TUJUH: MENATA HATI

1647 Kata
Embun kembali ke mejanya dengan langkah gontai. Perasaan campur aduk antara sedih, kecewa, dan aneh berkecamuk dalam pikirannya. Ini memang bukan kali pertama penolakan kandidat karena ada rekomendasi atasan, tapi rasanya paling menyesakkan. Ini pasti gara-gara gue sering ngobrol sama dia akhir-ahir ini. Ck! jadi gak profesional ya gue? ucap Embun dalam hati. Pikirannya kini sedang menebak-nebak soal logikanya yang mulai meluntur soal kandidat. “Eh, Embun! Kenapa deh kok bu Luisa manggil lo pagi-pagi gini?” ucapan Dea menyadarkan Embun dari lamunannya. Dea yang sudah penasaran segera bangkit menuju kubikel Embun. “Nyerahin hasil wawancara doang, Mbak." "Gavin?" Embun hanya mengangguk saja dan kembali menatap komputer. "Terus lo, kenapa kusut? Embun hanya mengedikkan bahunya. Moodnya yang semulai baik-baik saja, entah mengapaa jadi hancur berantakan. Ia menatap hasil wawancara Gavin dan Tiara Asti. Mencoba mencari bagaimana perbandingan keduanya. Dahinya semakin berkerut karena mendapati hasil janggal yang jelas memberatkan Tiara untuk masuk kedalam kualifikasi perusahaan. “Kenapa sih? muka lo serius banget tau!" ucap Dea yang entah sejak kapan sudah berada di samping Embun. Embun menyodorkan hasil penilaian rekrutmen keduanya kepada Dea tanpa mengatakan apapun. Matanya kini terpaku pada layar komputer di hadapannya. "Buat posisi Gavin?” tanya Dea yang kening menjadi berlipat-lipat setelah membaca hasil rekrutmen itu. Embun mengangguk. “Tapi bukan Gavin yang bakal ngisi,” nada Embun terdengar datar dan tanpa emosi. “Wow, bagus deh gak bakal liat romansa kantor. Gua yakin kalo lo jadian sama Gavin, bakal jadi lovey dovey gitu,” ucap Dea sambil kembali ke kubikelnya. Embun menghembuskan nafas kasar. “Kenapa? Lo kecewa ya?” “Dibandingkan kecewa gua ngerasa aneh sih mbak. Lagian gua juga gak ikut keseluruhan proses interviewnya. Gue cuma tau laporan performa dari bos-bos dan gak tau itu subjektif apa objektif. Tapi….” raut wajah Embun ikut sedih mengingat pantulan wajah Luisa dari kaca jendela tadi. Dea menatap Embun dengan sebelah alis yang terangkat. “Wajah bu Luisa sedih banget wakyu mutusin itu, gue kan jadi kepo mbak!” Embun mengatakannya dengan berapi-api. Dea hanya mengedikkan bahunya. "Udahlah, mau gimana lagi, jangan bias kalau nilai orang. Kerja lagi yuk!" Dea berjalan menuju tempat duduknya dan kembali memfokuskan dirinya pada komputer kerjanya. Embun sendiri tengah terdiam untuk waktu yang cukup lama dengan berbagai pikiran yang ada dalam otaknya. -***- >Gavin Halo Embun, aku jemput makan siang ya? Embun tersenyum melihat pesan masuk di ponselnya. >Embunku Deket kantor aku aja gimana bos? Takut telat baliknya. Nanti gajiku dipotong (emotikon menangis) >Gavin Berhubung kantor kita deket, aku samperin aja jalan kaki. Gimana? >Embunku Ketemu di tempat aja, di Pizza depan. Ga masalahkan makan fast food? >Gavin Ok, See u soon. Embun tersenyum sambil menatap layar telepon genggamnya. “Ya ampun Embun, panas banget kayaknya diluar Mbun… uuuuh cerah banget!! Hawanya masuk ke dalam ruangan kayaknya?!” ucap Dea heboh. “Lebay deh Mbak, kumat kan lebay lo!!” ucap Embun sinis. “Eh bentar lagi istirahat. Lo mau makan apa Mbun? Ikut dooong!!” Dea merajuk pada rekan sekantornya yang lebih muda beberapa tahun itu. “Gak bisa mbak, gua ada rencana makan siang. Mau terima kasih gue sama Gavin tadi udah disamperin kerumah disaat bokap nyokap gue lagi rayu-rayuan mau kasih gue adek,” nada Embun terdengar jenaka. “Hahaha.. Gue tahu apa kata-kata andalan mama kalau ngerayu papa, pasti 'cantik gak aku Paaa'," ucap Dea dengan jenaka. "Yaaa.. gitu deh!" “Hmmph… harusnya lo bahagia kali bokap nyokap lo masih romantis. Daripada berantem kan? Pusing nanti lo!” “Gue yang geli mbak!” ucap Embun sambil berdiri dan melangkah ke arah pintu lift. Dea tertawa nyaring melihat Embun emosi. -***- Seakan lupa bahwa Embun datang bersama dengan Gavin yang sudah duduk di depannya, ia langsung memakan sepotong pizza dihadapannya. Ia benar-benar lapar karena pekerjaannya yang hari ini menguras tenaga dan kesabarannya untuk menghadapi kandidat pilihan atasannya. Tiara, wanita itu bahkan meminta offering letter dengan gaji yang lumayan tinggi. Setelah menutup telepon dengan bersungut-sungut karena sikap Tiara yang seenaknya sendiri. Gavin menatap wanita di depannya dengan senyum tipis, takut mengganggu acara makan Embun yang sepertinya sedang serius menumpahkan kekesalannya dengan melahap Pizza yang ada didepannya. Tiba-tiba Embun berhenti memakan pizzanya karena menemukan sepasang mata yang sedang melihatnya lekat. Seketika Embun terbatuk hebat. Dengan panik Gavin memberikan minum dan mengubah posisinya menjadi duduk disebelah gadis itu sambil menepuk-nepuk punggungnya “Eh, kenapa? Hati-hati Mbun. Mikirin apa kamu? Sampai keburu-buru gitu makannya,” raut muka khawatir Gavin tidak dapat disembunyikan lagi mendengar batuk Embun yang terdengar menyakitkan. Embun hanya menggeleng menjawab pertanyaan Gavin. Ia tersedak jelas bukan karena memikirkan hal lain, ia malu ditatap lekat oleh Gavin dengan sorot penuh kelembutan. “Jangan buru-buru ya, santai aja,” ucap Gavin sambil merapikan anak rambut ke belakang telinga Embun. Embun menatap kearah Gavin dengan mata membulat karena perlakuan Gavin yang secara tiba-tiba memperlakukannya dengan manis. “Eh.. Sorry, Sorry sorry.. maaf kalau aku gak sopan,” Gavin tersentak teringat bahwa tindakannya bisa saja menimbulkan ketidaknyamanan dan berujung Embun tidak mau menemuinya lagi. Embun tersenyum dengan wajah merona, sesaat kemudian ia mengambil piring Gavin yang ada di hadapannya dan memberikan potongan pizza ke atas piring Gavin. “Makan yaa!! Kamu kalo liatin aku terus bukannya kenyang nanti malah maag,” Embun berucap sambil nyengir dengan wajah merona. Gavin terkekeh, “iya, Mbun. Tapi serius liat kamu makan bikin aku seneng.” Gavin tersenyum lembut dengan muka yang sudah panas juga. “Keliatan rakus ya?” Embun bertanya sambil mengedip-ngedipkan kedua bola matanya. Gavin sangat gemas dan sangat ingin mencubit pipinya tapi ia tahan karena ini baru pertemuan ketiga mereka. “Nggak, cantik kok. Kayaknya aku gak bakal bosen liat kamu terus.” Sesaat kemudian Gavin sadar apa yang keluar dari mulutnya seperti gombalan. Wajahnya jadi berubah kikuk. Mampus, mulut gue nih! matanya cantik banget bikin gue gak fokus. Ini bakal ilfeel gak setelah ini ya. Ya Tuhaaaann… semoga dia masih mau gue ajak jalan gak mikir gue ini buaya. Gavin berkata dalam hati sambil mengusap-usap tengkuknya karena malu. Embun menahan tawanya sesaat sebelum menjawab, “gombal deh. Udah ayo makan!” Embun segera kembali memakan Pizzanya agar teralihkan dengan gombalan Gavin. Walaupun ia senang dipuji oleh Gavin dan pipinya tampak merah merona, tapi ini terlalu dini untuk senang atas gombalan Gavin. Gavin memakan Pizzanya dan tidak mengalihkan pandangannya dari wajah gadis disebelahnya. Matanya memperlihatkan binar bahagia. Walaupun menatap lekat Embun, tapi jelas itu bukan tatapan m***m. Ia sendiri heran kenapa ada gadis mungil dengan paras seperti boneka yang matanya bisa langsung mengunci pandangannya, bahkan sejak awal pertemuan. Setelah makanan yang disantap habis, Embun membuka pembicaraan agar suasana tidak terlalu canggung. “Aku baru tau kantor kamu deket sini.” “Kamu pasti gak baca cv ku ya? Kantorku itu selisih 3 gedung dari kantor kamu,” ucap Gavin sambil menyandarkan tubuhnya. “Oh iya?” Embun melihat ke arah gedung yang dikatakan Gavin. “Perusahaan apa? Gedung perkantoran bersama gitu berarti ya?” Embun bertanya masih dengan melihat ke arah gedung tersebut. “Iya, bidang jasa konsultan keuangan,” jawabnya singkat. “Deket juga ya...” Embun berkata sambil mengikat rambut karena merasa agak gerah. “Yaaa.. Bentar lagi juga bisa jadi makin deket kan?” Gavin mencoba menetralkan degup jantungnya karena melihat tengkuk putih Embun. Embun menatap Gavin dengan tatapan tak terbaca, Bukan tidak mengerti maksud Gavin soal makin dekatnyamereka, namun ia bingung bagaimana menyampaikan ke Gavin perihal sudah ditentukannya siapa yang akan menempati posisi tersebut. “Kamu di perusahaan sekarang betah? Kenapa mau pindah?” tanya Embun. “Ya betah aja sih, aku ngelamar ditempat kamu cuma mau cari pengalaman baru dan posisi baru aja.” “Emang posisi kamu apa sekarang? Aku pernah telepon kamu ke kantor yang jawab sekretaris pribadi kamu? Kamu juga ada fasilitas supir kan? Kalo kamu jadi manajer di tempat aku, mana ada fasilitas gitu.” Embun bertanya secara spontan. Coba posisi baru untuk orang normal adalah mencapai posisi yang lebih tinggi, kalo misal posisi dia sudah setara general manager, kenapa harus melamar menjadi manager kan? Begitulah pemikiran Embun. “Hm? mana ada sekretaris pribadi. Iseng aja kali yang jawab telpon kamu,” suara tawa Gavin terdengar aneh ditelinga Embun. Hmm.. Gak Mungkin nih dia orang biasa. Dikira gue bisa dibegoin kali. Embun hanya berujar dalam hati sambil menampilkan ekspresi manggut-manggut. “Terus supir? Kok kamu gak bawa supir hari ini?” “Kan aku mau barengin kamu, masa aku bawa supir. Gak enak lah! Ntar nguping terus laporan sama bokap. Lagian supirnya itu supir pribadi Papi, mana ada karyawan kayak aku punya supir sendiri,” Gavin berkata dengan tidak menatap Embun. Ya bisa di terimalah dia dapat fasilitas dari keluarganya. Lagipula Gavin memang terlihat bukan anak orang sembarangan. Udah stop aja keponya. Ntar malah kabur lagi dia. Embun membatin lalu mengalihkan tatapannya keluar jendela. “Kok diem Mbun?” “Hah?” Embun reflek menolehkan kepalanya dan betapa terkejutnya dia saat menyadari ternyata wajah Gavin sudah berjarak kurang dari 10 cm didepannya. Bahkan Embun bisa membau aroma parfum Gavin dari jarak sedekat ini. Mereka saling menatap sampai dengan beberapa detik. Hingga akhirnya Gavin memundurkan wajahnya dan menenggak minuman digelasnya. “Eenghh.. Aku kira kamu ngeliatin apa gitu diluar, sampe khusyuk banget gak ada suaranya,” katanya terkekeh. Wajah Embun memerah karena malu berada di jarak sedekat itu bersama Gavin. Gavin tersenyum saat melihat wanita yang sepertinya disukainya itu menampilkan wajah merona. “Sebenernya Vin, posisi yang kamu lamar udah ada yang bakal isi. Tadi baru aja offering letternya aku bikin,” Embun menatap Gavin dengan tatapan ragu. “Oh ya?" Embun hany mengangguk dan menunduk menatap ujung kakinya. "Yaudah Mbun. Gak usah dipikirin. Kaya apa aja sih. Kantorku masih tetep 3 gedung dari kantor kamu. Lagian kita masih bisa lebih dekat tanpa harus sekantor kan?” Gavin berkata sambil mengacak-acak rambut Embun. Entah bagaimana Embun harus menanggapinya, tidak hanya rambutnya yang acak-acakan. Kini hatinya juga ikut porak poranda akibat sikap manis Gavin. -***-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN