Pagi ini, Lessa kembali membawa keranjang rotinya ke sekolah. Gadis itu bahkan menyiapkan roti sekitar lima puluh buah. Karena kemarin lusa, saat ia membawa hanya lima belas roti, banyak dari temannya tidak kebagian. Dan hal itu membuat yang lainnya saling berebut. Lessa sedikit sedih melihatnya. Namun, di sisi lain dirinya senang karena teman-temannya suka dengan roti buatannya.
"Hai, selamat pagi!" Sapa Lessa pada dua perempuan yang berpapasan dengannya di koridor.
"Pagi juga, Les!" Sahut dua perempuan itu.
"Kalian mau roti?" tawar Lessa pada dua orang perempuan yang Lessa sendiri tidak tahu namanya. Dan anehnya kedua orang itu justru mengenali dirinya. Lessa membuka tutup keranjangnya, lantas memperlihatkan isinya pada mereka.
"Ambil aja," ucap Lessa yang menjawab kebingungan mereka.
"Serius, Les?"
Lessa mengangguk semangat. "Serius. Lessa buat sendiri loh. Ayo diambil. Semoga kalian suka!"
Melihat senyum ramah Lessa, membuat dua orang itu mengambil roti kukus dengan senang hati.
"Terima kasih, Les!" kata keduanya bersamaan.
"Sama-sama. Kalau gitu, Lessa duluan, ya!" Lessa tersenyum.
Lessa kembali melangkah. Menghampiri orang-orang yang berpapasan dengannya untuk menawarkan roti-rotinya. Lessa semakin mengembangkan senyumannya. Dirinya merasa sangat senang melihat orang-orang yang mengucapkan terima kasih dan tersenyum kepadanya. Rasa rindu pada kota kelahirannya sedikit terobati. Karena dulu saat ia masih bersekolah di Jakarta, Lessa melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan sekarang.
"Bagi-bagi roti lagi, Les?" seru Nando yang berada di depan kelas. Nando pun tanpa sungkan langsung mencomot satu roti saat Lessa hendak melangkah masuk ke dalam kelas.
Belum juga dirinya duduk, Lessa sudah dikerubungi teman-temannya yang berebut mengambil rotinya. Membuat Lessa sedikit kewalahan dan hampir saja oleng kalau saja Nando tidak menahan tubuhnya dari belakang.
"Woy! Santai dong! Kalian gak lihat Lessa kewalahan!" bentak Nando marah. Yang lainnya otomatis melangkah mundur dengan serentak.
"Ya maaf, gue takut gak kebagian lagi kayak kemarin." Zikri menyahut. Lantas melahap rotinya dengan nikmat.
"Gausah dorong-dorongan, lah! Lo gak lihat Lessa hampir jatoh?!" Nando terlihat semakin emosi. Sementara semua teman-temnanya langsung menunduk dan menatap tak enak pada Lessa.
"Maaf, Les," kata Sisca merasa bersalah.
"Gue juga minta maaf, Les," sahut Revan.
"Gue juga, Les."
Lessa tersenyum. Kini dirinya justru yang dibuat tidak enak saat teman-temanya meminta maaf kepadanya.
"Iya, gak apa. Lessa taruh di atas meja. Kalian ambilnya jangan rebutan. Lessa bikin lima puluh roti. Pasti kalian semua kebagian," ucap Lessa yang membuat semua temanya bersorak senang. Lessa berjalan ringan ke mejanya. Diikuti teman-temannya yang mengekor di belakang. Lessa meletakkan keranjang rotinya itu di atas meja, kemudian semua temannya mengambil roti itu dengan lebih tertib.
Ara yang melihat keributan kecil itu hanya geleng-geleng kepala. Lantas menatap Lessa yang ada di sebelahnya. "Buat gue?"
"Ambil sendiri, Ara!"
Bibir Ara mencebik, lantas berdiri sebentar untuk mengambil roti.
"Lo kapan buat roti sebanyak itu?" tanya Ara sembari melahap rotinya.
"Kemarin malam, terus dilanjut subuh tadi."
"Lo gak capek?"
Lessa menggeleng sebagai jawaban.
"Kenapa gak lo jual aja, Les. Daripada lo bagi-bagi gratis gini. Kan lumayan dapet duit."
Kepalanya menggeleng lagi. "Lessa lebih suka bagi-bagi, Ara. Soalnya orang kan suka gratis daripada harus bayar."
"Betul sekali!" seru Ara mengangkat jempolnya. Sementara Lessa semakin mengembangkan senyumannya.
°°°
Semua orang di kelas X-IPA 2 terlihat fokus mengerjakan soal kimia yang baru saja ditugaskan. Meskipun guru kelasnya sedang ada rapat, namun semua orang di kelas itu benar-benar mengerjakan tugas yang diberikan. Bahkan, tidak ada satu pun dari mereka yang mengobrol atau asik dengan dunianya sendiri.
Lessa yang tengah fokus mengerjakan soal-soalnya harus terhenti saat merasakan panas yang menjalar di hidungnya. Kedua matanya mengerjap saat pandangannya sedikit mengabur. Lessa mulai memegangi kepalanya yang berdenyut. Dadanya mulai terasa sesak. Kepala anak itu menunduk. Membuka ritsleting tasnya yang ia letakkan pada laci meja, lantas meraih tempat obat yang langsung ia jejalkan di saku seragamnya. Sepasang telapak tangan Lessa basah akan keringat dingin yang mulai bercucuran. Rasa mual mengobrak-abrik isi perutnya. Lessa memejamkan kedua mata. Mencoba mengambil napas dengan perlahan. Bibir pucat gadis itu sedikit merintih kesakitan, diiringi dengan cairan kental bewarna merah pekat mengalir dari hidungnya. Kedua tangan Lessa refleks menutup hidungnya rapat-rapat. Berlari kencang keluar kelas saat merasakan tetesan darahnya keluar dengan deras.
Ara yang tengah terganggu fokusnya langsung menolehkan kepalanya. Sepasang matanya kontan melebar menatap punggung Lessa yang menjauh. Ia pun memanggil nama temannya itu, namun tidak ada respons sedikitpun dari Lessa.
"LES!"
Lessa terus berlari menuju toilet sekolah. Ia langsung mengunci diri pada salah satu bilik toilet. Lessa berlutut saat kedua kakinya terasa nyeri. Kepalanya mendongak menahan denyutan hebat yang menyerangnya. Lessa merogoh tempat obat di dalam saku, menelan banyak obat pil dengan berbagai bentuk yang ada di sana. Pahit. Lessa mulai memukul-mukul dadanya saat napasnya semakin tersengal dan sesak. Sepasang matanya terpejam rapat-rapat. Merasakan cairan bening panas keluar dari sudut matanya. Cairan itu mengalir turun menuju pipi dengan erangan yang keluar dari bibirnya.
Lessa berdiam diri hampir tiga puluh menit. Napasnya perlahan mulai membaik. Serta rasa sakit yang ia rasakan pun memudar. Lessa mengusap hidungnya, memastikan darahnya sudah berhenti mengalir. Anak itu bangkit dari posisinya dengan perlahan. Berjalan tertatih menuju wastafel untuk mencuci mukanya. Menarik tisu lumayan banyak untuk membersihkan noda darah di beberapa bagian seragamnya.
Lessa mengangkat kepalanya. Mematut diri di depan cermin lumayan lama. Lessa mulai merapikan rambut dan seragamnya yang sedikit berantakan. Sorot matanya jatuh pada bibirnya yang terlihat pucat. Ia pun merogoh lipbalm di sakunya, lantas memolesnya dengan warna merah muda. Lessa mengangkat sudut bibirnya dan mencoba untuk tersenyum. Setelah itu, dia melangkah pergi untuk kembali ke dalam kelas.
Langkah kaki Lessa mendadak terhenti di koridor, tepatnya di seberang lapangan indoor. Sepasang matanya langsung terfokus pada Pak Romi yang terlihat mengomeli Dika. Lipatan kecil di dahi Lessa tampak jelas saat Dika melakukan hormat bendera di sana. Dan Lessa dapat menebak dengan pasti bahwa kakaknya itu tengah diberi hukuman.
Lessa sedikit berlari kecil menghampiri Pak Romi yang melangkah pergi dan berjalan ke arahnya. Gadis itu langsung menghadang Pak Romi di tengah jalan.
"Pagi, Pak Romi!" sapa Lessa berbasa-basi sebentar dengan menjabat tangan gurunya.
"Pagi, Les!" jawab Pak Romi yang masih menunjukkan sedikit kekesalan di wajahnya.
"Kalau boleh tahu, kenapa Bapak menyuruhnya hormat bendera? Kan sekarang enggak ada upacara, Pak?" tanya Lessa sok lugu dengan menunjuk ke arah Dika berdiri.
Pak Romi terlihat mengembuskan napas berat dengan menoleh sebentar ke arah tujukan Lessa.
"Iya. Dia murid baru, tapi dua kali pertemuan di kelas saya, dia sama sekali tidak mengerjakan tugas yang saya berikan. Kali ini dia beruntung, lapangan utama lagi dipakai kelas olahraga. Jadi saya sangat terpaksa menghukum dia di lapangan indoor. Padahal saya mau dia terbakar sinar matahari biar tahu diri!" jelas Pak Romi terlihat emosi.
Bibir bawah Lessa langsung maju beesenti-senti, sangat tidak suka mendengar niat jahat Pak Romi yang mau menyiksa kakaknya.
"Bahkan, guru-guru lain juga mengeluhkan anak itu. Pantas saja dia dikeluarkan dari sekolah lamanya. Yang saya heran, kenapa kepala sekolah mau saja menerima anak itu. Belum satu bulan dia di sekolah ini, tapi sudah dua kali mencoba lompat pagar sekolah." Hidung Pak Romi kembang-kempis. Sepasang matanya yang berada di balik lensa kacamata menatap nyalang ke arah Dika.
"Sabar, Pak, sabar," kata Lessa mencoba menenangkan gurunya itu. "Kalau Bapak marah terus, nanti cepat tua loh," imbuhnya memperingatkan.
Pak Romi mendengus. Mengalihkan pandangannya dari Dika. "Iya, Les! Kurang sabar apa saya ini. Kalau gitu saya mau lanjut rapat lagi. Kamu ke kelas sana! Belum waktunya istirahat kok keluyuran! Dari mana kamu!" Kini tatapan tajam Pak Romi langsung tersorot pada Lessa.
"Lessa dari toilet, Bapak. Lessa tadi kebelet. Gak mungkin dong kalau Lessa sampai pipis di kelas," jawab Lessa meyakinkan. Membuat kepala Pak Romi langsung mengangguk.
"Yasudah saya duluan. Kamu ke kelas sekarang!"
"Baik, Pak! Laksanakan!" Lessa menghentakkan satu kakinya dan memberikan hormat pada gurunya itu. Pak Romi menggeleng kecil dan pergi dari hadapan Lessa. Sementara itu, bibir Lessa tiba-tiba tertarik ke atas. Ia pun langsung berlari kecil. Bukannya menuju kelas, Lessa justru menghampiri Dika dan langsung memosisikan diri di sebelah kakaknya itu.
Kepala Lessa mendongak dengan mengangkat satu tangannya. Bibirnya kian tertarik ke atas saat sudut matanya mencuri-curi untuk melihat Dika. Dika yang tahu pasti siapa orang yang kini berada tepat di sebelahnya itu langsung memasang wajah dinginnya. Otomatis, Dika menggeser satu langkah menjauh dari Lessa.
Lessa tersenyum jahil. Ia ikut menggeser tubuhnya agar tetap berdekatan dengan Dika. Dapat Lessa tebak, kalau Dika kini pasti kesal. Karena saat Dika menggeser tubuhnya lagi. Lessa pun akan melakukan hal yang sama.
"Ngapain, lo!" bentak Dika tanpa menoleh sedikit pun pada Lessa.
Akhirnya suara berat dan dingin yang dinanti-nanti Lessa terdengar juga. Lessa tersenyum, lantas menjawab, "Hormat bendera."
Pipi Dika semakin mengeras. Membuat otot-otot lehernya menonjol keluar. "Gue udah peringatin elo! Gak usah sok kenal sama gue. Gak usah ikut cam--"
"Lessa gak sok kenal ya sama Kak Dika! Jangan ke PD-an!" balas Lessa memotong ucapan Dika begitu saja. "Lessa itu juga lagi dihukum sama Pak Romi, tahu!" lanjutnya mengada-ada. Sementara Dika langsung terdiam menahan geram. Sebelah tangannya yang lain terkepal dengan erat.
