bangku nomor tiga dari belakang. Di sebalahnya ada Ara yang Lessa pinta untuk jadi teman bangkunya.
"Hai, Les!"
Lessa menoleh menyambut kedatangan sumber suara. Namun detik itu juga matanya membulat dengan mulut yang hanya bisa mengeluarkan gumaman. Nando, orang yang sedari MOS memang gemas dengan pipi gembul milik Lessa itu kini memainkan pipi Lessa bak mengaduk sebuah adonan.
"Dho, lephashin!"
Nando terkekeh. Begitupun dengan teman kelasnya yang ikut tertawa. Nando melepaskan bekapan tangannya, namun kedua jari telunjuk dan jempol Nando kini saling mengapit kedua sisi pipi Lessa dengan gemas.
"Dho, sahkhit. Lephas."
Nando kian terkekeh melihat raut wajah Lessa yang meringis. Ia akhirnya melepas kedua tangannya dari pipi Lessa lantas mengacak rambut anak itu gemas.
Lessa mencebik. Kedua tangannya mengusap pipinya yang terasa panas. Mata bulatnya menatap Nando dengan pandangan tidak suka.
"Nando gak boleh pegang-pegang pipi Lessa lagi! Ini namanya penganiayaan anak di bawah umur! Pipi Lessa sakit tahu di jewer ke sana-kemari! Emangnya pipi Lessa squishy!" celoteh Lessa dengan wajah menekuk dan bibir yang mengerucut. Sangat mirip seperti bocah lima tahun yang tengah merajuk.
Nando dan beberapa teman kelasnya kian tertawa lebar. Benarkah yang masuk di kelasnya kini gadis berusia lima belas tahun? Atau anak TK yang tersesat masuk di kelas sepuluh IPA-3? Entahlah, mereka semua hanya bisa geleng-geleng kepala dengan menahan gemas melihat teman barunya itu.
"Awas ya kalau Nando nakal lagi! Lessa gantung leher Nando di pohon cabe!" tegas Lessa dengan wajah galaknya. Namun bukannya takut, Nando justru tertawa sejadi-jadinya. Benar-benar terhibur dengan wajah menggemaskan milik Lessa.
"Iya-iya, gak lagi," ucap Nando dengan membentuk tagannya sebagai tanda peace. "Tapi kalau keulang lagi, berarti gue khilaf."
"Nando! Khilaf itu gak boleh keseringan! Nanti kalau pantatt Nando digebok malaikat, Lessa gak tanggung jawab loh," Lessa berucap serius dengan wajah yang terlihat meyakinkan.
Nando tertawa gemas dengan mengangguk-anggukkan kepala menurut. Semua orang yang mengerubungi Lessa mulai beranjak menuju bangkunya masing-masing saat guru wanita muda melangkah memasuki kelas.
Seperti pada sekolah biasanya, hari pertama masuk hanya diisi dengan perkenalan diri masing-masing. Mereka semua maju satu per satu sesuai nomor urut absen. Tidak ada pelajaran untuk hari pertama. Sang guru wanita itu bahkan asyik bercerita tentang hal di luar topik kelas. Begitu juga dengan pergantian jam dan kehadiran guru baru, tak seinci pun buku paket tebal yang beliau bawa dibuka. Hari pertama di kelas ini dihabiskan untuk bersenda gurau dan memperdekat satu sama lain untuk saling kenal. Hal itu berlanjut sampai bel istirahat tiba. Tentu saja hari pertama ini sangat mengasyikkan bagi para siswa.
Suara canda dan tawa menggelegar di area kantin yang terlihat cukup ramai. Saat ini Lessa dan sebagian teman kalasnya duduk berkelompok pada satu meja panjang yang ada di sana. Lessa melahap roti sandwich yang ia bawa dari rumah. Sementara yang lainnya kompak membeli bakso panas dari stan Buk Yul. Pada pertengahan aktivitasnya, Lessa dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di depan meja dengan memanggil namanya.
"Kamu ... Lessa, kan?"
Semua orang yang satu meja dengan Lessa kompak mendongak menatap seorang cowok dengan bad bewarna hijau, menandakan bahwa orang itu masih kelas sepuluh, sama dengan dirinya.
"Iya, aku Lessa," jawab Lessa ramah seusai menelan makanannya.
"Perkenalkan, aku Galang. Siswa kelas sepuluh IPA-3." Galang menjulurkan tangan kanannya, dibalas langsung oleh Lessa dengan senyuman.
"Iya, Galang. Ada apa?" Lessa bertanya sedikit bingung. Apalagi tangan Galang barusan terasa sangat dingin. Lessa menatap galang dengan saksama, takut jika tiba-tiba saja anak itu pingsan. Terlebh, muka galang kini benar-benar pucat seperti orang tidak diberi makan lima hari.
"Aku ... suka sama Lessa saat pertama kali lihat Lessa pas MOS kemarin."
Seluruh orang yang mendengar pengakuan siswa benama Galang itu langsung cengo dengan mulut yang menganga. Bahkan sesaat suasana menjadi sehening kuburan.
"Galang suka sama Lessa?" tanya Lessa dengan polosnya. Galang yang masih berdiri di sana terus menatap Lessa dengan saksama. Anak itu terlihat sangat gugup. Terlihat jelas wajah Galang kini telah basah akibat keringat.
"Iya, aku suka sama Lessa. Boleh minta nomor teleponnya?" Galang menyodorkan ponselnya dengan napas tertahan. Bahkan ponselnya kini basah karena keringat di tangannya yang membanjir. Suasana kantin yang mendadak hening kini lebih terasa hening. Bahkan mereka yang menyaksikan adegan langka itu sampai tidak berkedip.
Lessa tersenyum lantas menggeleng kecil. "Gak perlu minta nomor telepon Lessa. Kalau Galang suka sama Lessa, yaudah ayuk kita pacaran!" seru Lessa dengan entengnya.
"Hah?!" Galang tersentak dengan mulut terbuka lebar. Begitupun seluruh teman-temannya langsung melotot kaget mendengar seruan Lessa yang sangat frontal dan tanpa pikir panjang.
"Galang suka kan sama Lessa?" tanya Lessa memastikan. Galang menganga. Kepalanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
"Kalau gitu kita pacaran, Galang!" ucap Lessa gemas. Ara yang berada tepat di samping Lessa langsung menatap temannya itu dengan pelototan. Kalau saja dia sudah berteman lama dengan Lessa, bisa dipastikan Ara akan memukul kepala belakang Lessa keras-keras.
"Pa-pa-pap-pacaran?" Galang menyahut dengan gagap. Dadanya kian terasa sesak, seolah udara sukar memasuki paru-parunya.
Lessa mengangguk mantap dengan menampilkan senyum manis di bibirnya membuat pipi tembemnya semakin terlihat mengembang.
"Kan Galang suka sama Lessa, yaudah kita pacaran. Karena cinta bertepuk sebelah tangan itu sakit, Galang." jelas Lessa mantap sekali.
"Se-se-serius? Kita pacaran?!" Galang terlihat heboh dengan kedua matanya yang terbelalak. d**a dan perutnya kini terasa dipenuhi ribuan kupu-kupu yang siap berterbangan.
"Serius, Galang. Kita sekarang pacaran," kata Lessa penuh kesabaran menjawab pertanyaan Galang yang terus berulang-ulang.
Brakk!
Suara gebrakan keras mengagetkan semua orang. Kini pandangan mereka semua langsung tertuju pada Nando yang sudah berdiri tegap dengan pandangan melotot tak percaya menatap Lessa.
"Lessa ...! Lo udah gila?!" Nando berteriak dengan sorot mata menyala-nyala.
"Lessa satu juta persen waras, Nando!" Lessa merengut. Bibir mungilnya kian maju beberapa senti.
"Otak lo yang gak waras!" tajam Nando benar-benar tidak habis pikir denan jalan pikiran temannya itu.
Lessa mendengus kesal. Tangannya bersedekap di bawah d**a dengan memandang Nando tidak suka.
