Chapter 4

1328 Kata
“Lo udah ketahuan,” bisik Alan penuh dengan rasa puas. Lelaki itu lalu menggerakkan kepalanya, menyuruh Kiara untuk menoleh kearah depan tanpa suara.             Kiara menoleh, dan mengumpat saat menemukan beberapa orang yang terasa familiar namun tak dikenalnya jelas-jelas tengah menatapnya. Kiara mencoba menyipitkan matanya, dan mengeram saat ia mengenal salah satu dari mereka. Gadis itu, Caca. Kiara yakin kalau besok pasti akan ada gosip tidak menyenangkan tentangnya, dan sialnya gosip itu memang benar.             “Apa yang bisa lo lakuin buat gue?” Kiara menatap Alan dengan wajah takutnya. Membayangkan reputasi yang ia bangun di Universitas hancur cukup membuatnya ketakutan. Selama ini ia berusaha menjadi anak baik demi reputasi Ayahnya, dan Kiara seakan tidak siap jika harus mendapatkan tatapan kemarahan dan kekecewaan dari lelaki berumur awal 40 tahunan itu.             “Gue kenal mereka semua, dan gue bisa nyuruh mereka semua tutup mulut,” Alan menatap Kiara yakin, membuat gadis itu nampak sedikit tenang. “Lagian, lo kan pintar, harusnya lo tau kalau club malam ini pasti juga didatangi teman kampus kita.”             Kiara mengerucutkan bibirnya, biasanya ia datang ke tempat club malam yang tidak terlalu terkenal. Tetapi teman semasa Sekolah Menengah Atas-nya mengajaknya berkumpul disini, dan Kiara tentu saja tidak ingin melewatkan hal itu. Kiara langsung mengedarkan pandangannya mencari teman-temannya, dia tadi keasikan menari hingga melupakan tujuan awalnya untuk reuni tipis-tipis.             Gadis itu lalu menatap kearah Alan lagi saat tak menemukan teman lamanya. “Gue udah ngerubah penampilan gue sedemikan rupa agar nggak dikenali,” jawabnya dengan sedikit malu.             “Lo nyamar pakai tanktop sama hotpants? Oh, pintar banget deh anaknya Ketua Jurusan ini,” Alan menelusuri pakaian Kiara yang lebih mirip pakaian dalam itu.             Kiara menutup jaket Alan yang sempat terbuka, memandang Alan dengan galak. “Gue pikir mereka nggak bakalan tau kalo ini gue!”             “Dan gue langsung tau kalo ini lo,” Lelaki itu lantas menghela napas. “Oke, jadi rencananya gini. Gue bakal bilang sama temen gue, kalo gue yang ngajak lo kesini, dan minta mereka buat tutup mulut.”             Kiara mengernyitkan keningnya, “Itu bukan rencana kali Al! Dih!” kesalnya sembari mencibir terang-terangan lelaki itu. “Dimana-mana, rencana itu panjang dan rinci! Kalo gitu doang mah gue udah tau!”             Alan menatap Kiara sembari menggumamkan kata sabar di dalam hati. Ini anak udah ditolongin masih ajak kelakuannya minta di jitak. “Terus gimana?” tanya Alan dengan kesabaran di atas rata-rata.             Kiara mendegus, “Panjangin dikit kek rencananya!” jawabnya. Sesungguhnya Kiara juga tidak tau harus menjawab apa. Dari awal yang memiliki rencana kan Alan.             “Jaaadddiiii, rencaaanaaanyaaa giiinniiiii—”             “Ih lo ngeselin banget sumpah!” pekik Kiara yang ingin sekali menjabak rambut gondrong Alan yang tengah tertawa terbahak.             “Lah gimana lagi Ra, di otak gue emang adanya cuma segitu. Udahlah! Lo tinggal terima beres aja, nggak usah kebanyakan mikir, elah!” jawab Alan sembari berusaha meredakan tawanya. Kiara menatap lelaki itu dengan perasaan sedikit terusik. “Kenapa  lo ngelakuin ini? Lo bisa dianggap ngerusak gue, dan reputasi lo pasti bakalan jelek banget.”             Alan tertawa kecil, lalu mengangkat bahunya dengan acuh. “Well, dari awal reputasi gue udah jelek kan?” ucapnya tanpa beban. Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya, “Tawaran yang pertama, deal?”             Kiara memainkan bibirnya, nampak berpikir lalu berucap pelan, “Oke, deal,” jawabnya dengan menjawab tangan besar Alan.             “Mulai sekarang kita akan saling membantu,” ucapnya dengan seulas senyum yang dapat memikat semua gadis.   ***             Kiara Andzikriadi seolah menghapus semua pikiran buruknya tentang Alan Nestakansavy. Lelaki itu tidak seburuk apa yang ia kira pada pertemuan pertama mereka. Panggilan bayi besar agaknya memang terlalu kurang ajar untuk lelaki seperti Alan. Kiara bahkan merasa dirinya terlalu jahat saat mengingat bahwa semalaman ini lelaki itu tak beranjak dari sisinya.             Mereka berdua kini sedang berkumpul dengan teman Alan, dan Kiara cukup canggung saat Alan merangkul bahunya sok akrab di depan teman-temannya. Namun, kecanggungan yang Kiara rasakan tak sebanding rasa takutnya saat melihat Caca. Orang yang menurut Kiara tidak menyukainya itu menatapnya dengan pandangan tajam. Bukan, bukan Caca yang Kiara takuti, melainkan mulut gadis itu yang biasa kemana-mana.             “Kok lo bisa sama dia sih Al?” tanya Caca saat mereka berdua sampai di tempat gerombolan teman Alan.             Kiara menahan napas saat Caca kini terang-terangan menatapnya tidak suka. Ia lalu mendongak, menatap Alan yang kini tertawa kecil. Lelaki itu nampak begitu santai berbanding terbalik dengan dirinya yang sudah panas dingin. Kehidupan perkuliahan kedepannnya sangat dipertaruhkan saat ini.             “Gue ngerayu dia mati-matian agar mau nemenin gue,” ucap Alan yang membuat Kiara menelan ludahnya. Lelaki itu tidak main-main saat berkata tidak keberatan jika reputasinya semakin buruk. “Gue harap kalian nggak bilang siapa-soapa kalau Kiara yang cantik ini keluar malam,” imbuh Alan sembari terkekeh. Lelaki itu lalu menunduk, menatap Kiara lekat sebelum kembali menatap kearah empat temannya yang masih menatapnya penasaran.             “Lo maksa dia?” Caca kembali bertanya. Gadis itu seakan masih diliputi rasa curiga mengingat bagaimana Kaira yang ia kenal selama ini. Gadis kaku dengan setelan kuno, Caca yakin menemukan Kiara di tempat malam seperti ini adalah suatu yang cukup mustahil.             Alan menatap Roy sebentar, seolah mengisyaratkan bahwa lelaki itu tidak terlalu suka pertanyaan pacar sahabatnya itu. “Ya. Gue yang maksa dia, masalah?” jawab Alan yang membuat Caca langsung bungkam.             Roy berdehem untuk mencairkan suasana, lelaki itu lantas merangkul kekasihnya dan membisikkan sesuatu sehingga Caca semakin cemberut. Alan menoleh kearah Kiara, mengangkat kedua alisnya jahil seolah menegaskan bahwa semua bisa teratasi berkat dirinya, dan Kiara tidak menampik hal itu. Gadis yang sendari tadi diam karena takut melakukan kesalahan fatal itu tersenyum kecil, merasakan hatinya lebih lega dari sebelumnya.             “Kayaknya gue mau balik dulu deh,” Roy berucap sembari melihat jam tangannya. Yang kemudian disetujui oleh tiga orang lainnya disana, termasuk Caca.             “Sama, tapi gue mau anterin Kiara dulu,” ucap Alan sembari menepuk-nepuk kepala Kiara seolah gadis itu adalah bocah kecil merepotkan. Alan lalu memberikan isyarat pada gadis itu untuk sekadar berbasa-basi, dan hal itu bisa ditangkap dengan mudah oleh otak pintar Kiara. Alan melepaskan tangannya dari Kiara, lalu memberikan isyarat pada Roy dan kedua temannya untuk mengikutinya meninggalkan Kiara dan Caca.             Kiara menatap Caca dengan pandangan ramah, atau setidaknya ia mencoba bersikap ramah. “Gue pikir kita bakalan sering ketemu setelah ini,” ujarnya. Dia dan Caca sendiri seolah tidak ingin repot-repot berjabat tangan. Hubungan keduanya memang tidak terlalu baik, entah mengapa. Yang Kiara tahu adalah tiba-tiba Caca dan beberapa teman segeng-nya selalu menatapnya sinis saat ia lewat.             “Lo—sama Alan pacaran?” tanya Caca kembali kepo. Tadi gadis itu begitu gatal ingin menanyakan hal itu. Tetapi Caca cukup segan kepada Alan, terlebih ketika Roy terang-terangan melarangnya.             Kiara bungkam seketika, ia ingin langsung menolak tegas, tetapi hal itu pasti membuat Caca curiga. Gadis itu lalu tertawa agak dipaksakan, “Enggak, kami gak pacaran. Tapi, kami emang cukup deket,” ujarnya tak dapat menyembunyikan ketidakyakinannya sendiri.             Caca mengerutkan keningnya, “Gue masih nggak nyangka bisa ketemu lo disini, ditambah dengan pakaian kayak gitu.” Caca menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya. Gadis dengan alis yang terlihat seperti disulam itu memang terkenal blak-blakan, selain sikap comelnya.             Kiara meringis, “Ini kali pertama,” dustanya.             Caca mengangguk-angguk paham, “Alan—aslinya baik kok,” ucap Caca tiba-tiba, membuat Kiara menatapnya dengan perhatian penuh. “Tapi bawa gadis baik kayak lo ke club malam, gue pikir adalah tindakan yang kurang tepat.” Caca masih ingat segala bentuk kebaikan Alan pada Roy, lelaki itu sangat loyal pada temannya, dan Caca termasuk kedalamnya.             Kiara terdiam, merasa bersalah dengan penuturan Caca yang sepihak itu. Tetapi Kiara juga tidak bisa menampik dan membenarkan. Gadis itu lebih takut akan reputasinya yang berubah menjadi buruk, hingga mengorbankan reputasi Alan yang sudah tak berbentuk itu. “Lo kayaknya kenal banget ya sama Alan,” Kiara mencoba mengalihkan topik.             Caca lalu tersenyum, sejenak gadis itu berpikir mungkin dirinya dan Kiara bisa menjadi teman. Gadis itu tidak semenyebalkan yang ia kira sebelumnya, “Lo mau tukeran nomor?” gumam Caca sedikit tidak yakin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN