Alan menurunkan Kiara didepan rumah sebuah perumahan yang cukup mewah. Tadi lelaki itu sempat bertanya apakah aman mengantar gadis itu sampai depan rumahnya. Dan gadis itu menjawab aman karena Ayahnya yang merupakan Ketua Jurusan itu sedang keluar kota.
“Seneng banget sih,” Alan menatap geli kearah Kiara yang sendari tadi tampak berbunga-bunga. Kini gadis itu hanya melengos, menatap kearah lain dan hendak melepas jaket Alan. “Pakai saja,” ucap Alan cepat.
“Lo nggak kedinginan?” Kiara menatap Alan yang masih duduk di atas motornya, lelaki itu hanya memakai kaos oblong yang terlihat tidak terlalu tebal. Kiara yang duduk dibagian belakang saja masih kedinginan meskipun ditutupi tubuh besar Alan.
“Enggak,” jawab Alan ringan. “Gue pulang dulu,” imbuhnya lagi, sembari memutar motornya.
“Al!” Kiara memanggil setengah berteriak.
Alan menoleh menatap Kiara dengan tanya, menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.
“Hari ini, lo ada kuliah jam sembilan,” seru Kiara yang terlihat sudah hapal di luar kepala.
Alan menatapnya kesal, lalu memundurkan motornya agar bisa lebih dekat dengan Kiara. “Kepala gue pusing banget, tadi gue salah minum,” curhatnya yang berharap gadis itu membiarkannya tidur seharian ini. Tadi dia sempat mengira Kiara memanggilnya untuk mengucapkan terima kasih atau sejenisnya, tetapi yang Alan dapatkan malah hal pahit seperti ini.
Kiara mengangkat sebelah alisnya, “Ingat perjanjian kita? Gue ngelakuin tugas seperti sebelumnya, tapi dengan sopan. Dan sekarang gue lagi ngelakuin itu,” Kiara berucap dengan menyebalkan. Meskipun kata yang digunakan gadis itu lebih tertata, tetapi tetap saja terdengar menyebalkan.
Alan bergumam tidak jelas, antara mendumel protes dan mengiyakan apa yang gadis itu lakukan. “Sekarang jam berapa?” tanya lelaki itu sembari memikirkan berapa jam ia bisa tidur sebelum masuk kuliah.
“Jam setengah tiga,” Kiara menjawab setelah melihat ponselnya. Dan terkejut saat mendengar Alan tiba-tiba mengumpat. “Kenapa?” tanyanya dengan kening yang berkerut.
Alan nampak merogoh-rogoh ponselnya, dan mengumpat untuk kedua kalinya saat teringat bahwa benda kotak itu tertinggal di kamar kontrakannya. “Gue lupa ngabarin Mama, gue biasa nelpon Mama sebelum tidur,” gumam Alan dengan kesal yang langsung mendapatkan pandangan geli dari Kiara.
Lelaki itu mengerutkan keningnya, nampak begitu peka dengan ekspresi Kiara yang terkesan setengah mengejeknya itu. “Kenapa?” tantangnya tidak suka.
Kiara menggelengkan kepala dengan cepat, gadis itu tentu teringat bagaimana marahnya lelaki itu kemarin pagi. “Enggak, cepat pulang terus langsung cek ponsel lo. Kali aja Mama lo nungguin lo telpon,” sahutnya cepat, berusaha menghilangkan ekspresi ingin tertawanya.
Alan berdecak kesal sebelum menyalakan motornya. “Masuk sana,” perintahnya.
Kiara mengangguk dengan patuh, lalu melaksanakan perintah lelaki itu dan masuk kedalam rumahnya. Kiara cukup tahu bahwa Alan tidak akan pergi sebelum benar-benar melihat dirinya masuk kedalam rumah. Gadis itu berdiri di depan pintu bagian dalam rumahnya, mendengar suara geraman motor Alan yang mulai menghilang dari pendengarannya. Lelaki itu pergi, batinnya.
