Sore itu, Alan terbangun dengan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Kepalanya sudah tidak pusing lagi seperti kemarin, lelaki itu lalu mendudukkan dirinya. Mengernyitkan keningnya dalam saat melihat kamarnya nampak berbeda.
“Ini kamar gue kan?” gumamnya sedikit heran. Lelaki itu lalu menoleh kearah meja kayu di samping ranjangnya, dan kembali mengernyit saat ada nasi bungkus disana. Alan tercenung sebentar, lalu tersenyum kecil saat tersadar bahwa yang ia lihat tadi pagi bukanlah sebuah mimpi. Kiara, gadis itu benar-benar datang ke kontrakannya. Ia bahkan merapikan kamarnya dan membelikannya makan.
Dengan cepat, Alan mengambil ponselnya, dan berdecak kesal saat ponsel itu dalam kondisi mati. Setelah mengunggu sejenak, Alan lalu menempelkan benda pipih itu di telinganya. Tersenyum lebar saat terdengar suara lembut yang menyahut dari ujung sana.
“Kiara!” panggilnya dengan senang.
“Lo masih hidup rupanya,” balas Kiara yang membuat Alan meringis. Sapaan gadis itu untuknya benar-benar unik.
“Makasih udah mau jadi pembantu yang baik hari ini,” ujarnya dengan seringai senang. Awalnya, tadi Alan berniat mengucapkan kata terima kasih dengan wajar. Namun, saat mendengar sapaan Kiara yang tidak wajar lelaki itu langsung berubah pikiran.
“Mau mati ya!” bentak Kiara tidak terima.
Alan tertawa, ia bisa membayangkan wajah Kiara yang begitu kesal. “Gimana caranya lo bisa sampai kontrakan gue?” tanya Alan saat tawanya mulai mereda.
“Naik motorlah! Lo pikir terbang?” jawab Kiara dengan nada yang membuat orang lain ingin menempeleng kepalanya.
Alan mencibir tanpa suara, “Maksudnya lo tau alamat kontrakan gue dari siapa?” tanya Alan dengan sabar.
“Dari Caca,” Kiara menjawab dengan singkat.
“Lo punya teman baru rupanya,” goda Alan. Lelaki itu cukup senang karena Kiara bisa akrab dengan Caca. “Hari ini lo ada rencana nggak?” tanya Alan pada gadis itu.
“Kenapa emang?” Kiara balik bertanya.
“Gue pengen ngajak lo keluar. Sebagai ucapan terima kasih nasi bungkus yang udah lo beliin. Nanti malam, gimana?” tanya Alan yang kini sedang membuka nasi bungkus yang Kiara berikan. Alan mengambil sendok dengan gesit, menatap lapar pada nasi bungkus dengan ikan telor bumbu yang membuat perutnya keroncongan. Kiara tak kunjung menyahut, membuat Alan menunggu sembari memakan nasi bungkus itu tanpa perlu sikat gigi terlebih dulu.
“Lo b**o ya?” jawab Kiara yang membuat jantung Alan rasanya seperti ditikam. Oh, tolonglah—meskipun gadis itu berniat menolak ajakannya. Setidaknya lakukan dengan cara yang sedikit lembut. Bukan langsung mengatai dirinya seperti itu.
“Waktu SMA gue lumayan pintar,” gumam Alan tidak yakin.
“Bukan, itu maksud gue. Besok lo harus ngumpulin tugas dari dosen sintaksis, dan lo malah ngajak gue keluar!” amuk Kiara yang membuat Alan menggaruk kepalanya bingung.
“Memangnya ada tugas?” tanyanya polos. Membuat Kiara di sebrang teleponnya menahan diri untuk tidak melemparkan ponselnya.
“Ada b**o! Banyak!” jawab Kiara tidak santai.
Alan tertawa kering, lelaki itu tidak tau bagaimana menjawab ucapan Kiara. Alan bahkan bisa mendengar suara teriakan kesal Kiara dari ujung teleponnya.
“Jam enam, lo jemput gue di rumah! Kita kerjain tugas sama-sama!” titah Kiara.
“Gue bisa ngerjain sendiri kok,” jawab Alan pelan.
“Nggak! Gue nggak percaya sama lo! Sama jadwal sendiri aja lupa, gue yakin lo bahkan nggak tau tugasnya apa!” balas Kiara sadis namun benar-benar tepat sasaran.
Alan lalu mengangguk-anggukan kepalanya patuh meskipun ia tahu bahwa Kiara tidak akan mungkin bisa melihat anggukannya. Lelaki itu hanya bisa menurut karena yang diucapkan Kiara memang benar semua. Seratus.
***
Alan duduk diatas motornya dengan bosan, lelaki itu sudah menunggu Kiara hapir lima menit lamanya. Ia tidak menunggu di depan rumah Kiara seperti yang terakhir kali ia lakukan. Lekaki itu berada di pertigaan perumahan, dimana ia bisa menunggu dengan aman sembari tetap memantau Kiara apabila keluar dari rumah.
Alan membelalakkan matanya, saat gadis cantik dengan kaos putih lengkap dengan jaket keluar dari gerbang yang Alan tau merupakan rumah Kiara. Alan masih membuka mulutnya saat gadis itu mendekat, fokus pada celana jeans Kiara yang kini terlihat hampir mirip dengan miliknya. Sobek-sobek.
“Lo nggak takut dimarahin Pak Yayan?” tanya Alan saat gadis itu mendekat.
Kiara yang tengah memeluk helm-nya itu menggeleng dengan wajah datarnya. “Ayah nggak ada di rumah,” Jawabnya.
“Kenapa nggak bilang? Tau gitu gue kan bisa nunggu depan gerbang,” cerca Alan kesal. Sendari tadi lelaki itu sudah was-was akan bertemu dengan Pak Ketua Jurusan yang galak itu. Kiara mengangkat bahunya acuh, tidak peduli dengan gerutuan Alan dan langsung duduk di jok belakang motor besar lelaki itu.
Alan menyipitkan matanya melihat kelakuan Kiara yang berlaku semena-mena. Ia lalu menggelengkan kepalanya, tidak percaya bisa kenal dengan gadis jutek semacam Kiara. Jujur saja, Alan sudah terbiasa menghadapi adiknya yang manis dan satu mantan pacarnya yang lemah lembut. Sangat berbeda dengan sifat gadis yang kini sudah duduk dengan wajah garang di jok belakang motornya.