Syaren menstandarkan sepeda Rafael tepat di halaman rumah Rafael. Ia lalu berjalan ke arah pintu pagar dan menutup pintu pagar rumah Rafael.
Kemarin, Rafael pulang ke rumahnya dengan taksi online dan sepedanya di simpan di garasi rumahnya. Jika biasanya Rafael yang datang lebih pagi untuk menjemputnya pergi ke sekolah, kali ini terbalik. Ia yang datang ke rumah Rafael untuk menjemput Rafael pergi ke sekolah.
Syaren mengambil paper bag berisi seragam Rafael lalu berjalan ke arah pintu, langkahnya terhenti tepat di bibir pintu Rafael, Syaren merogoh saku seragam dan mengambil kaca kecil di sana. Ia menatap wajah dalam pantulan cermin.
"Oke, cantik." ucap Syaren seraya tersenyum, ia lalu mengetuk pintu rumah Rafael.
Tok tok tok
"Rafaaa ...." ucap Syaren memanggil nama Rafael. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. jarum pendek masih mengarah ke angka 6 sedang yang panjang ke angka 2. Sengaja ia pergi lebih pagi karena tadi Rafael sama sekali tak bisa di hubungi, ia takut Rafael bangun terlambat.
Tok tok tok
Syaren kembali mengetuk pintu lagi. "Kok lama? Jangan-jangan bener lagi dugaan aku, dia belum bangun," gumam Syaren.
Ceklek
"Ehh ... Syaren," ucap Diandra membukakan pintu. "Masuk, Sayang." ucap Diandra lagi mempersilahkan Syaren untuk masuk.
Syaren tersenyum menatap calon ibu mertuanya. "Rafa? Dia belum bangun?" tanya Syaren.
"Iya, dia masih ada di kamarnya, lagi tiduran," ucap Diandra berjalan masuk.
"Hmm? Masih tidur?" Syaren mengerutkan alis.
"Iya, Rafael kayaknya gak masuk sekolah dulu deh Sya hari ini, badannya rada anget," ucap Diandra, "Ateu titip surat ya ke sekolah."
"Sakit? Kemarin kan gak pa-pa, kok bisa sakit? Sakit apa?" tanya Syaren.
"Demam biasa doang, Tadi Uncle Dennis udah periksa kok, dia bilang Rafa cuma demam biasa, istirahat satu atau dua hari juga udah baikan." jelas Diandra.
(Dennis ialah adik dari Diandra, yang menikah dengan Sesha, adik dari Darren dan Alfa.)
"Syaren ke atas dulu deh ya. Mau liat Rafa," ucap Syaren terlihat khawatir saat mendengar Rafael sedang demam.
Diandra mengangguk pelan mengiyakan.
Syaren lalu berjalan cepat ke arah tangga.
"Ehh ... udah sarapan belum, Sya? Mau Ateu siapin sarapan?" tanya Diandra.
Syaren yang sudah berada di tengah-tengah anak tangga sontak langsung menoleh menatap Diandra. "Gak usah deh, Teu. Syaren udah sarapan kok," ucap Syaren.
"Oh ... ya udah," ucap Diandra.
Syaren mengangguk lalu kembali menaiki anak tangga lagi lalu berjalan cepat ke arah kamar Rafael.
Tap tap tap
Ceklek
"Raf?" panggil Syaren begitu membuka pintu, terlihat Rafael yang masih meringkuk di atas ranjang dengan tubuh yang tertutup selimut.
Syaren langsung berjalan mendekati ranjang di mana Rafael terbaring, ia duduk di tepi ranjang melihat mata Rafael yang terpejam lalu memegang kening Rafael yang ternyata memang hangat.
"Ckk! Padahal kemarin gak pa-pa, kok bisa demam sih?" gumam Syaren. Ia lalu memegang pipi Rafael yang hangat dan mengelusnya. "Maafin aku ya, kalau aja kemarin aku gak marah-marah sama kamu, mungkin kamu gak akan hujan-hujanan dan gak akan demam kayak sekarang. Aku minta maaf," ucap Syaren. Matanya sudah mulai berkaca-kaca melihat Rafael yang terpejam.
Kulit putih bersih Rafael juga terlihat memerah tak seperti biasanya.
Tes
Bulir bening kristal keluar dari mata Syaren hingga menetes membasahi punggung tangan Rafael.
Rafael sontak langsung membuka mata saat merasakan tangannya yang basah dan menatap Syaren yang tengah menyeka air mata di matanya.
"Aku cuma demam biasa, ngapain pake nangis segala?" tanya Rafael bangun dari baringannya dan duduk bersandar.
"Kenapa bangun? Tiduran aja udah," ucap Syaren.
"Gak pa-pa. I'm okay," ucap Rafael mengelus pipi Syaren.
"Okay apanya? Badan kamu anget begini," ucap Syaren memegang tangan Rafael yang menyentuh pipinya dan menggenggamnya.
"Aku emang gak pa-pa, tadi cuma rada pusing sedikit, terus badan aku rada sakit-sakit juga, tapi sekarang udah enggak kok. Uncle Dennis bilang juga cuma demam biasa, hari ini istirahat besok pasti udah sembuh," ucap Rafael.
"Maafin aku ya ...." ucap Syaren menunduk tak enak hati.
"Minta maaf kenapa?" tanya Rafael, "Kamu kan gak salah, kenapa minta maaf?"
Syaren menatap Rafael. "Aku salah, harusnya kemarin aku gak marah-marah sama kamu, harusnya aku juga gak ninggalin kamu. Kalo aja kemarin aku gak marah mungkin kamu gak bakal ujan-ujanan ke rumah aku dan kamu juga gak akan demam kayak sekarang. Terus badan kamu sakit-sakit mungkin itu karena kemarin pas latihan aku jatuhin kamu, badan kamu sakit pasti karena itu," ucap Syaren menunduk lagi.
Rafael memegang dagu Syaren dan mengangkatnya perlahan agar menatapnya. "Aku gak pa-pa, emang udah waktunya sakit ya harus gimana? Bukan salah kamu, jadi jangan menyalahkan diri kamu, emang badan aku aja yang lemah, kehujanan dikit langsung demam," ucap Rafael.
"Tetep salah aku," ucap Syaren dengan mata yang mulai berkaca-kaca lagi.
"Hiihh ... malah nangis lagi," ucap Rafael, ia menggeser duduknya mendekati Syaren, melingkarkan tangannya di tubuh Syaren memeluk. "Bukan salah kamu, jadi jangan nangis. Aku gak bisa liat perempuan yang aku sayang netesin air mata apalagi karena aku." ucap Rafael lagi seraya menepuk pelan punggung Syaren berusaha menenangkan.
Ceklek
Rafael sontak langsung terduduk tegak saat mendengar suara pintu terbuka, ia melihat sang Ibu di bibir pintu seraya membawa nampan yang di atasnya ada satu mangkuk bubur, air putih dan s**u hangat.
Diandra mengerutkan alis saat melihat Syaren yang tengah menyeka air mata di pipi.
"Ehh ... Syaren kenapa? Kok nangis?" tanya Diandra.
"Liat aku sakit masa dia nangis, cengeng banget kan ya, Maa ...." ucap Rafael.
"Jadi nangisin Rafa?" tanya Diandra menaruh nampan di atas nakas.
Syaren mengangguk. "Badannya Rafa anget banget," ucap Syaren.
"Nanti siang juga enggak kok, demamnya pasti turun, gak usah nangis. Nanti dia pasti heboh lagi kayak biasa," ucap Diandra menarik kursi di depan meja belajar hingga berada di samping Syaren. Ia mengelus kepala Syaren dengan lembut dan tersenyum, hatinya bahagia saat melihat Syaren yang teramat sangat peduli pada putra bungsunya itu.
"Tetep aja khawatir," jawab Syaren.
"Udah ... gak usah nangis, sekarang suapin Rafael sarapan biar dia makin semangat buat sembuh dan dia kesenengan kalau di suapinnya sama kamu, obat yang paling ampuh itu di perhatiin sama orang yang kita sayang," ucap Diandra seraya memberikan satu mangkuk bubur pada Syaren.
"Nah bener tuh kata Mama mertua kamu, kalau di suapin sama yang di sayang tuh jadi moodbooster banget! Aku jadi semangat untuk sembuh," ucap Rafael.
"Dihh ... Mama mertua," ucap Syaren mengatupkan bibir menahan senyum dan menoleh menatap Diandra.
"Kenapa? Kamu gak mau punya mertua kayak Ateu Dian?" tanya Diandra.
"Hmm? Mmhhh ...." Syaren semakin mengatupkan bibir menahan malu, pipinya bahkan sudah merah merona. "Bukan begitu ... hmmm ...."
Pfftt
Rafael tertawa pelan. "Udah, Maaa ... pipinya merah tuh, dia pasti malu," ucap Rafael.
"Enggak, biasa aja perasaan. Wllee ...." Syaren menjulurkan lidahnya pada Rafael.
"Nah gitu dong senyum," ucap Diandra kembali mengelus lagi rambut Syaren. "Ya udah ... Mama tinggal ya? Itu nanti obat dari Uncle Dennis di minum, tapi jangan barengan sama susunya ya ... susunya di minum setelah satu atau dua jam kamu minum obat," ucap Diandra pada Rafael, ia lalu menatap Syaren. "Syaren? Kalau udah setengah tujuh kamu udahan aja nemenin Rafaelnya, kamu kan harus ke sekolah Sayang, nanti berangkat pake sepeda Rafael aja, kalau mau pake motor juga gak pa-pa biar cepet."
Syaren tersenyum dan mengangguk pelan mengiyakan.
"Ya udah, Ateu turun dulu ya? Mau siapin sarapan buat Kakak sama Papanya Rafa," ucap Diandra.
Syaren kembali mengangguk lagi. Sedang Diandra bangun dari duduknya dan berjalan ke arah pintu.
Klak
"Ayo, makan, terus minum obatnya," ucap Syaren mengarahkan satu sendok bubur pada mulut Rafael setelah pintu kamar tertutup.
Rafael melahap bubur di sendok yang Syaren pegang. "Calon istri yang baik," ucap Rafael seraya mengacak-acak pucuk rambut Syaren.
"Hiihh ...." Syaren mengerutkan alis dan bibir yang sedikit mengerucut saat Rafael menyentuh rambutnya.
"Hehe ... iya-iya, maaf Sayang." ucap Rafael seraya merapikan rambut Syaren yang tadi ia acak. "Ehh ... kok gak di iket rambutnya?" tanya Rafael yang baru sadar kalau sejak tadi Syaren tak mengikat rambutnya.
"Aku kan keramas, tadi pagi basah. Ya masa aku iket, ini aja masih basah," ucap Syaren.
"Kenapa harus keramas pagi-pagi? Kenapa gak sore aja sih?" tanya Rafael.
"Bangun pagi terus keramas itu seger tau," jawab Syaren.
"Ckk!" Rafael berdecak. "Bawa iket rambut?" tanya Rafael.
Syaren melihat ke arah pergelangan tangannya, melihat ikat rambut yang ia pasang di pergelangan tangannya. "Bawa dong, nihh ...." ucap Syaren seraya memperlihatkan pergelangan tangannya pada Rafael.
"Pinter," ucap Rafael tersenyum, "padahal aku punya banyak loh."
"Hmm? Masa? Mana?" tanya Syaren.
Rafael membuka laci nakas dan memperlihatkannya pada Syaren.
"Wow ... kayaknya itu stok buat setahun ya?"
"Apaan? Dua atau tiga bulan juga habis, orang kamu selalu lupa bawa," ucap Rafael.
"Iketan rambutnya ada kok di kamar aku, nanti aku balikin deh semuanya sama kamu, biar stok kamu banyak dan kamu gak selalu beli lagi buat aku," ucap Syaren tersenyum.
"Pfftt ... mulai terbiasa ya kamu," ucap Rafael, ia menatap Syaren dengan tatapan gemas, hidung bagian atas yang mengerut dan menyentuhkannya dengan hidung Syaren.
Syaren tersenyum saat Rafael menyentuh hidungnya dengan hidung lagi.
"Udah mau jam setengah tujuh, berangkat sana, nanti kesiangan terus di hukum gimana? Gak ada aku loh, emang mau di hukum sendirian?" tanya Rafael.
"Ya gak mau lah," jawab Syaren.
"Ya udah, berangkat sana, hati-hati dan jangan gatel di sekolah! Apalagi sampe berani ngobrol sama si Rizky. Big No ya!" ucap Rafael.
"Enggaklah, aku juga gak suka sama dia," ucap Syaren. "Ya udah ... aku berangkat dulu ya? Nanti pulang sekolah aku ke sini lagi, gak ada latihan ini."
Rafael tersenyum dan mengangguk lagi.
Bersambung