Kiara kembali membuka pintunya, sekadar memastikan bahwa lelaki gondrong yang menjaga dan menolongnya malam ini memang sudah beranjak dari depan rumahnya. Kiara lalu memainkan bagian bawah jaket Alan yang masih melekat di tubuhnya. Aroma khas Alan yang berada di jaket besar itu seakan memenuhinya.
***
Alan mengeram kesal saat tidurnya terusik dengan suara musik yang sangat familiar di telinganya. Kepalanya sangat pusing dan bahkan semakin pusing saat suara bising dari benda pipih hitam itu tak kunjung berhenti. Lelaki dengan rambut yang sudah tak berbentuk itu mengeram lagi, mengambil ponselnya dengan mata menyipit dan mematikan ponselnya saat nama Singa Betina terpampang di sana.
Lelaki dengan nama belakang Nestakansavy itu tidak peduli, jika nanti Kiara akan mengamuk lagi padanya. Lelaki itu hanya butuh tidur. Tak butuh waktu lama untuk membuat lelaki itu kembali terlelap. Mengabaikan Kiara yang melontarkan berbagai macam u*****n kepada lelaki yang ia yakini pasti sedang tidur.
Gadis itu lalu memutar otaknya, menyeringai sadis saat sebuah ide terlintas di otaknya. Jangan remehkan Kiara Andzikriadi, gadis berwajah dua itu memiliki segudang rencana busuk untuk sekadar membangunkan Alan. Kiara lalu melihat jam cantik yang melingkar di tangannya, tersenyum penuh rencana dan mulai meninggalkan area kampus.
Kiara berkendara dengan kecepatan di atas rata-rata. Jika dua hari yang lalu Kiara begitu malas dan ogah-ogahan untuk berhubungan dengan Alan. Saat ini, gadis itu terlihat begitu semangat untuk membangunkan bayi besar seperti Alan. Selama perjalanan entah sudah berapa kali gadis itu mengulas senyum manis atau mungkin juga bisa disebut seringaian manis. Dan senyuman penuh rencana Kiara semakin mengembang saat gadis itu telah berada di depan kamar kontrakan Alan.
Gadis itu membuka pintu kamar Alan yang kebetulan tidak dikunci. Ia melongokkan kepalanya dan tersenyum jahil sembari memasuki kamar Alan lalu duduk tepat di samping lelaki itu tidur. “Bangun bayi besar!” pekik Kiara tanpa aba-aba di telinga Alan yang terasa berdenging seketika. Gadis itu tertawa keras, merasa sangat puas saat melihat lelaki gondrong itu berteriak sembari mengusap telingnya.
“Aaarghh, gila! Ngapain lo disini!” Alan berteriak dengan mata yang menyipit, hampir tertutup sempurna jika saja lelaki itu tidak memaksa untuk membuka matanya.
“Bangun, lo harus kuliah!” Kiara menepuk-nepuk bahu Alan, menyuruh lelaki yang masih memeluk guling itu untuk segera beranjak dari ranjangnya.
Alan mendesah lelah, menutup kepalanya dengan bantal berharap bisa kembali tidur. Kiara memutar bola matanya, lalu menatap sekeliling kamar yang terlihat sangat-sangat berantakan. “Kok lo bisa hidup di tempat super jorok kayak gini sih,” gumamnya sebelum mengambil baju-baju yang berserakan disana.
Gadis itu lalu mendengus saat melihat Alan yang tidak bergerak di atas ranjangnya. “Gue beneran pengen nyeret itu kebo ke kamar mandi,” Kiara bergumam sembari menggelengkan kepalanya. Melihat jamnya lagi dan menggerutu saat tersadar bahwa ia hanya memiliki waktu tiga puluh menit sebelum kuliahnya dimulai. “Oke, gue bakalan kasih lo waktu sepuluh menit buat tidur bentar. Tapi abis itu lo harus bangun dan berangkat kuliah!” ujar Kiara yang tidak yakin apakah Alan mendengar perintahnya saat ini. Gadis itu lantas mengumpat pelan, lalu memilih merapikan kamar Alan yang sudah seperti kapal pecah ini.
Kiara bisa sampai di kamar kontrakan Alan dengan bantuan Caca dan pacarnya. Gadis itu memberikannya alamat kontrakan Alan dan bahkan langsung disambut oleh Roy untuk menuju kamar Alan. Kiara membatin, sangat menyenangkan menjadi anak lelaki. Mereka bisa hidup bebas tanpa dikhawatirkan oleh orang tua mereka di rumah. Kiara lalu tersenyum puas saat kamar Alan terlihat lebih layak huni daripada sebelumnya. Ia lalu kembali menghampiri Alan yang berganti posisi tidur menjadi menelungkup, seolah-olah sudah memiliki firasat jika sebentar lagi ia tidak akan bisa tidur.
“Bangun Al! Lo harus kuliah!” Kiara kembali menggoyangkan tubuh Alan. Membuat lelaki itu berganti posisi memiringkan tubuhnya, menatap Kiara dengan matanya yang buram.
“Bolos aja dong, sehari ini doang…” rengeknya pada Kiara yang menatapnya galak.
“Lo nggak bakalan bisa berubah kalau gini terus!” Kiara menatap Alan kesal.
“Gue janji mulai besok gue nggak bakalan malas lagi. Kalau gue malas, besok gue bakalan janji lagi,” gumam Alan yang membuat kepala Kiara berkedut kesal.
Kiara menutup matanya, menggumamkan kata sabar di dalam hatinya. Ia lalu membuka matanya saat rasa kesalnya perlahan memudar. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Terlebih saat membuka mata, gadis itu menemukan Alan yang kembali menutup matanya.
Kiara hendak membangunkan lelaki itu lagi, namun terhenti saat melihat Roy berdiri di ambang pintu kamar Alan. “Mungkin, lebih baik lo biarin dia tidur deh. Kemarin Alan salah minum, lo tau kan apa maksud gue…” ucap Roy sembari memandang Alan dengan prihatin. Sejak kemarin lelaki itu mengeluhkan kepalanya yang berputar-putar, Alan bahkan harus mati-matian menjaga kesadarannya hingga bisa sampai di kamar kontrakannya dengan selamat. “Tenang aja, biar gue yang ngurusin absensi Alan. Kebetulan hari ini dosennya nggak galak kok,” imbuh Roy cepat dengan pengertian.
Kiara lalu menghela napas pelan, mengangguk dengan sedikit tidak rela. “Makasih ya,” gumamnya.
Roy masih belum beranjak dari sana, ia memandang Kiara amat lekat. “Gue harap lo bisa ngerubah dia. Alan cowok yang baik, hanya saja dia kurang menjaga dirinya sendiri,” ucap Roy yang tidak terlalu dapat dimengerti oleh Kiara.
“Ya,” gumam Kiara tidak yakin.
“Gue berangkat dulu, mau jemput Caca,” ucap Roy berpamitan. Kiara hanya mengangguk, lalu kembali melihat Alan yang nampak tak terusik sama sekali.
Lelaki itu memiliki banyak teman yang mendukungnya. Dan ini sudah dua kali ada orang yang menyebut bahwa lelaki yang tengah tidur itu adalah lelaki yang baik. Tentu saja Kiara tau itu, yang bisa gadis itu lihat dari Alan adalah ketulusan. Lelaki itu hampir melakukan semuanya dengan hatinya, bukan dengan otaknya. Berbanding terbalik dengan Kiara yang selalu mengedepankan logikanya.
“Lelaki bodoh ini, harus gue apain,” gumamnya sembari menyibakkan rambut kusut Alan yang menutupi wajahnya.