Lessa mengembuskan napasnya. Dirinya terus menatap bendera yang berkibar tertiup angin. Walaupun sudut matanya terus mencuri pandang ke arah kakaknya itu.
"Pak Romi itu nyebelin ya. Dikit-dikit marah. Dikit-dikit ngomel. Dikit-dikit kasih hukuman." Gadis itu mulai meracau lagi yang membuat kuping Dika terasa panas.
"Lessa denger, orang yang suka marah-marah itu bisa jantungan loh! Padahal kan enggak ada salahnya kalau coba senyum. Senyum itu bisa bikin hati sama pikiran adem. Orang yang liat pun juga akan seneng. Lessa heran, deh. Kok ada ya orang yang sebelas dua belas sama tembok dicampur es batu."
Lessa melirik Dika yang terlihat sangat tidak peduli. Sementara Dika sangat tahu jika gadis di sebelahnya itu tengah menyindir dirinya.
Lessa mengambil napas panjang, kembali bersuara. "Kak Dika kenapa bisa dihukum Pak Romi? Kalau Lessa kena hukum gara-gara Lessa mau menghibur Pak Romi biar gak marah-marah terus, kayak gini ..."
Lessa menurunkan tangannya. Menyerongkan tubuh menghadap Dika. Kepala Lessa sedikit meneleng, menempatkan kedua tangannya di samping pipi, lantas menjulurkan lidahnya.
"Wleekk!" ledek Lessa.
Dika melirik sekilas kelakuan gila Lessa. Dan entah mengapa, sudut bibir kanannya terangkat, tipis sekali.
"Kayak gitu, Kak." Lessa kembali pada posisinya. Mendongakkan kepala dan melakukan hormat bendera.
"Padahal Lessa kan lucu ya. Tapi kenapa di mata Pak Romi Lessa ini enggak ada lucu-lucunya! Bahkan Pak Romi senyum aja enggak. Lessa malah dihukum hormat bendera. Jahat kan? Padahal loh Lessa--"
"DIEM!" bentakan keras itu langsung membuat tubuh Lessa terperanjat hingga refleks menutup kedua matanya.
Bel istirahat berbunyi nyaring secara tiba-tiba. Selang beberapa detik berikutnya, para siswa terlihat berhamburan keluar dari kelas. Lessa dengan sigap menggeser tubuhnya beberapa meter menjauh dari Dika. Namun gadis itu tetap setia melakukan hormat padahal tangan kanannya sudah cukup pegal.
Tiba-tiba saja Ara datang entah dari mana. Anak itu langsung menepuk pundak Lessa dengan dahi yang berlipat-lipat.
"Lo ngapain malah di sini? Ngapain juga lo hormat bendera? Lo dihukum? Sama siapa?" tanya Ara tanpa jeda dan sangat keheranan melihat temannya itu ada di sana.
Lessa menurunkan tangannya, menggoyang-goyangkan tulang bahunya yang terasa kebas.
"Sama ...." Kalimat Lessa menggantung kala melihat Dika yang justru melangkah pergi. Lessa mendengus dan membatin, padahal kan hukumannya belum selesai.
"Sama siapa?" tanya Ara tidak sabar.
"Sama diri Lessa sendiri," sahut Lessa yang membuat bibir Ara sedikit melongo.
"Iya. Lessa kan Senin kemarin pingsan. Jadinya Lessa merasa bersalah, soalnya gak ikut upacara sampai selesai. Jadinya sekarang Lessa lanjut aja hormat bendera," papar Lessa yang membuat Ara langsung syok ditempatnya.
"Lo gak waras!" pekiknya dan langsung menarik lengan Lessa untuk ia ajak makan siang.
°°°
"Ara gak usah nungguin Lessa sampai Bapak ojek nya datang. Ara bisa pulang duluan," pinta Lessa tak enak jika Ara menemaninya terlalu lama. Karena selama beberapa hari ini, sepulang sekolah Ara selalu menemani Lessa hingga pesanan ojeknya datang.
"Gapapa, gue temenin lo sampai ojeknya dateng. Lagian, rumah gue deket, Les. Tinggal jalan kaki aja nyampai."
