Gavin menghubungi kembali Embun saat jam di tangannya menunjukkan pukul 9 pagi, ia ingin melakukan reschedule atas penolakan jadwal interview semalam. Ia sebenarnya juga merasa aneh karena panggilan semalam berada di waktu yang menurutnya cukup larut untuk menghubungi kandidat calon karyawan. Tetapi melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari Embun ia yakin, mungkin sudah beberapa kali Embun mencoba menghubunginya dari sore, tapi tidak ada jawaban karena Gavin yang begitu fokus pada acara yang padat sejak siang hari itu.
Gavin berpikir betapa hebatnya perusahaan itu, masih tetap sabar menunggu hingga panggilan telepon itu diangkat. Kalau perusahaan itu miliknya, ia pasti tidak mungkin bersusah payah untuk menghubungi kandidat se-ngotot itu. Lagipula melamar dan dilamar itu hubungan dua arah kan? Kalau sudah terlihat tidak niat, buat apa dipertahankan. Gavin jadi terkekeh.
Gavin segera mendial nomor yang tertera dengan nama Embun Bening.
“Halo, selamat pagi pak Gavin,” sambut suara dari ujung telepon.
Lagi-lagi suara itu mampu membuat Gavin hilang fokus. Gavin tidak langsung menjawab pertanyaan dan malah tersenyum menatap ke arah pemandangan di depannya dengan mata berbinar.
“Pak Gavin? Bagaimana pak? Ada kabar untuk saya terkait reschedule jadwal bapak?”
Gavin menarik kesadarannya dan buru-buru menormalkan detak jantungnya. Sudut bibirnya tertarik sebelum menjawab berbagai pertanyaan wanita di seberang sana.
“Pagi, saya mau konfirmasi kalau saya bisa melakukan interview hari ini, apakah saya perlu menyesuaikan kembali dengan jadwal CFO dan GM anda?”
“Begitu ya, Pak. Saya akan konfirmasi dulu ke atasan saya, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah menghebungi kami terkait jadwal selanjutnya,” suara Embun di ujung sana membuat Gavin tidak sabar menemui gadis ini, nanti.
“Saya berharap bisa di reschedule menjadi sore ini, pesawat saya akan landing pukul 2 siang. Saya menunggu kesediaan perusahaan anda untuk melakukan penjadwalan ulang terkait wawancara tersebut.” Gavin menggigit bibir bawahnya setelah mengucapkan kalimat tersebut berharap gadis diujung telepon langsung mengiyakan saja.
“Emh.. Baik pak, saya akan kabari bapak maksimal pukul 11 ya pak. Terima kasih pak Gavin untuk kesediaannya.”
“Baik, saya tunggu kabar baik anda,” Gavin menutup telepon dan tersenyum sambil menatap jajaran pesawat yang parkir di depannya. Ya, Gavin berada di ruang tunggu penumpang first class. Dia tidak sabar untuk segera kembali ke Jakarta dan menatap perempuan yang membuat jantungnya berdegup, bahkan hanya dengan mendengarkan suaranya saja.
-***-
Embun berlalu menuju ke ruangan Luisa. Mengetuk pintu dan masuk setelah ada jawaban untuk mempersilahkannya masuk.
“Kenapa Mbun?” Luisa menampilkan wajahnya yang lelah dan menatap Embun dengan wajah blasterannya yang bingung dengan kedatangan anak buahnya itu.
“Oh, itu Bu, Pak Gavin minta di reschedule sore ini, karena Pesawatnya landing siang ini,” ucap Embun dengan senyum di bibirnya.
“Serius?!" pekik Luisa.
Embun hanya mengangguk dengan menggigit bibir bawahnya. Ia agak bingung dengan bagaimana wanita itu menanggapi kabar Embun.
"Okay, saya akan minta GM Finance sama CFO buat longgarin waktu jam 4. Thanks ya Embun,” Luisa mengalihkan pandangannya ke layar laptopnya dengan wajah penuh dengan senyuman.
“Baik bu, kalo gitu saya hubungi pak Gavin untuk konfirmasi,” Embun mengatakannya sambil tersenyum canggung karena melihat sikap atasannya yang tidak biasanya. Ia pun berlalu meninggalkan ruangan ruangan GM HRD itu menuju kubikelnya.
Bu Luisa seneng banget, Kayak menang lotre. Kayaknya gue harus beneran mundur deh kalo saingan gue Bu Luisa. Haha, Mundur! Gebleg banget. Kayak iya aja gue lagi saingan ama dia. Orang gue kan cuma mengagumi aja, yakali sekelas Gavin suka sama gue. Kebanyakan nonton film nih gue. Ngobrol aja gak pernah! Ucap Embun dalam hati sambil menghembuskan nafasnya dengan panjang dan mengamati pintu ruangan Luisa.
Embun langsung menyambar telepon genggam yang ada di hadapannya, dan menelepon menggunakan nomor pribadinya.
“Selamat pagi pak Gavin.”
“…”
“Terkait dengan jadwal wawancaranya pak, Bapak diperkenankan interview jam 4 sore hari ini.”
“…”
“Baik pak, kami tunggu kehadiran bapak. Selamat pagi pak.”
Dea menatap kearah Embun dengan heran.
“Lu nelpon siapa deh Mbun, nelpon kandidat? Kok pake nomer pribadi? Tumben gak pake extension?” Dea bertanya penasaran.
“Iya mbak, Gavin,” ujar Embun singkat sambil memperhatikan kembali layar komputernya.
“Kok pake nomer pribadi lo sih Mbun?” tanya Dea mengulang kembali pertanyannya.
“Iya mbak, kata sekretarisnya di kantor dia sekarang, Gavin minta ditelpon pake nomor HPnya aja kalo misal ada hal mendadak dan urgent. Makanya gue telepon dia pake nomer gue. Dia kasih nomor kantor dan da gak selalu stand by di kantor soalnya,” Embun menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
"Dia ngelamar kerja pakai nomer kantor?"
Embun hanya mengedikkan bahunya. aneh juga sih, tapi dia tidak mau ambil pusing.
“Gila sih Embun.. Inget lho mbun, habis ini diluar kantor jangan lo telponin terus tuh laki!” goda Dea.
“Yaelah, Mbak. Gue tau sih gue jomblo, tapi kan gak gitu kali konsepnya,” Embun mencebik dan membuat Dea gemas dan tertawa lepas.
-***-
Gavin menarik dalam nafasnya, ini bukan karena dia akan mengikuti interview. Tapi mengenai kesiapan dirinya yang akan bertemu dengan gadis yang sanggup membuatnya mengalihkan semua jadwal padatnya demi bertemu dengan alasan interview. Masuk kedalam perusahaan ini sebenarnya merupakan tujuan utamanya, tapi entah mengapa bertemu dengan gadis di depan lift itu membuatnya semakin bersemangat untuk merealisasikan harapan tersebut.
Ia memperkenalkan dirinya kepada resepsionis bertugas dan tak berapa lama mereka memberikan Gavin sebuah ID Card dengan kartu akses untuk masuk ke area kerja. Seorang resepsionis memberitahukan untuk langsung naik ke lantai 20.
Sejenak ia melupakan kesenangannya yang akan bertemu dengan Embun. Gavin menatap pantulan dirinya di cermin. Menatap dirinya dan menghembuskan nafas lewat hidung nya dengan kasar. Jika bukan karena terpaksa atas misinya di perusahaan itu dan akan bertemu dengan gadis cantiknya, ia bisa pastikan bahwa dirinya tidak akan ada di sini sekarang.
Keluar dari lift, dia menatap sekelilingnya. Ini bukan lantai yang sama dengan pertama kali ia mengikuti interviu. Matanya beradu tatap dengan wanita blasteran. Wanita yang pertama melakukan interview untuk masuk perusahaan ini. Wajahnya dibuat datar saat wanita itu dengan senyumnya menghampiri Gavin.
“Selamat sore Pak Gavin, senang bertemu dengan anda kembali,” ucapnya dengan senyuman yang mengembang di wajah cantiknya yang terlihat sekali lelah.
“Selamat sore, Bu Lui.. saa..” Gavin mengucapkan nama itu, dengan nada terdengar agak mengejek dan senyum yang jelas bukan senyuman ramah.
“Sore BAPAK Gavin! Saya dengar anda akan merubah jadwal anda karena berhalangan hadir? Senang sekali anda tidak merubahnya!” suaranya terdengar lembut namun penuh dengan penekanan.
“Tentu, seperti anda yaang… terlihat profesional hari ini.” Ejeknya melihat penampilan Luisa yang terlihat kelelahan dan kurang rapi.
“Ya.. Terima kasih! Mari ikuti saya,” ucap Luisa masih dengan senyum yang terukir di bibir walaupun hatinya sudah menggeram kesal, atas semua ejekan yang Gavin lontarkan.
“Sebentar, Apa wawancaranya hanya di hadiri oleh anda, CFO dan GM?” terselip nada kecewa di dalamnya.
“Yeah. Just us. Who else was it then, Mr. Gavin?” Luisa mengerjapkan matanya dengan sorot bertanya.
Tentu aja gue maunya ada cewek cantik itu lagi! Kalimat itu hanya sanggup diucapkan oleh batinnya. Sejurus kemudian,
Gavin hanya menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, mari ikuti saya." Ucap Luisa. Luisa melanjutkan langkah kakinya dengan kening berkerut. Mereka beranjak ke sebuah ruangan milik Chief Finance Officer. Gavin hanya mengikuti dalam diam.
Yaa.. Gagal ketemu si cantik. Batin Gavin.
-***-