"Otak Lessa masih waras, Nando! Mau adu matematika?” tantang Lessa tanpa takut.
"Tapi-tapi—" Nando megap-megap dengan melongos pasrah. Kedua matanya memicing menatap Galang yang kini tersenyum seolah menertawakannya.
"Tapi, Lessa. Aku gak bawa cokelat atau bunga buat Lessa." Galang bercelatuk sedih. Jika dia tahu bahwa Lessa akan langsung menerima dirinya sebagai pacar, mungkin bunga satu toko beserta pabrik dan pegawainya akan Galang beli pakai uang monopoli mainan adiknya.
Lessa manggut-manggut. Sebelah tangannya menumpu dagu. Kepala Lessa sedikit meneleng menatap satu kedai yang ada di kantin. Seketika senyumnya kembali cerah.
"Beliin Lessa cilok di stan Pak Yono aja. Lessa suka sama rasa cilok Pak Yono," kata Lessa lantas menatap Galang yang kembali terlihat cengo.
"Ci-ci-cilok? Cuma cilok?" Kedua mata Galang membulat. Ternyata dia menyukai gadis yang benar-benar berbeda dari yang lain.
"Iya, Galang." Lessamenyahut sedikit kesal. "Namanya cilok aja, gak pakai ci-ci-ci, Galang gugup ya ketemu Lessa?" tanya Lessa dengan sangat percaya diri. Dirinya sedikit tertawa geli melihat wajah Galang yang merah padam.
"Iy-iya," jawab Galang dengan kepalanya yang kembali mengangguk kaku.
Lessa terkikik mendengar pengakuan Galang. Walaupun bukan kali pertama ia melihat reaksi seseorang yang telah menyatakan suka terhadap dirinya, namun wajah Galang seakan tidak ada berdanya dengan orang yang kebelet kencing.
"Lessa mau aku beliin berapa?" tanya Galang antusias.
"Segerobak-gerobaknya kalau bisa. Sama Pak Yono sekalian juga gapapa."
"Sip!" Galang mengangkat dua jempolnya lantas berlari ke arah stan Pak Yono.
Lessa tersenyum, lantas sepasang matanya mengedar ke seluruh teman satu mejanya yang masih menatapnya sebagai pusat perhatian dengan mulut yang terbuka.
"Ada apa?" kata Lessa dengan polosnya.
"Lo ... beneran jadian sama Galang?" kata Zikri tidak percaya.
"Serius lo, Les?" Kini Ara bertanya tegang.
Lessa cemberut. Kenapa semua temannya itu meragukan hubungannya dengan Galang? Lessa kini memilih untuk melengos, mengabaikan pertanyaan sama yang membuat telinganya panas.
Nando kembali menggebrak meja dengan keras. Sebelah kakinya naik di atas bangku dengan pancaran mata yang terlihat tidak terima.
"Kalau begitu gue juga suka lo, Les! Jadi sekarang kita pacaran!" teriak Nando.
"Gue juga suka sama lo, Les!" Zikri berteriak tak kala keras.
"Gue yang paling suka sama Lessa!" Kini Adam ikut-ikutan berteriak. Dan seluruh teman laki-lakinya pun mulai menyatakan bahwa mereka pun sama-sama menyukai Lessa.
Lessa menengadah, memijit pelipisnya yang kian berdenyut. Teman-temannya terus saja menuyudutkan dirinya untuk menjadi pacar seperti yang ia lakukan kepada Galang. Wajah-wajah iri nan dengki tercetak jelas di muka mereka. Membuat Lessa ingin sekali menjejalkan roti sandwich pada mulut teman-temannya yang terus saja mengoceh.
Lessa mengangkat kedua tangannya menyerah, lantas berjalan cepat meninggalkan teman-temannya yang kini berteriak memanggil-manggil namanya.
Namun, langkah Lessa mendadak terhenti. Tubuhnya kembali berputar kala mengingat cilok pesanannya yang masih berada di tangan Galang. Lessa berjalan berderap. Oke, demi cilok! Demi cilok dirinya merelakan panas kepala karena seruan dari teman-temannya yang begitu cerewet.