Lessa menggangguk tersenyum. Membiarkan Ara menemaninya. Toh, Ara sendiri yang menawarkan diri menemaninya.
"Mau pulang, Les?"
Kepala Ara dan Lessa serempak menoleh. Sedikit terkejut melihat keberadaan Nando yang tiba-tiba.
"Iya," jawab Lessa.
"Yaudah, yok bareng gue aja," tawar Nando, menoleh ke jok motornya yang kosong.
"Lessa udah pesen ojek, Nando."
"Kenapa pesen ojek sih? Kenapa gak bareng gue aja?"
Lessa mendengus, menatap Nando sedikit kesal.
"Kata Nando gak mau lagi bonceng Lessa! Katanya Nando gak mau mati muda!" sungut Lessa dengan emosi yang langsung membuat wajahnya panas.
"Ahh... iya." Nando tersenyum kecut dengan menggaruk kepala belakang helmnya.
"Yaudah, gue duluan kalau gitu. Lo hati-hati. Jangan suka oleng kalau di motor! Bahaya, Les!" peringat Nando tegas dan melotot serius.
"Iya, siap, Komandan!"
Nando mengangguk, lantas menancap gas, dan pergi dari sana.
"Sedeket itu ya lo sama Nando, Les?"
Kepala Lessa menoleh, sedikit terkejut mendengar pertanyaan Ara yang terdengar lebih dingin dari biasanya.
"Maksud, Ara?"
"Kayaknya, Nando suka tuh sama lo."
Kening Lessa langsung menampakkan lipatan. Cukup terkejut sekaligus bingung dari perkataan Ara.
"Suka sama Lessa?" ulang Lessa tidak mengerti.
"Iya. Suka sama elo. Perhatian dia beda banget kalau ketemu elo, Les."
Lessa menggeleng, lantas tersenyum. "Enggak ada yang beda, Ara. Nando orangnya emang baik ke semua orang."
Ara manggut-manggut. Ia kembali menoleh ke Lessa dengan wajah yang mulai melunak.
"Terus, lo sama Galang? Masih pacaran?"
"Galang...." Lessa berpikir sejenak. Mengajak otaknya mengingat nama orang yang disebut.
"Ah... Lessa udah putus."
"PUTUS?!"
Sepasang mata Ara langsung membulat sempurna. Sangat terkejut mendengar kabar itu. Pasalnya, temannya itu baru jadian dua hari yang lalu. Dan sekarang?
"Kapan lo putusnya?" tanya Ara mendesak.
"Kemarin lusa."
"Kok bisa?" Kepo Ara semakin meluap.
"Galang maunya jadi sahabat Lessa aja katanya."
Ara mendengus. Menatap temannya itu dengan sejuta tanda tanya.
"Lo suka sama Galang?"
Lessa menggeleng.
"Terus, kenapa lo mau pacaran sama dia?"
"Karena Galang suka sama Lessa."
Ara seketika menepuk jidatnya. Jawaban Lessa langsung membuat kepalanya sakit dan nyut-nyutan. Kali ini dia dapat meragukan temannya itu. Apakah Lessa benar-benar siswa kelas satu SMA atau bocah yang baru lulus TK!
"Jangan gitu lagi, Les! Jangan suka mainin perasaan orang. Kalau orang itu suka sama elo. Tapi elo gak suka sama dia. Jangan sekali lagi ngajak dia pacaran atau nerima orang sebagai pacar! Ngerti?"
Lessa menelan salivanya. Menatap Ara yang terlihat sangat serius. Lessa mengangguk berapa kali sebagai jawaban. Dirinya merasa lega kala Ara mengangkat jempolnya.
"Mbak, Lessa?"
Kepala Lessa terangkat. Mengangguk kepada Bapak ojek dengan ramah.
"Terima kasih, Ra, sudah nemenin Lessa lagi sampai Bapaknya datang."
Ara mengangguk, tersenyum kecil saat melihat Lessa yang cukup kesusahan naik pada jok motor yang tinggi.
"Hati-hati, Pak. Kalau nih anak gak bisa diem, turunin aja dia di pinggir jalan!" pesan Ara kepada Bapak ojek dengan tegas.
Lessa memberengut. Menatap Ara dengan melas.
"Ara kejam!"